Lebih Terkendali, Kasus Aktif Covid-19 di Indonesia Turun

Selasa, 10 November 2020 - 07:18 WIB
loading...
Lebih Terkendali, Kasus Aktif Covid-19 di Indonesia Turun
Seorang tenaga medis sedang berjalan di lorong ruang isolasi. Saat ini jumlah angka kesembuhan Covid-19 melebihi angka dunia yakni sebesar 84,4%. Foto: dok/SINDOnews/Ali Masduki
A A A
JAKARTA - Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan saat ini kasus Covid-19 di Indonesia relatif lebih terkendali. Hal ini terlihat dari kasus aktif Covid-19 di Tanah Air yang lebih rendah dibandingkan global dengan selisih 14,27%.



“Kalau kita lihat secara nasional, angka kasus aktif kita adalah 12,52%, sedangkan di dunia ini kasus aktifnya adalah 26,79%. Jadi, kita lebih rendah dan selisihnya 14,27%. Dan, ini dari waktu ke waktu selalu turun kasus aktifnya. Kasus aktif artinya kasus yang sedang sakit,” ungkap Wiku di Media Center Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Graha BNPB, kemarin. (Baca: Baca Doa Ini Sebelum Shalat, Setan Bakal Kabur)

Wiku menegaskan bahwa penurunan kasus aktif ini sebuah prestasi nasional, bukti masyarakat dan pemerintah bersama-sama bisa mengendalikan kasus Covid-19. “Jadi, ini adalah suatu prestasi nasional bersama, ternyata masyarakat dan pemerintah bisa bersama-sama mengendalikan kasus,” katanya.

Bahkan, kata Wiku, saat ini jumlah angka kesembuhan Covid-19 juga melebihi angka dunia yakni sebesar 84,4%. “Dan, jumlah yang sembuh pun naik terus pada hari ini sudah 84,4%, sedangkan di dunia kebetulan agak naik sekarang 70,71%. Jadi, ini selisihnya 13,4%, kasus kesembuhannya kita lebih tinggi daripada global,” ungkapnya.

Namun, kata Wiku, angka kematian kasus Covid-19 di Tanah Air masih lebih tinggi dibandingkan dengan dunia yakni sebesar 3,34%. “Sedangkan kematiannya, kasus meninggalnya kita 3,34%. Sedangkan di dunia 2,5%, kita masih sedikit di atas global yaitu 0,84%,” sebutnya.

Dia menegaskan bahwa gotong-royong berperan penting dalam pengendalian kasus Covid-19 di Tanah Air. Menurutnya, gotong-royong bisa berupa saling mengingatkan untuk menjalankan protokol kesehatan, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun (3M).

“Jadi, saling mengingatkan mulai dari individu di keluarga, kemudian di masyarakat yang kecil RT/RW, sampai dengan di kantor-kantor dan tempat bekerja mereka termasuk di industri,” terangnya.

Dengan begitu, tegas Wiku, ini akan menjadi modal untuk kembali beraktivitas dengan beradaptasi kebiasaan baru ke depan untuk pemulihan ekonomi nasional. “Potensi untuk saling mengingatkan ini besar sekali dan sudah mereka jalankan. Dan, toleransi seperti inilah yang kita perlukan dalam modal kita untuk bekerja ke depan,” tegasnya. (Baca juga: UIN Jakarta Dirikan Pusat Kajian Halal)

Apalagi, kata Wiku, saat ini tren Covid-19 di Indonesia relatif terkendali. Ini sebuah prestasi nasional, bukti masyarakat dan pemerintah bersama-sama bisa mengendalikan kasus Covid-19. “Jadi, ini adalah suatu prestasi nasional bersama, ternyata masyarakat dan pemerintah bisa bersama-sama mengendalikan kasus,” tandasnya.

Di sisi lain, Wiku mengatakan, pandemi Covid-19 telah berlangsung selama delapan bulan. Kegiatan masyarakat sebagian sudah mulai kembali dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Berdasarkan hasil monitoring dalam sebulan lebih, sebanyak 20 juta orang dipantau disiplin melakukan protokol kesehatan. “Kami di satgas memiliki alat monitor tentang perilaku yang ada di masyarakat. Dan, sudah kita operasikan sebulan lebih,” terangnya.

Dia mengungkapkan, ada sebanyak 500 laporan masuk per detik ke alat monitoring perubahan perilaku. Kini dalam sebulan lebih bekerja sebanyak 20 juta orang dipantau disiplin protokol kesehatan.

