Pendidikan, Pandemi, dan Revolusi 4.0

Jum'at, 13 November 2020 - 05:40 WIB
loading...
Pendidikan, Pandemi, dan Revolusi 4.0
Mh Zaelani Tammaka
A A A
Mh Zaelani Tammaka
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA (UHAMKA) Jakarta,
mahasiswa Program Doktor Universitas Negeri Jakarta

PANDEMI korona (Covid-19) di Tanah Air yang sudah berlangsung hampir tiga triwulan tak pelak telah memengaruhi tata kehidupan masyarakat di segala lini, tak terkecuali di sektor pendidikan. Di lingkungan pendidikan, khususnya persekolahan, perubahan yang paling mencolok adalah masifnya penggunaan platform digital untuk proses pembelajaran. Kondisi ini seakan-akan telah “memaksa” dunia pendidikan mengalami “percepatan” menuju Revolusi Industri 4.0.

Revolusi Industri 4.0 merupakan suatu era atau tatanan baru yang ditandai dengan perubahan fundamental di bidang industri sehingga memengaruhi sikap mental dan tata nilai di masyarakat. Arus utamanya berupa otomatisasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik yang berupa siber-fisik, internet untuk segala (internet of thinking), komputasi awam (cloud computing), dan komputasi kognitif, termasuk di dalamnya adalah teknologi artificial Intelligence/AI (kecerdasan buatan).

Pada era ini peran tenaga kerja manusia tidak lagi dominan karena kerja-kerja teknis bisa digantikan oleh mesin-mesin robotik dan teknologi kecerdasan buatan yang mampu bekerja lebih cepat dengan hasil yang lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas. Dengan begitu beberapa jenis pekerjaan dan produksi berkurang atau bahkan menghilang. Karena itu era Revolusi 4.0 disebut juga dengan era disrupsi. Kehadiran buku cetak sudah tergantikan oleh keberadaan buku elektronik (e-book). Sumber pengetahuan informatif tergantikan oleh mesin pencarian Google.

Aneka disrupsi ini, mau tidak mau, menuntut pembaruan di berbagai aspek dunia pendidikan dan pengajaran. Misalnya kalau semua informasi telah bisa dijawab oleh mesin pencarian Google, lantas apa masih dibutuhkan kehadiran seorang guru? Akankah profesi guru termasuk yang bakal terkena disrupsi? Tentu saja secanggih apa pun teknologi, peran manusia sebagai makhluk Tuhan tetap tidak bisa tergantikan. Perihal teknis pengajaran mungkin saja bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi, tetapi tugas mendidik manusia tentu saja tetap membutuhkan manusia pendidik. Manusia pendidik itulah potret guru yang sebenarnya.

Revolusi Industri 4.0 memang selayaknya direspons secara positif oleh semua pemangku kepentingan di sektor pendidikan. Karena itu, sebagai komponen inti penggerak dunia pendidikan, guru memiliki peran sentral di dalam meniti perubahan ini.

Seorang guru harus memiliki kemampuan mendidik agar para siswa berkembang secara maksimal pada dua kemampuan sekaligus, yaitu soft-skill (keterampilan lunak) dan hard-skill (keterampilan keras). Kemampuan soft-skill meliputi potensi yang bersifat mentalitas seperti beriman dan bertakwa, berakhlak mulia. Adapun kemampuan hard-skill merupakan keterampilan teknis, keterampilan yang teruji dan terukur secara fisik, yang dibutuhkan oleh dunia kerja untuk mendukung pengembangan dua potensi siswa tersebut dan menjawab tantangan.

Pertama, keterampilan critical thinking and problem solving (berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah). Di dunia virtual, semua data tergelar dengan bebas dan dalam volume yang sangat besar (big data). Big data ini ibarat rimba raya yang sangat luas, siapa pun bisa tersesat di dalamnya. Data valid dan rumor berbaur menjadi satu. Keterampilan berpikir kritis dalam hal ini sangat diperlukan agar guru bisa membimbing siswa sehingga mampu memverifikasi, menganalisis, melakukan sintesis, dan sebagainya. Dengan demikian siswa bisa membedakan mana informasi yang faktual dan mana hoaks?

Kedua, keterampilan collaboration and communication (bekerja sama dan berkomunikasi). Kolaborasi dan komunikasi merupakan keterampilan yang sangat penting di Revolusi Industri 4.0. Penemuan di bidang teknologi informasi yang masif telah memutus batas-batas geografis. Dunia bagai kampung besar (global village). Kerja sama antarpihak semakin mudah, tetapi sekaligus kompleks. Dengan demikian guru harus mampu membekali diri dengan kedua kemampuan ini guna selanjutnya membekali siswa dengan kemampuan serupa.

Ketiga, keterampilan berpikir kreatif dan imajinasi (creativity and imagination). Kunci memenangi persaingan di era disrupsi ini adalah inovasi. Kita bisa melihat fenomena bagaimana beberapa produk di pasaran menghilang begitu saja karena telat berinovasi. Inovasi hanya bisa terlahir dari kreativitas dan imajinasi. Kreativitas dan imajinasi siswa hanya bisa terjadi jika ada ruang berpikir bebas, tidak takut salah, berani mencoba dan berimprovisasi.

Keempat, keterampilan citizenship, semacam pendidikan kewargaan (civic education), guna menjadi warga negara yang baik. Globalisasi telah membuat batas-batas nasional menjadi kabur. Kalau guru tidak mampu membekali siswa dengan pendidikan kewargaan dengan tepat, nasionalisme para siswa bisa semakin melemah. Guru dituntut tetap mampu menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada siswa tanpa harus terjebak pada chauvinism (nasionalisme yang sempit).

Kelima, kemampuan literasi, khususnya literasi digital (digital literation), yaitu keterampilan untuk dapat memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber, khususnya dari internet. UNESCO memaknai digital literacy sebagai kemampuan untuk mengakses sumber berita dan mengevaluasi secara kritis dan menciptakan informasi melalui teknologi digital. Melalui digital literacy seseorang tidak sekadar memiliki kemampuan untuk mengoperasikan peralatan teknologi, tetapi juga harus memiliki kemampuan lain untuk mengolahnya menjadi hal-hal yang positif dan lebih berdaya guna.

Keenam, student leadership and personal development. Setiap siswa tentu saja memiliki potensi dan bakat yang berbeda-beda. Guru harus mampu menjadi fasilitator untuk pengembangan diri siswa, baik dari sisi kepemimpinan maupun pengembangan pribadinya. Dalam hal ini guru harus memahami bahwa potensi setiap siswa itu unik dan pengembangan potensinya harus disesuaikan dengan keunikan tersebut. Selanjutnya guru harus mampu meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam mengembangkan potensi personalnya.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1518 seconds (0.1#10.140)