Pilkada, Narasi Kepahlawanan, dan Politik Tahu Diri

Selasa, 10 November 2020 - 05:30 WIB
loading...
Pilkada, Narasi Kepahlawanan, dan Politik Tahu Diri
Firna Novi Anggoro
A A A
Firna Novi Anggoro
Pemerhati Isu Hukum dan Kebijakan Publik

PADA 9 Desember 2020 Indonesia akan melaksanakan pilkada di 270 daerah pemilihan meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 27 kota. Berbagai pro-kontra berseliweran mengiringi niatan pemerintah yang melaksanakan kontestasi elektoral daerah di tengah kondisi pandemi Covid-19.

Terlepas dari pro-kontra, pada kenyataannya prosesi Pilkada 2020 diawali dengan tontonan politik yang menyedihkan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat setidaknya terdapat 243 pelanggaran protokol kesehatan pada saat pendaftaran bakal calon. Begitu pun saat kampanye yang umumnya berupa pertemuan tatap muka telah terjadi 306 pelanggaran protokol kesehatan.

Bawaslu juga telah merekomendasikan untuk mendiskualifikasi sejumlah calon petahana lantaran diduga melakukan penyalahgunaan wewenang. Modusnya mulai dari penggantian pejabat daerah hingga politisasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) Covid-19 yang semuanya ditujukan untuk memuluskan jalan pemenangan sang petahana di pilkada.

Beberapa pihak meragukan jika pilkada tahun ini bakal bebas dari politik transaksional. Pasalnya, berdasarkan kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat 82% calon kepala daerah tidak dibiayai uang sendiri, melainkan didanai sponsor. Relasi simbiosis mutualisme antara cukong dan pasangan calon inilah ditengarai yang membidani praktik korupsi yang akan mewarnai jalannya pemerintahan daerah selama lima tahun ke depan.

Melaksanakan pesta demokrasi di masa pandemi ini juga bukanlah menjadikan nihil praktik politik uang. Bisa jadi para kandidat menyamarkan pemberian uang atau barang kepada masyarakat dengan dalih bantuan kemanusiaan, padahal misinya adalah memperoleh simpati dan mengarahkan preferensi politik masyarakat kepadanya.

Narasi (Nir) Kepahlawanan
Jika mencermati fenomena politik di atas, tebersit jelas bahwa narasi kepahlawanan masih jauh dari praktik berpolitik kita hari ini. Jangankan berharap menampilkan sosok patriotik layaknya tokoh pahlawan di era prakemerdekaan, budaya politik saat ini justru malah mendestruksi sendi-sendi demokrasi yang telah lama dibangun.

Kita memang telah memiliki banyak regulasi untuk membangun kontestasi politik yang sehat, sayangnya sampai saat ini masih belum bisa memberikan dampak pendewasaan sikap berdemokrasi para elite politik.

Pilkada yang sejatinya merupakan sarana untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah disulap seketika oleh oknum politikus jahat sebagai wahana transaksi kepentingan politik dan ekonomi.

Kehidupan mulia bernegara terabrasi menjadi sekadar kehidupan berpolitik murahan yang dikuasai dengan kerja-kerja yang penuh manipulasi, intrik, tipu muslihat, bahkan kriminal. Semua dikemas apik demi memenuhi nafsu kekuasaan belaka.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1229 seconds (0.1#10.140)