“Mereka melaporkan setiap hari, setiap jam tentang penerapan protokol 3M itu di masyarakat, dan real time difoto dan dikirimkan kepada kami, laporannya sekitar 500 laporan per detik dari seluruh Indonesia. Dan, saat sekarang ini sudah ada 20 juta orang yang dipantau. Dan, dari 4.500.000 titik yang dipantau di seluruh Indonesia,” kata Wiku.

Dari laporan ini, kata Wiku, satgas akan menilai kepatuhan individu dan institusi. Ternyata kepatuhan individu menggunakan masker sudah sangat bagus. Hanya ada sekitar 20% yang belum menggunakan, belum tertib menggunakan masker. Begitu juga dengan menjaga jarak dan cuci tangan.

“Selain itu, kita juga lihat kepatuhan institusi. Jadi, kalau tadi sudah dijelaskan oleh para menteri tentang ekonomi yang sudah berjalan dan modal kita ke depan, ternyata kedisiplinan yang menangani termonitor. Dan, memang belum seluruhnya disiplin, tetapi itu yang harus kita kerjakan,” kata Wiku. (Baca juga: 7 Cara Sederhana Atasi Masalah Lambung)

Perubahan Perilaku

Survei AC Nielsen bekerja sama dengan UNICEF di enam kota besar di Indonesia dengan jumlah 2.000 responden mencoba menggali sikap masyarakat terkait praktik pencegahan Covid-19 dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut survei tersebut, 69,6% responden di enam kota besar di Indonesia mengaitkan Covid-19 dengan aspek negatif seperti berbahaya, menular, darurat, mematikan, menakutkan, khawatir, wabah, pandemi, dan penyakit. Meski mayoritas responden mengasosiasikan Covid-19 dengan aspek negatif, namun ihwal ini bisa mengarahkan perilaku seseorang untuk bertindak positif dalam mencegah penularannya.

Kemudian perilaku masyarakat terkait 3M secara riil di lapangan menunjukkan bahwa 31,5% dari seluruh responden melakukan seluruh perilaku 3M secara disiplin. Sebesar 36% dari total jumlah responden melakukan dua dari perilaku 3M. Sementara 23,2% melakukan satu dari perilaku 3M. Hanya 9,3% dari responden yang tidak melakukan kepatuhan terhadap 3M sama sekali. (Baca juga: Biden Mulai Transisi Kekuasaan, Trump Tetap menolak Kalah)

“Apabila kita analisis secara individual, menjaga perilaku jaga jarak (47%) lebih rendah daripada memakai masker (71%) dan mencuci tangan (72%). Khusus untuk jaga jarak, didapatkan ternyata ada aspek norma sosial yang berperan di sini misalnya, merasa tidak enak menjauh dari orang lain, orang lain yang mendekat ke saya, atau berpikir bahwa semua orang juga tidak menjaga jarak,” terang konsultan UNICEF Risang Rimbatmaja.

Selanjutnya konsep kesalahan persepsi bahwa orang yang kelihatan sehat dianggap tidak bisa menularkan penyakit juga menjadi faktor rendahnya penerapan perilaku menjaga jarak di kalangan masyarakat. “Yang tidak kalah menonjol adalah salah persepsi, saya sehat atau orang lain sehat kenapa harus jaga jarak. Kelihatannya konsep orang tanpa gejala (OTG) masih belum betul-betul berada di benak masyarakat,” jelas Risang.

Perlu bagi masyarakat luas juga mengetahui konsep OTG karena masyarakat menjadi merasa tidak perlu menjaga jarak. Apabila masyarakat mengetahui lebih jauh lagi soal cara penularan Covid-19, diyakini bahwa masyarakat akan melakukan pencegahan lebih disiplin lagi. “Tentunya semakin baik pengetahuannya semakin berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan Covid-19 yang lebih baik dan disiplin,” ujar Rizky Ika Syafitri, UNICEF Communications Development Specialist.

Kebanyakan responden berpikir bahwa penularan Covid-19 melalui orang yang batuk dan bersin (71%). Hanya 23-25% responden yang menyebutkan penularan Covid-19 melalui berbicara dan bernafas. Ini menjelaskan, mengapa jaga jarak dianggap tidak terlalu perlu saat berbicara dengan orang lain selama lawan bicara tidak batuk atau bersin. (Lihat videonya: Jelang Kepulangan Habib Rizieq Shihab ke Tanah Air)

Untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya perubahan perilaku ini, penting juga untuk mengetahui media penyalurannya yang tepat. Sumber informasi yang paling dipercayai masyarakat mengenai Covid-19 ini adalah media massa televisi, kemudian diikuti oleh koran, radio, media sosial, WhatsApp Group, pemberitaan media online, dan situs internet. (Binti Mufarida)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1778 seconds (0.1#10.140)