Menuju Era Baru Amerika?
loading...
A
A
A
Andi Purwono
Dosen Hubungan Internasional, Wakil Rektor III Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
PEMILIHAN presiden Amerika Serikat (AS) berlangsung pada 3 November 2020, meski hingga kini lebih dari 50 juta warga telah menggunakan hak pilihnya. Sejumlah survei menunjukkan keunggulan Joe Biden, yang diusung Partai Demokrat atas Presiden Donald Trump yang diusung Partai Republik. Apakah era baru Amerika akan segera tiba dan apa antisipasi kita khususnya terkait politik luar negerinya?
Politik luar negeri suatu negara tidak bisa dilepaskan dari kondisi dan perubahan yang terjadi dalam lingkup domestik. Secara teoritis, ia dipengaruhi oleh banyak variabel di tingkat sistem internasional, nasional, ataupun pembuat kebijakannya (Kegley and Wittkopf: 2010: 188- 227). Oleh karena itu, peran global Amerika pascapemilu 3 November sedikit banyak bisa diraba, meski tetap sulit diprediksi secara pasti.
Pertama, ada pandangan yang menilai bahwa pergantian presiden suatu negara akan memengaruhi perubahan kebijakan luar negerinya. Dalam kajian hubungan internasional, hal ini menemukan pijakan dari teori yang menyebut bahwa perilaku negara juga bisa dijelaskan dengan variabel idiosyncracy (faktor-faktor yang ada dalam diri individu pembuat kebijakan). Bahkan pendekatan di tingkat analisis individu ini menjadi kajian klasik yang sudah cukup lama digunakan.
Ini meliputi faktor seperti watak, personality, karakter, psikologi, keyakinan, pendidikan, hingga pengalaman hidup sang tokoh pemimpin. Dalam rentang waktu tahun-tahun Donald Trump menjabat, memang terbukti Amerika sering membuat khawatir banyak tokoh dan warga dunia, termasuk banyak warga Amerika sendiri karena kebijakan, tindakan, dan pernyataan kontroversial-impulsif Trump. Kebijakan tembok pemisah untuk imigran, perang pernyataan dengan Tiongkok di beberapa kasus seperti Huawei, Laut China Selatan, dan pandemi korona, adalah beberapa contoh yang bisa disebut. Bahkan posisi pribadi Trump yang enggan memakai masker juga kontroversial. Itu artinya, sosok pemimpin memang turut memengaruhi kebijakan domestik dan luar negeri.
Pandangan tentang potensi perubahan jika presiden berganti ini juga menemukan pijakan praktis dalam sejarah Amerika. Sebagai contoh presiden dari Partai Republik dikenal cenderung asertif seperti terbukti dari penggelaran Perang Teluk II pada 1991 ketika Amerika mengusir Irak dari Kuwait pada era George Bush atau Perang di Afghanistan pada 2001 dan Perang Irak 2003 pada era George Walker Bush. Sementara itu, presiden dari Partai Demokrat dikenal lebih menonjolkan penggunaan dialog dan diplomasi serta hirau pada isu hak asasi manusia (HAM) seperti ditunjukkan pada era Bill Clinton dan Barack Obama beserta Menteri Luar Negerinya Hillary Clinton.
Debat pemilihan presiden juga seakan menguatkan pandangan ini. Sikap berbeda tampak atas lima masalah utama domestik, yaitu Covid-19, sistem kesehatan, ekonomi, isu ras, dan aborsi, demikian pula atas kebijakan luar negeri. Biden misalnya, mengusung tiga tujuan strategis utama, yaitu kesejahteraan, keamanan, dan promosi nilai-nilai demokrasi, sementara Trump seperti terlihat pada strategi Keamanan Nasional 2017: fokus pada upaya membendung kekuatan besar “revisionis” terutama Rusia dan Tiongkok.
