Kedudukan dan Fungsi MPR RI Sudah Sesuai Nilai-nilai Demokrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penguatan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara akan membuat kemunduran demokrasi Indonesia, salah satunya terkait dengan pengangkatan presiden.
Hal itu disampaikan anggota MPR Ahmad Sahroni saat melakukan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan MPR RI dengan tokoh masyarakat di Tanjung Priok, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu. Kegiatan tersebut dihadiri 150 orang dengan tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Pernyataan itu juga menjawab pertanyaan Susilo Adi, salah seorang warga mengenai kenapa tidak dilakukan penguatan fungsi MPR saat ini karena wewenang dimiliki MPR saat ini dipandang tidak jelas. (Baca juga: MPR Diwacanakan Lagi Jadi Lembaga Tertinggi Negara)
Sahroni menekankan, fungsi MPR saat ini dalam melakukan check and balance antar lembaga dipandang telah sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Dijelaskannya, pascaamandemen UUD 1945, tidak ada lagi sebutan MPR sebagai lembaga tertinggi negara melainkan sebagai lembaga negara. Kedudukannya yang sejajar dengan lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif menciptakan proses checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. (Baca juga: PDIP Ingin MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara)
Mengenai wacana amandemen UUD 1945 yang disampaikan oleh salah satu fraksi partai di DPR beberapa waktu yang lalu dikatakan Sahroni menimbulkan perdebatan pro dan kontra di ranah publik. Termasuk dorongan melakukan amandemen UUD 1945 untuk perubahan konstitusi dengan menghidupkan kembali GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) serta menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan GBHN tersebut. (Baca juga: Sosialisasi 4 Pilar, MPR Ingatkan Masyarakat Tak Mudah Terprovokasi)
Usulan meletakkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara menurutnya akan menciptakan sistem presidensial yang tidak efektif dan menciderai semangat Reformasi. Jika MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, presiden yang sebelumnya melakukan pertanggung jawaban kepada rakyat akan menghadap kepada MPR dan ini membuat pelaksanaan Sidang Tahunan MPR yang berubah.
“Bukan tidak mungkin amandemen untuk menjadikan MPR lembaga tertinggi negara juga memiliki konsekuensi lain. Sebagai contoh pemilihan presiden dan wakil presiden di masa mendatang tidak dipilih secara langsung, melainkan dipilih dan diangkat oleh MPR. Namun demikian dorongan amandemen UUD 1945 masih sebatas wacana, belum ada usulan tertulis maupun pembahasan di Persidangan MPR,” terang pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR ini.
Dalam kesempatan yang sama Sahroni kembali mengingatkan masyarakat agar selalu menjalankan pilar-pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan bermasyarakat. Dirinya berharap masyarakat tak mudah terprovokasi berbagai isu yang dapat memecah belah keutuhan bangsa. ”Jangan sampai ibu dan bapak mudah terprovokasi dengan isu maupun oknum, yang sengaja maupun tidak sengaja membuat kegaduhan di masyarakat,” pungkasnya.
Lihat Juga: Ini Mengapa Gerakan Reformasi Sosial dalam Islam Banyak Bertitik Tolak dari Doktrin Fikih
Hal itu disampaikan anggota MPR Ahmad Sahroni saat melakukan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan MPR RI dengan tokoh masyarakat di Tanjung Priok, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu. Kegiatan tersebut dihadiri 150 orang dengan tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Pernyataan itu juga menjawab pertanyaan Susilo Adi, salah seorang warga mengenai kenapa tidak dilakukan penguatan fungsi MPR saat ini karena wewenang dimiliki MPR saat ini dipandang tidak jelas. (Baca juga: MPR Diwacanakan Lagi Jadi Lembaga Tertinggi Negara)
Sahroni menekankan, fungsi MPR saat ini dalam melakukan check and balance antar lembaga dipandang telah sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Dijelaskannya, pascaamandemen UUD 1945, tidak ada lagi sebutan MPR sebagai lembaga tertinggi negara melainkan sebagai lembaga negara. Kedudukannya yang sejajar dengan lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif menciptakan proses checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. (Baca juga: PDIP Ingin MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara)
Mengenai wacana amandemen UUD 1945 yang disampaikan oleh salah satu fraksi partai di DPR beberapa waktu yang lalu dikatakan Sahroni menimbulkan perdebatan pro dan kontra di ranah publik. Termasuk dorongan melakukan amandemen UUD 1945 untuk perubahan konstitusi dengan menghidupkan kembali GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) serta menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan GBHN tersebut. (Baca juga: Sosialisasi 4 Pilar, MPR Ingatkan Masyarakat Tak Mudah Terprovokasi)
Usulan meletakkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara menurutnya akan menciptakan sistem presidensial yang tidak efektif dan menciderai semangat Reformasi. Jika MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, presiden yang sebelumnya melakukan pertanggung jawaban kepada rakyat akan menghadap kepada MPR dan ini membuat pelaksanaan Sidang Tahunan MPR yang berubah.
“Bukan tidak mungkin amandemen untuk menjadikan MPR lembaga tertinggi negara juga memiliki konsekuensi lain. Sebagai contoh pemilihan presiden dan wakil presiden di masa mendatang tidak dipilih secara langsung, melainkan dipilih dan diangkat oleh MPR. Namun demikian dorongan amandemen UUD 1945 masih sebatas wacana, belum ada usulan tertulis maupun pembahasan di Persidangan MPR,” terang pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR ini.
Dalam kesempatan yang sama Sahroni kembali mengingatkan masyarakat agar selalu menjalankan pilar-pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan bermasyarakat. Dirinya berharap masyarakat tak mudah terprovokasi berbagai isu yang dapat memecah belah keutuhan bangsa. ”Jangan sampai ibu dan bapak mudah terprovokasi dengan isu maupun oknum, yang sengaja maupun tidak sengaja membuat kegaduhan di masyarakat,” pungkasnya.
Lihat Juga: Ini Mengapa Gerakan Reformasi Sosial dalam Islam Banyak Bertitik Tolak dari Doktrin Fikih
(cip)