Menghadapi Ujian pada Hari Kemenangan

Sabtu, 09 Mei 2020 - 07:12 WIB
loading...
Menghadapi Ujian pada...
Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Ramadhan dan Idul fitri berbeda, tak seperti musim sebelumnya. Kebiasaan di bulan suci berubah. Muhasabah, amal, dan amalan sekarang tidak ingar-bingar. Namun sesungguhnya, inilah kesempatan umat Islam untuk mengingat kembali hakekat hari raya.

Budayawan Islam, Tiar Anwar Bachtiar, berharap masyarakat menerima dengan ikhlas. Karenan itu, apa pun yang diperintahkan pemerintah demi mencegah Covid-19 semakin meluas, sebaiknya dilakukan.

Menurut Tiar, peristiwa ini ujian, hari raya yang seharusnya bergembira, sukacita dengan segala persiapan yang dibuat dari jauh hari kini berbeda. "Allah SWT sedang mengingatkan kita tentang hakikat hari raya. Terkadang kita melupakan esensi dari hari raya," ucapnya.

Hari Raya Idul Fitri sebenarnya adalah hari kemenangan setelah sebulan berpuasa. Maka Allah SWT memberikan kesempatan pada hamba-Nya bergembira atas pencapaian itu. Kegembiraan tersebut diekspresikan dengan mengeluarkan zakat fitrah sebagai pertanda sukacita dan berbagi dengan orang lain.

Sebelumnya luapan kebahagiaan dilakukan dengan berkumpul bersama saudara-saudara seiman untuk menjalankan salat Id. Namun di tengah pandemi kali ini berbeda. "Kita masih dan memang wajib untuk zakat fitrah, kemudian salat Id kita bisa lakukan di rumah bersama keluarga. Memang diperintahkan di lapangan terbuka atau masjid. Namun, sebenarnnya salat Id itu salat sunah yang bisa dilakukan di rumah,” jelasnya.

Mengenai silaturahmi dalam budaya di Indonesia yang mengunjungi satu sama lain. Secara hakikat harus seperti itu, berjabat tangan bahkan berpelukan. Namun dengan kondisi seperti sekarang ini, dapat diubah caranya. "Allah Maha Mengetahui semaunya. Apa yang dilakukan saat ini tentu tidak melanggar syariat Islam mana pun, termasuk tradisi di Indonesia. Semua kini saling menjaga," ucap pengurus Pimpian Pusat Persatuan Islam ini.

Terkait silaturahmi yang tidak bisa dilakukan secara langsung, masyarakat Indonesia bahkan dunia kini bisa memanfaatkan teknologi. Misalkan saja melalui pesan atau video call di aplikasi WhatsApp ataupun Zoom. Dengan menggunakan teknologi, tidak sedikit pun mengurangi nilai silaturahmi.

"Banyak hal yang memaksa kita berubah, teknologi dapat memudahkan hidup masa kini hingga urusan merayakan hari raya. Sedekah pun sudah dapat dilakukan secara online, sekarang kebaikan dapat dilakukan di mana saja," jelasnya.

Terpenting lainnya, pada Idul Fitri adalah memberikan maaf dan meminta maaf, meskipun tidak bertemu langsung masih bisa dilakukan dengan tulus. Tidak dendam saat hari kemenangan. Silaturahmi dengan mengunjungi sanak keluarga di tempat yang jauh dapat dilakukan setelah pandemi berakhir.

"Pemerintah telah memberikan cuti bersama dalam jangka waktu panjang. Kita bisa ganti silaturahmi secara langsung yang tertinggal pada lebaran ini nanti. Sekarang hanya butuh kesabaran dari umat," tandasnya.

Meski demikian, sebagian masyarakat masih banyak yang memaksakan mudik. Menurut sosiolog Ida Ruwaida, mudik merupakan fenomena migrasi yang sifatnya fitrah atau naluriah. Mudik, berarti ‘pulang' dan kembali mempertegas identitas sosialnya.

"Masyarakat cenderung semakin rasional, bahkan di era digital fenomena mudik masih tinggi. Ini karena faktor sosiokultural, yakni pola migrasi yang cenderung ke perkotaan," ungkapnya. Hal tersebut merupakan alasan mudik yang sebenarnya. Selain faktor sosiologi, alasan mudik saat pandemi adalah faktor ekonomi. Sebagain masyarakat merasa lebih bisa bertahan hidup di kampung halaman daripada di perantauan.

Tidak mudik dan berkumpul dengan saudara di kampung halaman juga dialami Arzeti Bilbina, anggota Komisi IX DPR RI yang mengaku untuk pertama kalinya berlebaran di Jakarta.

"Masih bingung karena tidak mudik, biasanya lebaran selalu mudik. Jadi belum tahu nanti mau ngapain, untuk halalbihalal, sepertinya hanya bertemu keluarga inti saja," ungkapnya.

Namun, satu hal yang disyukurinya yakni mertua dan ibundanya kebetulan sedang berada di Jakarta. Arzeti mengaku rindu perjalanan mudik dan kumpul di kampung.

"Biasanya kita salat di lapangan. Kalau di Lampung, kita ke lapangan bola di pinggir pantai kebiasaan masa kecil. Jalan kaki jauh sekali supaya bisa menyapa tetangga dan teman sekampung," kenangnya.

Lain lagi jika sedang mudik di kampung halaman sang suami di Yogyakarta. Mereka sekeluarga salat Id di alun-alun. Kini, Arzeti harus menikmati Lebaran hanya di rumah tanpa banyak bertemu saudara. "Mungkin nanti saat hari H maaf-maafan dengan teman-teman di DPR melalui Zoom aja, selebihnya belum tahu," ungkap politikus PKB ini.

Hal yang sama dikatakan anggota DPR yang juga seniman, Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio. Dirinya mengaku akan menggunakan aplikasi Zoom untuk silaturahmi dengan saudaranya yang jauh. Terbiasa Lebaran di Jakarta dan tidak mudik membuat Eko menjalani Lebaran tahun ini sama seperti biasa.

"Sungkem ke rumah orangtua yang juga tinggal di Jakarta pastinya tetap pakai masker. Setelah itu balik ke rumah, tidak berani datengin orang lain," ungkapnya.

Eko berharap semua dapat tetap menjaga jarak. Baginya, aplikasi Zoom atau media sosial lain dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin agar tetap merasakan nuansa kemenangan meski di rumah masing-masing. (Ananda Nararya)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0986 seconds (0.1#10.140)