Kedua, pandangan yang berbeda menyatakan bahwa kalaupun terjadi pergantian presiden, hal itu tidak berpengaruh banyak karena ada variabel lain di tingkat nasional dan internasional yang relatif tetap. Amerika adalah adi daya dalam struktur kekuatan dunia yang akan terus berupaya mempertahankan superioritasnya. Dominasinya secara militer juga kuat dan bisa digerakkan (mobilized) ke penjuru bumi manapun.
Bersama keunggulan kekuatan pemaksa (hard power) itu, watak hegemoniknya dalam sistem politik dan ekonomi global belum luntur. Pengaruh dan kekuasaan strukturalnya di beberapa lembaga internasional penting juga tidak luruh. Karena itu, meski presiden berubah dan meski terus mendapat tantangan dari big power lain seperti Rusia bahkan Tiongkok, variabel presiden tidak cukup kuat mengubah dasar-dasar kebijakan luar negeri Amerika.
Antisipasi
Dengan demikian, yang kemungkinan akan terjadi jikalau pun Biden menang adalah sebatas pergeseran pendekatan, gaya, dan retorika. Style keras bahkan cenderung penuh kontroversi dengan jargon Make America Great Again akan terus berlangsung jika Trump kembali terpilih. Sebaliknya, gaya lebih dialogis diplomatis akan lebih kentara jika Biden yang juara.
Keduanya bagi kita membutuhkan antisipasi. Hal itu tidak hanya karena posisi superpower-nya, tapi juga arti pentingnya dalam konteks hubungan bilateral. Para penasihat presiden juga kementerian terkait dipastikan juga sudah mengalkulasi kemungkinan yang terjadi sembari menyiapkan strategi dalam hubungan bilateral khususnya dan dalam fora multilateral.
Bagi kita, Amerika merupakan mitra penting. Hubungan diplomatik RI-AS telah berlangsung 71 tahun lebih. Ia dibuka secara resmi pada 28 Desember 1949 dan kini berada pada tahapan strategic partnership, yakni tahapan penting bagi kedua negara untuk secara bersama-sama berbagi tanggung jawab mencari solusi atas tantangan-tantangan global, sembari menguatkan kerja sama strategis antara kedua negara.
Oleh karenanya, siapa pun yang menang nantinya Indonesia tetap perlu menjaga pelaksanaan HAM di Tanah Air agar tetap terjaga baik dan tidak membuka ruang politisasi dan internasionalisasi sebagaimana embargo yang pernah kita terima dari Amerika pada era Bill Clinton. Selain itu, secara ekonomi kita perlu terus berjuang menjaga surplus neraca perdagangan dengan Amerika sembari mencari pasar alternatif (nontradisional). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa per Agustus 2020, Indonesia mencetak surplus neraca perdagangan USD1 miliar dengan Amerika. Nilai ekspor kita mencapai USD1,6 miliar, sedangkan nilai impor dari Amerika USD578,8. Dalam bidang pertahanan, upaya mandiri dan diversifikasi sumber alutsista juga patut dilanjutkan agar menopang kemandirian dan tidak bergantung pada satu negara.
Semoga kita mampu mengambil peluang dari kontestasi politik pemilihan presiden pilpres negara adidaya ini.
Dosen Hubungan Internasional, Wakil Rektor III Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
PEMILIHAN presiden Amerika Serikat (AS) berlangsung pada 3 November 2020, meski hingga kini lebih dari 50 juta warga telah menggunakan hak pilihnya. Sejumlah survei menunjukkan keunggulan Joe Biden, yang diusung Partai Demokrat atas Presiden Donald Trump yang diusung Partai Republik. Apakah era baru Amerika akan segera tiba dan apa antisipasi kita khususnya terkait politik luar negerinya?
