Vaksin Covid-19: Efektivitas dan Akseptabilitas
loading...
A
A
A
Prof Tjandra Yoga Aditama
Guru Besar Paru-paru FKUI, Mantan Direktur WHO SEARO, Mantan Dirjen P2P dan Kepala Balitbangkes
SALAH satu kunci penting penanggulangan Covid-19 adalah vaksinasi yang dapat memberi kekebalan kepada masyarakat. Hal ini pula yang menyebabkan negara-negara di dunia, badan internasional, para pakar dan perusahaan produsen berupaya amat keras agar vaksin dapat segera tersedia.
Di sisi lain, kita tahu bahwa ada dua aspek utama dari sebuah vaksin, yaitu pertama, efektivitas proteksinya agar orang yang mendapat vaksin memang bisa terlindung sehingga tidak sakit. Kedua, keamanan bagi orang yang divaksin agar tidak ada hal membahayakan yang terjadi.
Status kedua aspek ini harus jelas dulu secara menyeluruh sebelum program vaksinasi dilaksanakan. Ditambah lagi satu faktor lain yang amat penting, yaitu akseptabilitas masyarakat.
Efektivitas dan Keamanan
Uji klinik vaksin Covid-19 kini tengah berlangsung di berbagai negara. Setidaknya ada tiga hal penting yang perlu diketahui dari hasil uji klinis ini nantinya. Pertama, soal berapa besar tingkat efektivitas proteksi. Artinya, dari mereka yang dapat vaksin akan dilihat seberapa besar yang benar-benar terlindungi dan tidak jatuh sakit. Kalau efektivitasnya 70%, artinya ada 30% penduduk yang walaupun sudah divaksin, tetap mungkin tertular penyakit ini. Kalau efektivitasnya 50%, tentu separuh akan terlindungi dan separuh lagi tidak. Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini maka mungkin saja nilai cut off efektivitas ini tidak begitu tinggi. Tujuannya agar segera ada vaksin di dunia walaupun mungkin efektivitasnya belum ideal sekali.
Beberapa waktu ini ada laporan sementara bahwa salah satu vaksin Covid-19 yang efektivitasnya disebut lebih dari 90% dalam tujuh hari evaluasi sesudah penyuntikan kedua. Sebuah berita yang menjanjikan. Tapi, ada beberapa informasi terkait lain yang perlu dievaluasi lebih lanjut. Proses pembuatan vaksin dengan teknologi modern menggunakan RNA sintetis untuk mengaktifkan sistem imun/kekebalan ini ternyata membawa tantangan berat. Tantangannya adalah vaksin harus disimpan dalam suhu minus 70 derajat Celsius (-94 F) atau kurang lebih sama dengan suhu Antartika ketika musim dingin. Karenanya, ia disebut pula dengan “ultra-cold vaccine”. Informasi menyebutkan bahwa vaksin akan rusak kalau suhu pendingin tidak memenuhi standar.
Nah, hal ini tentu jadi masalah besar untuk Indonesia dan negara tropis lainnya, bahkan juga di negara yang lebih dingin suhunya, karena akan memerlukan “a very complex distribution plan”. Apalagi, kalau diingat bahwa vaksin ini harus diberikan dua kali dalam rentang waktu beberapa pekan. Artinya, petugas harus datang ke lokasi penyuntikan (yang mungkin desa di pulau terpencil misalnya) dengan vaksin yang tersimpan dalam suhu minus 70 derajat Celsius, lalu balik lagi beberapa pekan kemudian dengan suhu “ultra cold” yang tetap terjaga.
Kalau hanya disuntik satu kali atau vaksinnya rusak karena suhu tidak terjaga, tentu tidak akan efektif. Uji klinis vaksin produksi Pfizer ini melibatkan 43.538 relawan peserta uji.
Pada waktu diumumkan beberapa hari lalu bahwa efektivitas vaksin lebih dari 90%, sudah ada 38.955 relawan yang selesai disuntik dua kali. Sebagian dapat vaksin dan sebagian lainnya plasebo. Dalam laporan sementara/interim ini tercatat 94 kasus terkonfirmasi Covid-19 pada relawan peserta uji klinik, 62 orang di antaranya dianalisis dan didapatkan nilai efektivitas lebih dari 90% ini. Kurang lebih artinya adalah lebih dari 90% kasus positif Covid-19 terjadi pada kelompok yang hanya mendapat plasebo. Penelitian ini dikabarkan masih akan dilanjutkan sampai didapat 164 kasus konfirmasi Covid-19 dan analisis akhir/final akan disajikan kemudian.
Kedua, berapa lama proteksi akan bertahan di dalam tubuh orang yang sudah divaksin. Hal ini memang sulit dijawab karena Covid-19 baru sekitar 10 bulan ada di muka bumi. Yang jelas, sudah ada beberapa laporan ilmiah yang membuktikan bahwa mereka yang sudah sembuh dari Covid-19 dan diasumsikan sudah ada antibodi/kekebalan, tetapi kemudian ternyata jatuh sakit lagi dan bahkan ada yang sakitnya lebih berat seperti di laporkan di Belanda dan Amerika Serikat.
