Minimalisir Dampak Tsunami, BMKG Terus Bangun Sistem Penanggulangan

Selasa, 17 November 2020 - 14:04 WIB
loading...
Minimalisir Dampak Tsunami, BMKG Terus Bangun Sistem Penanggulangan
Tsunami merupakan bencana alam yang jarang terjadi, namun jika terjadi akan berdampak besar dan seketika, baik kerusakan infrastruktur, ekonomi dan jiwa. Foto/SINDOnews/Dampak Tsunami Banten
A A A
JAKARTA - Tsunami merupakan jenis bencana alam yang jarang terjadi, namun jika terjadi akan berdampak sangat besar dan seketika, baik kerusakan infrastruktur, ekonomi bahkan menimbulkan banyak korban jiwa.

(Baca juga: Diabetes Jadi Penyebab Kematian Tertinggi Covid-19)

Dengan disadari, Indonesia sebagai negara yang aktif gempa bumi dan tsunami , di mana bencana gempa tidak dapat diprediksi dan tsunami akan datang tiba-tiba, maka dirasa sangat perlu untuk membekali diri dalam upaya mitigasi, terutama upaya kesiapan penyelamatan diri dan prosedur evakuasi.

(Baca juga: Tekan Angka Kemiskinan, Mensos Targetkan Graduasi Jadi 10 Juta KPM)

Hal ini dikatakan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati saat membuka webinar World Tsunami Awareness Day 'Memperingati Hari Tsunami Dunia; Membangun Budaya Siap, Selamat dan Sejahtera', di Jakarta, Jumat 13 November 2020.

"Pemerintah saat ini terus mengembangkan teknologi, peralatan, sistem dan tata cara serta aspek kelembagaan untuk menghadapi beragam bencana alam termasuk tsunami," kata Dwikorita dalam siaran pers, Selasa (17/11/2020).

Dikatakan Dwikorita, keberadaan sistem peringatan dini merupakan wujud kemajuan dan kesiapsiagaan dalam upaya mencegah atau paling tidak dalam upaya mengurangi dampak dari bahaya tsunami yang dapat terjadi sewaktu-waktu kapan saja dan di mana saja.

"Dalam upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana tsunami, BMKG memainkan peran pentingnya melalui Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) yang telah beroperasi sejak tahun 2008," ungkapnya.

"Semua teknologi, (aspek teknis) seperti super komputer, Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligent (AI) yang mendukung sistem peringatan dini akan lumpuh, akan sia-sia dan tidak ada gunanya kalau aspek kultur tidak siap," tambah Dwikorita.

Dwikorita menjelaskan, aspek kultur yaitu pemerintah daerah dan masyarakat sebagai ujung tombak menjadi tantangan dalam kesiapsiagaan bencana.

Menurut dia, apabila masyarakat dan Pemda di daerah rawan bencana tsunami masih ada yang tidak atau kurang memiliki kapasitas untuk mengoperasikan dan memelihara Sistem Penerima Peringatan Dini Tsunami yang terpasang di seluruh BPBD/Pusdalops, juga kurang mampu memelihara dan mengoperasikan Sirine Peringatan Dini Tsunami di Daerah rawan, ataupun belum siap dengan Jalur, Peta dan Tempat Evakuasi.

"Bahkan belum memahami dan menguasai Prosedur Operasional Standard untuk Evakuasi dan Penyelamatan Diri, maka teknologi yang sudah disiapkan dalam Sistem Peringatan Dini tersebut tidak akan berguna," jelasnya.

"Oleh karena itu BMKG bersama dengan Pemerintah Daerah ataupun BPBD dan berbagai pihak terkait, terus selalu menggalakkan Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami demi meningkatkan pemahaman dan kesiapan masyarakat dan Pemda dalam mengantisipasi bahaya Gempabumi dan Tsunami," tegas dia.

Salah satu permasalahan yang masih selalu muncul kata Dwikorita adalah, persoalan sirine tsunami. Sirine tsunami dibangun dengan harga yang cukup mahal oleh pemerintah pusat (BNPB) kemudian dihibahkan kepada Pemerintah Daerah untuk dioperasikan dan dipelihara.

"Data BNPB menunjukkan dari 158 sirine yang dipasang BNPB di tahun 2013 - 2014, saat ini tinggal sekitar 58 sirine yang masih beroperasi, yang berarti 100 sirine dari BNPB tersebut sudah tidak berfungsi (mati), karena keterbatasan anggaran Pemda untuk pemeliharaannya," ungkapnya.

Sementara itu kata dia, sejak tahun 2008 hingga tahun 2015 BMKG telah memasang 52 sirine, dimana 6 sirine telah dihibahkan ke Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan 9 sirine dihibahkan ke Pemerintah Provinsi Bali.

"Hingga saat ini dilaporkan oleh BPBD Sumatera Barat bahwa seluruh sirine yang telah dihibahkan tersebut tidak dapat terpelihara oleh Pemerintah Provinsi, sehingga saat ini tidak berfungsi lagi," ucapnya.

"BMKG saat ini juga sedang dalam proses mengganti 19 sirine yang masih dipelihara oleh BMKG karena usia operasionalnya sudah habis dan suku cadangnya sudah tidak tersedia lagi di pasaran ataupun di Fabrikan," ungkap Dwikorita.

Dwikorita pada kesempatan tersebut menyampaikan rasa syukur, bahwa sejak akhir 2019 telah terbit Perpres Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa bumi dan Peringatan Dini Tsunami.

"Perpres tersebut sebagai payung hukum bagi semua pihak untuk bergerak cepat dan sinergis dalam menyebarkan informasi tsunami," ujarnya.

Dia mengatakan, pada 2010-2012 sistem peringatan dini tsunami BMKG belum memiliki payung hukum, sehingga pada waktu itu sistem itu masih bersifat tumpul dan bagi instansi yang tidak melaksanakan penyebaran informasi tsunami tidak mendapatkan sanksi apapun.

Kemudian pada 2018, para pimpinan dari Kementerian Lembaga terkait di bawah Koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, BMKG, dan juga BNPB duduk bersama untuk membahas penyiapan perpres untuk Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami di Indonesia.

"Hal ini sangat dibutuhkan agar ada aturan yang mengikat untuk saling bersinergi harmonis dalam rantai penyebaran informasi tsunami. Walaupun sempat mengalami penundaan penandatanganan perpres, akhirnya lahir Perpres Nomor 93 Tahun 2019," kata dia.

Menurut Dwikorita, Perpres tersebut juga memastikan adanya sinergi antar lembaga mulai dari bagian Hulu yang merupakan aspek struktur (teknis). "Sarat dengan penerapan teknologi dan dikoordinasikan oleh BMKG, hingga bagian Hilir yang sarat dengan aspek kultur (non teknis) yang dikoordinasikan oleh BNPB," tutupnya.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1167 seconds (0.1#10.140)