HRS, Ratu Adil, dan Krisis Sosial
loading...
A
A
A
Saat ini sebagian masyarakat kehilangan teladan kepemimpinan nasional. Pemimpin yang ada menampilkan laku plintat-plintut, paradoksal, dan sering kali abai dengan suara publik. Di antaranya banyaknya janji kampanye yang tak terbukti, paradoks penegakan hukum yang tajam ke lawan tetapi tumpul ke kawan, serta previlege untuk kelompok tertentu di bidang ekonomi. Suara publik pun tak didengar dalam pembuatan undang-undang dan kebijakan publik.
Previlege untuk elite, bahkan kelompok etnis tertentu, jelas akan menimbulkan perasaan ketidakadilan. Mereka mendapatkan keistimewaan terkait akses ke pemodalan, kemudahan berbisnis, kuota ekspor-impor hingga izin pengelolaan sumber daya alam. Tak pelak hal ini menimbulkan konglomeratisasi di satu sisi dan ketimpangan sosial-ekonomi di sisi yang lain. Ketimpangan sosial-ekonomi inilah yang memicu krisis sosial dan krisis kepemimpinan pada sebagian besar masyarakat. Mereka mencari sosok pemimpin yang diharapkan dapat mengatasi situasi krisis.
Perlu Langkah Bijak
Terlepas dari segala kontroversi sosok HRS, fenomena tentangnya adalah simbol adanya krisis sosial yang beriringan dengan krisis kepemimpinan di negeri ini. Untuk menyelesaikan akar permasalahan ini dibutuhkan upaya serius dari pemerintah untuk mengatasi berbagai krisis sosial. Juga hadirnya kepemimpinan nasional yang bisa menjadi teladan, mau mendengar suara publik, membela yang lemah, dan berdiri di tengah di atas semua kelompok.
Alih-alih mengatasi hulu masalahnya, upaya rezim merepresi tak akan menyelesaikan permasalahan. Hal ini justru menumbuhkan militansi dan soliditas bagi pendukung tokoh bersangkutan. Bahkan bisa jadi muncul apatisme dan kemarahan oleh sebagian masyarakat yang memandang HRS sebagai “ratu adil” bagi situasi krisis sosial sekarang ini.
Selama krisis sosial dan krisis kepemimpinan tak diatasi, akan muncul HRS-HRS lain di negeri ini.
Previlege untuk elite, bahkan kelompok etnis tertentu, jelas akan menimbulkan perasaan ketidakadilan. Mereka mendapatkan keistimewaan terkait akses ke pemodalan, kemudahan berbisnis, kuota ekspor-impor hingga izin pengelolaan sumber daya alam. Tak pelak hal ini menimbulkan konglomeratisasi di satu sisi dan ketimpangan sosial-ekonomi di sisi yang lain. Ketimpangan sosial-ekonomi inilah yang memicu krisis sosial dan krisis kepemimpinan pada sebagian besar masyarakat. Mereka mencari sosok pemimpin yang diharapkan dapat mengatasi situasi krisis.
Perlu Langkah Bijak
Terlepas dari segala kontroversi sosok HRS, fenomena tentangnya adalah simbol adanya krisis sosial yang beriringan dengan krisis kepemimpinan di negeri ini. Untuk menyelesaikan akar permasalahan ini dibutuhkan upaya serius dari pemerintah untuk mengatasi berbagai krisis sosial. Juga hadirnya kepemimpinan nasional yang bisa menjadi teladan, mau mendengar suara publik, membela yang lemah, dan berdiri di tengah di atas semua kelompok.
Alih-alih mengatasi hulu masalahnya, upaya rezim merepresi tak akan menyelesaikan permasalahan. Hal ini justru menumbuhkan militansi dan soliditas bagi pendukung tokoh bersangkutan. Bahkan bisa jadi muncul apatisme dan kemarahan oleh sebagian masyarakat yang memandang HRS sebagai “ratu adil” bagi situasi krisis sosial sekarang ini.
Selama krisis sosial dan krisis kepemimpinan tak diatasi, akan muncul HRS-HRS lain di negeri ini.
(bmm)