Guru Besar Paru-paru FKUI, Mantan Direktur WHO SEARO, Mantan Dirjen P2P dan Kepala Balitbangkes
SALAH satu kunci penting penanggulangan Covid-19 adalah vaksinasi yang dapat memberi kekebalan kepada masyarakat. Hal ini pula yang menyebabkan negara-negara di dunia, badan internasional, para pakar dan perusahaan produsen berupaya amat keras agar vaksin dapat segera tersedia.
Di sisi lain, kita tahu bahwa ada dua aspek utama dari sebuah vaksin, yaitu pertama, efektivitas proteksinya agar orang yang mendapat vaksin memang bisa terlindung sehingga tidak sakit. Kedua, keamanan bagi orang yang divaksin agar tidak ada hal membahayakan yang terjadi.
Status kedua aspek ini harus jelas dulu secara menyeluruh sebelum program vaksinasi dilaksanakan. Ditambah lagi satu faktor lain yang amat penting, yaitu akseptabilitas masyarakat.
Efektivitas dan Keamanan
Uji klinik vaksin Covid-19 kini tengah berlangsung di berbagai negara. Setidaknya ada tiga hal penting yang perlu diketahui dari hasil uji klinis ini nantinya. Pertama, soal berapa besar tingkat efektivitas proteksi. Artinya, dari mereka yang dapat vaksin akan dilihat seberapa besar yang benar-benar terlindungi dan tidak jatuh sakit. Kalau efektivitasnya 70%, artinya ada 30% penduduk yang walaupun sudah divaksin, tetap mungkin tertular penyakit ini. Kalau efektivitasnya 50%, tentu separuh akan terlindungi dan separuh lagi tidak. Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini maka mungkin saja nilai cut off efektivitas ini tidak begitu tinggi. Tujuannya agar segera ada vaksin di dunia walaupun mungkin efektivitasnya belum ideal sekali.
Beberapa waktu ini ada laporan sementara bahwa salah satu vaksin Covid-19 yang efektivitasnya disebut lebih dari 90% dalam tujuh hari evaluasi sesudah penyuntikan kedua. Sebuah berita yang menjanjikan. Tapi, ada beberapa informasi terkait lain yang perlu dievaluasi lebih lanjut. Proses pembuatan vaksin dengan teknologi modern menggunakan RNA sintetis untuk mengaktifkan sistem imun/kekebalan ini ternyata membawa tantangan berat. Tantangannya adalah vaksin harus disimpan dalam suhu minus 70 derajat Celsius (-94 F) atau kurang lebih sama dengan suhu Antartika ketika musim dingin. Karenanya, ia disebut pula dengan “ultra-cold vaccine”. Informasi menyebutkan bahwa vaksin akan rusak kalau suhu pendingin tidak memenuhi standar.
Nah, hal ini tentu jadi masalah besar untuk Indonesia dan negara tropis lainnya, bahkan juga di negara yang lebih dingin suhunya, karena akan memerlukan “a very complex distribution plan”. Apalagi, kalau diingat bahwa vaksin ini harus diberikan dua kali dalam rentang waktu beberapa pekan. Artinya, petugas harus datang ke lokasi penyuntikan (yang mungkin desa di pulau terpencil misalnya) dengan vaksin yang tersimpan dalam suhu minus 70 derajat Celsius, lalu balik lagi beberapa pekan kemudian dengan suhu “ultra cold” yang tetap terjaga.
Kalau hanya disuntik satu kali atau vaksinnya rusak karena suhu tidak terjaga, tentu tidak akan efektif. Uji klinis vaksin produksi Pfizer ini melibatkan 43.538 relawan peserta uji.
Pada waktu diumumkan beberapa hari lalu bahwa efektivitas vaksin lebih dari 90%, sudah ada 38.955 relawan yang selesai disuntik dua kali. Sebagian dapat vaksin dan sebagian lainnya plasebo. Dalam laporan sementara/interim ini tercatat 94 kasus terkonfirmasi Covid-19 pada relawan peserta uji klinik, 62 orang di antaranya dianalisis dan didapatkan nilai efektivitas lebih dari 90% ini. Kurang lebih artinya adalah lebih dari 90% kasus positif Covid-19 terjadi pada kelompok yang hanya mendapat plasebo. Penelitian ini dikabarkan masih akan dilanjutkan sampai didapat 164 kasus konfirmasi Covid-19 dan analisis akhir/final akan disajikan kemudian.
Kedua, berapa lama proteksi akan bertahan di dalam tubuh orang yang sudah divaksin. Hal ini memang sulit dijawab karena Covid-19 baru sekitar 10 bulan ada di muka bumi. Yang jelas, sudah ada beberapa laporan ilmiah yang membuktikan bahwa mereka yang sudah sembuh dari Covid-19 dan diasumsikan sudah ada antibodi/kekebalan, tetapi kemudian ternyata jatuh sakit lagi dan bahkan ada yang sakitnya lebih berat seperti di laporkan di Belanda dan Amerika Serikat.