Dampak Psikologis Corona Butuh Perhatian

Senin, 11 Mei 2020 - 06:25 WIB
loading...
A A A
Karena manusia merupakan spesies sosial yang berevolusi untuk hidup dalam kelompok besar, sistem kekebalan perilaku juga memodifikasi interaksi kita dengan orang-orang untuk meminimalkan penyebaran penyakit. “Sistem kekebalan perilaku beroperasi pada logika 'lebih baik aman daripada menyesal',” kata pakar psikologi Universitas Aarhus, Denmark, Lene Aarpe. Hal tersebut dipicu oleh banyak informasi salah yang mengubah keputusan banyak orang.

Aarpe juga mengungkapkan bahwa ketakutan terhadap penyakit dapat memengaruhi sikap orang terhadap imigrasi. Dia menekankan ini bagian dari pendekatan sistem kekebalan perilaku yang lebih baik merasa aman daripada menyesal. Beberapa orang memiliki sistem kekebalan perilaku sensitif yang membuat mereka bereaksi sangat kuat terhadap ihwal yang mereka tafsirkan sebagai risiko infeksi potensial,” kata Aarpe, kepada BBC.

Pandemi virus corona yang menyebabkan krisis ekonomi dan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja juga memperparah kondisi warga yang mengalami momen buruk tersebut. Pakar psikologi organisasi Universitas Manchester, Cary Cooper, mengungkapkan pandemi bisa menjadi kambing hitam secara psikologis. “Secara psikologis, orang akan menyalahkan pandemi ketimbang menyalahkan diri sendiri,” ucapnya.

Pandemi Covid-19 juga menimbulkan krisis kesehatan mental baik saat ini dan mendatang. “Meningkatnya isolasi sosial, kesendirian, kekhawatiran kesehatan, stres, dan kondisi ekonomi memengaruhi kondisi mental dan kesehatan manusia,” kata Profesor Rory o'Connor dari Universitas Glasgow. Dia mengkhawatirkan banyak orang bisa mengalami depresi dan melarikan diri dengan mengonsumsi alkohol dan narkoba.

Anggota Komisi IX DPR Anggia Ermarini mengaku sepakat pemerintah perlu memberi perhatian pada aspek psikologi dalam menangani dampak corona, yang selama ini cenderung diabaikan. Pada edukasi melawan corona misalnya pemerintah lebih fokus pada persoalan kesehatan dengan muara bagaimana tidak tertular penyakit dengan anjuran protokol kesehatan seperti menjaga kebersihan, memakai masker, dan menjaga jarak. Sedangkan edukasi tentang psikologi masyarakat tidak mendapat perhatian.

“Beberapa waktu lalu Fatayat bikin diskusi kajian virtual tentang dampak psikologis terkait kasus kekerasan di dalam rumah tangga akibat pandemi di mana semua harus berada di rumah, dan ternyata banyak kasus kekerasan akibat itu,” tutur Ketua PP Fatayat NU ini.

Anggia mencontohkan bagaimana seorang ibu misalnya harus mengerjakan pekerjaan hariannya dan anaknya yang selama ini dipercayakan di sekolah untuk pendidikannya kini menjadi tanggungan orang tua sepenuhnya, terutama ibu. “Apalagi jika bapaknya termasuk yang terdampak dirumahkan atau di-PHK, dan itu jumlahnya banyak, jutaan, yang tercatat hampir 2 juta,” urainya.

Kondisi tersebut diperparah oleh kondisi rumah yang mungkin tidak terlalu luas dan pasangan suami-istri tidak memiliki keterampilan berkomunikasi dengan baik sehingga sulit untuk menjaga emosi. “Itu banyak sekali kemudian kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Tekanan ekonomi dan tekanan beban bisa menimbulkan miskomunikasi,” urainya.

Anggia memaparkan ada sebuah survei yang menyebutkan seberapa dekat interaksi pasangan suami dengan istri. Hasilnya ternyata durasi komunikasi paling menyenangkan dengan pasangan itu paling maksimal hanya 15 menit. “Setelah itu ya sudah biasa, bosan, marah-marah, dan lainnya. Dan, sebagian besar orang tidak punya kemampuan untuk mengelola komunikasi di dalam rumah tangga itu menyenangkan,” katanya.

Karena itu, menurut Anggia, diperlukan edukasi mengenai hal itu. Langkah ini tidak hanya menjadi kewajiban Kemenkes, namun juga semua sektor harus bergerak untuk itu. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mestinya harus lebih banyak bergerak untuk itu, padahal banyak kasus.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1877 seconds (0.1#10.140)