Nasib Kesenian Tradisi di Tengah Pandemi

Selasa, 24 November 2020 - 05:00 WIB
loading...
Nasib Kesenian Tradisi...
Joko Yuliyanto
A A A
Joko Yuliyanto
Penggagas Komunitas Seniman NU, Penulis Buku dan Naskah Teater

SEBAGAI pelaku kesenian, saya cukup tersentuh dengan keluh kesah teman-teman seniman yang mencoba bertahan hidup di masa pandemi korona (Covid-19). Beberapa di antaranya merupakan seniman teater paruh baya yang sudah puluhan tahun mengabdikan diri di panggung kesenian. Mereka kini dipaksa menghadapi new normal dalam mempertahankan keseniannya. Panggung-panggung pertunjukan sudah menjamur digantikan layar-layar digital smartphone.

Menurut Eddy Sedyawati (1981), seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu keadaan di mana ia tumbuh dalam lingkungan etnik yang berbeda satu sama lain. Dalam lingkungan etnik ini, adat, atau kesepakatan bersama yang turun-temurun mengenai perilaku memiliki wewenang yang amat besar untuk menentukan rebah bangkitnya kesenian.

Sebelum pandemi, kesenian tradisi memang kurang begitu diminati. Dominasi kesenian modern sudah membius penikmat seni beralih dari bayang-bayang ritus dan mistis kesenian tradisi. Kemajuan teknologi juga membantu masyarakat melupakan masa jaya seni tradisi di Indonesia.

Periode 1990-an, seni tayuban begitu lekat di kalangan masyarakat. Tampil di persimpangan jalan desa satu ke desa lainnya. Masyarakat begitu khusyuk menyaksikan tarian lenggak-lenggok sinden dan tabuhan gamelan yang sederhana. Sesekali disisipi pesan-pesan moral untuk selalu berlaku bijak dalam kehidupan. Antusiasme masyarakat terhadap kesenian tradisi cukup dimaklumi mengingat rendahnya konsumsi teknologi (televisi dan gadget) masa itu.

Sekarang kesenian tradisi tidak lagi digemari masyarakat. Bahkan banyak yang sudah melupakan euforia seni tayuban, ketoprak, lengger calung, wayang jemblung, ludruk, dan beragam jenis tari khas daerah tertentu. Masyarakat mulai dimanjakan dengan dunia digital yang menonjolkan kekuatan audio dan visual dalam pengaryaannya.

Selain kurang diminati, pelaku seni tradisi juga berpikir realistis tentang perkembangan kesenian di Indonesia. Kesenian tradisi terjebak pada pakem pertunjukan yang akhirnya tertinggal jauh dari kesenian modern yang lebih fleksibel mengikuti pasar. Akhirnya kapitalisme kesenian mengusai seni modern yang menonjolkan fungsi digital sebagai acuannya.

Menganaktirikan Seni Teater
Jika dimaknai secara etimologis, teater merupakan tontonan di gedung pertunjukan untuk disaksikan banyak orang. Istilah lainnya adalah drama yang diartikan sebagai perbuatan, tindakan, atau perilaku. Dalam tradisi Jawa, ada istilah sandiwara yang dikenalkan oleh PKG Mangkunegara VII yang berasal dari sandi = teka-teki dan warah = ajaran, nasihat. Artinya adalah pertunjukan yang sarat pesan moral secara tersirat maupun tersurat.

Perkembangan teater di Indonesia cukup menggembirakan. Sejak kemunculan tokoh WS Rendra yang memopulerkan teater modern, kemudian disusul Arifin C Noer, Putu Wijaya hingga Sapardi Djoko Damono, hampir setiap kampus memiliki UKM teater per fakultasnya. Bahkan sekolah di tingkat dasar hingga menengah atas juga punya ekstrakurikuler teater.

Namun gairah berteater tidak diikuti dengan intensitas kesejahteraan pelaku teater. Akhirnya minat berteater hanya dijadikan hobi, bukan jalan hidup. Apresiasi tertinggi dari pementasan teater hanyalah seberapa banyak penonton dan riuh tepuk tangan yang didengar. Soal pendapatan atau penghasilan hanya cukup untuk menutup biaya produksi pertunjukan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1636 seconds (0.1#10.140)