PDIP Ingin MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara

Minggu, 11 Agustus 2019 - 19:24 WIB
PDIP Ingin MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara
PDIP Ingin MPR Kembali Jadi Lembaga Tertinggi Negara
A A A
DENPASAR - Kongres V PDIP di Sanur, Denpasar, Bali mulai 8-10 Agustus 2019 mengeluarkan sejumlah rekomendasi. Termasuk di bidang politik dan sistem ketatanegaraan.

Salah satunya menyepakati perlunya dilakukan amendemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Dengan adanya amendemen tersebut MPR bisa memiliki kewenangan untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.

Poin ini sebagai salah satu sikap politik hasil Kongres V PDIP yang dibacakan Ketua Umum PDIP Periode 2019-2024 Megawati Soekarnoputri dalam pidato penutupan Kongres, Sabtu 10 Agustu 2019.

Ketua DPP DPIP Bidang Luar Negeri Ahmad Basarah mengatakan, konsep GBHN yang diusulkan PDIP tidak sama dengan GBHN zaman Orde Baru.

Konsep Orde Baru menempatkan Presiden sebagai mandataris MPR dan Presiden dipilih oleh MPR. "Jadi konsep hakuan negara yang diusulkan PDIP adalah untuk memberikan kembali wewenang MPR untuk menetapkan kembali garis-garis besar haluan negara untuk menyempurnakan kekurangan UU 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang sebagai pengganti sistem GBHN yang ada di UU Dasar," ujar Basarah kepada wartawan ditemui usai
penyerahkan hewan kurban oleh DPP PDIP sebanyak 30 ekor kambing kepada umat Islam Bali di Masjid Al-Ihsaan Grand Inna Bali Beach, Sanur, Denpasar, Minggu (11/8/2019) pagi.

Basarah yang juga menjabat Wakil Ketua MPR ini menjelaskan pengertian mengusulkan kembali MPR untuk menetapkan GBHN itu tidak sama dengan menjadikan MPR sebagai lembaga yang memilih presiden dan menjadikan presiden sebagai mandataris MPR.

"Jadi presiden dalam konsep amendemen terbatas PDI Perjuangan itu tetap dipilih oleh rakyat, tapi dalam hal menyusun visi-misi calon presiden dan calon wakil presiden, begitu juga turun ke bawah ke calon gubernur wakil gubernur, dia harus berpedoman pada roadmap pembangunan nasional yang telah ditetapkan oleh GBHN itu," paparnya.

Basarah mengatakan, langkah itu diambil karena Indonesia dinilai perlu memiliki kepastian hukum sehingga siapa pun presiden, gubernur, bupati atau wali kota yang menjabat, kesinambungan pembangunan nasional tetap terjaga.
"Enggak seperti sekarang, ganti presiden, ganti visi-misi, ganti program. Ganti gubernur, bupati, wali kota, ganti visi-misi, ganti program," urainya.

Dengan adanya perubahan amendemen terbatas, dia mengharapkan pembangunan di Indonesia lebih terukur progresnya karena setiap pemimpin yang baru selalu punya ego sektoral.

"Apalagi kalau dari partai pengusung yang berbeda. Akhirnya yang dirugikan adalah rakyat karena pembangunan bangsa Indonesia seakan-akan berjalan di tempat," kata Basarah.

Dengan adanya keinginan untuk melakukan amendemen terbatas UUD 1945 tersebut, PDIP memiliki kepentingan untuk mengamankan kursi pimpinan MPR. Artinya, siapa pun pimpinan MPR yang nantinya disepakati, PDIP memiliki kepentingan bagaimana agenda partai bisa terkawal dengan baik.

Karena itu, partainya ingin memanfaatkan waktu yang ada untuk membuka forum-forum musyawarah untuk mencapai pada kesepakatan agar partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK), setelah bersama-sama berdiskusi dan mendapat persetujuan Presiden Joko Widodo selaku presiden terpilih.

"Kami akan menyepakati komposisi pimpinan MPR dari Koalisi Indonesia Kerja atau bersama-sama dengan unsur dari Koalisi Adil Makmur yang bersepakat, yang commited, yang setuju diadakannya agenda amendemen terbatas UUD 1945," paparnya.

Basarah mengatakan, PDIP menginginkan paket pimpinan MPR dipilih secara aklamasi. Karena itu, dalam menyusun paket pimpinan diperlukan koalisi tidak hanya dengan internal parpol KIK, tapi juga parpol yang pada Pilpres 2019 bergabung dalam barisan Koalisi Adil Makmur (KAM).

"Karena Bu Mega menginginkan agar pimpinan MPR itu dipilih secara aklamasi, bukan secara voting maka salah satu cara untuk bisa menuju pada pemilihan pimpinan MPR secara aklamasi, secara musyawarah mufakat, tentu harus ada kompromi dengan unsur parpol dari Koalisi Adil Makmur, bergabung di dalam komposisi kepimpinan MPR yang akan datang ini," tutur Basarah.

Mengenai siapa yang akan menduduki posisi ketua atau wakil ketua MPR, menurut Basarah, hal itu nanti menjadi wewenang para ketua umum masing-masing parpol atas persetujuan Presiden Jokowi.

"Ya nanti kita lihat pada akhirnya Pak Jokowi, Ibu Mega akan mengadakan pertemuan dengan ketum-ketum partai politik Koalisi Indonesia Kerja. Tentu di dalam forum pertemuan itu semua akan dimusyawarahkan, semuanya akan diambil keputusan-keputusan secara mufakat. Saya yakin dengan niat baik untuk menjaga keutuhan bangsa, menjaga persatuan bangsa, insya Allah segala ikhtiar untuk menyatukan semua kekuatan bangsa ini bisa dicapai dalam forum musyawarah mufakat," paparnya.

Senada dengan Basarah, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan
partainya tetap mengikuti rezim kedaulatan rakyat, yakni rakyat berdaulat untuk menentukan pemimpinnya.

"Presiden dan wakil presiden dipilih secata langsung oleh rakyat. Pemilihan secara langsung memberikan mandat yang sangat kuat bagi presiden terhadap legitimasi dan legalitasnya dengan jaminan masa jabatan lima tahun, kecuali melanggar konstitusi," paparnya.

Dengan demikian, kata Hasto, presiden memiliki kedudukan yang kuat. "Hanya untuk mengelola negara yang begitu besar diperlukan kesinambungan. Kita sudah belajar pasca Reformasi bahwa antara daerah dan provinsi, kabupaten/ kota dengan provinsi dengan pusat, seringkali tidak connect dalam kebijakan yang penting. Dengan demikian diperlukan haluan maka amendemen yang kita perlukan adalah amendemen yang bersifat terbatas," katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4352 seconds (0.1#10.140)