Politik luar negeri suatu negara tidak bisa dilepaskan dari kondisi dan perubahan yang terjadi dalam lingkup domestik. Secara teoritis, ia dipengaruhi oleh banyak variabel di tingkat sistem internasional, nasional, ataupun pembuat kebijakannya (Kegley and Wittkopf: 2010: 188- 227). Oleh karena itu, peran global Amerika pascapemilu 3 November sedikit banyak bisa diraba, meski tetap sulit diprediksi secara pasti.
Pertama, ada pandangan yang menilai bahwa pergantian presiden suatu negara akan memengaruhi perubahan kebijakan luar negerinya. Dalam kajian hubungan internasional, hal ini menemukan pijakan dari teori yang menyebut bahwa perilaku negara juga bisa dijelaskan dengan variabel idiosyncracy (faktor-faktor yang ada dalam diri individu pembuat kebijakan). Bahkan pendekatan di tingkat analisis individu ini menjadi kajian klasik yang sudah cukup lama digunakan.
Ini meliputi faktor seperti watak, personality, karakter, psikologi, keyakinan, pendidikan, hingga pengalaman hidup sang tokoh pemimpin. Dalam rentang waktu tahun-tahun Donald Trump menjabat, memang terbukti Amerika sering membuat khawatir banyak tokoh dan warga dunia, termasuk banyak warga Amerika sendiri karena kebijakan, tindakan, dan pernyataan kontroversial-impulsif Trump. Kebijakan tembok pemisah untuk imigran, perang pernyataan dengan Tiongkok di beberapa kasus seperti Huawei, Laut China Selatan, dan pandemi korona, adalah beberapa contoh yang bisa disebut. Bahkan posisi pribadi Trump yang enggan memakai masker juga kontroversial. Itu artinya, sosok pemimpin memang turut memengaruhi kebijakan domestik dan luar negeri.
Pandangan tentang potensi perubahan jika presiden berganti ini juga menemukan pijakan praktis dalam sejarah Amerika. Sebagai contoh presiden dari Partai Republik dikenal cenderung asertif seperti terbukti dari penggelaran Perang Teluk II pada 1991 ketika Amerika mengusir Irak dari Kuwait pada era George Bush atau Perang di Afghanistan pada 2001 dan Perang Irak 2003 pada era George Walker Bush. Sementara itu, presiden dari Partai Demokrat dikenal lebih menonjolkan penggunaan dialog dan diplomasi serta hirau pada isu hak asasi manusia (HAM) seperti ditunjukkan pada era Bill Clinton dan Barack Obama beserta Menteri Luar Negerinya Hillary Clinton.
Debat pemilihan presiden juga seakan menguatkan pandangan ini. Sikap berbeda tampak atas lima masalah utama domestik, yaitu Covid-19, sistem kesehatan, ekonomi, isu ras, dan aborsi, demikian pula atas kebijakan luar negeri. Biden misalnya, mengusung tiga tujuan strategis utama, yaitu kesejahteraan, keamanan, dan promosi nilai-nilai demokrasi, sementara Trump seperti terlihat pada strategi Keamanan Nasional 2017: fokus pada upaya membendung kekuatan besar “revisionis” terutama Rusia dan Tiongkok.
Kedua, pandangan yang berbeda menyatakan bahwa kalaupun terjadi pergantian presiden, hal itu tidak berpengaruh banyak karena ada variabel lain di tingkat nasional dan internasional yang relatif tetap. Amerika adalah adi daya dalam struktur kekuatan dunia yang akan terus berupaya mempertahankan superioritasnya. Dominasinya secara militer juga kuat dan bisa digerakkan (mobilized) ke penjuru bumi manapun.
Bersama keunggulan kekuatan pemaksa (hard power) itu, watak hegemoniknya dalam sistem politik dan ekonomi global belum luntur. Pengaruh dan kekuasaan strukturalnya di beberapa lembaga internasional penting juga tidak luruh. Karena itu, meski presiden berubah dan meski terus mendapat tantangan dari big power lain seperti Rusia bahkan Tiongkok, variabel presiden tidak cukup kuat mengubah dasar-dasar kebijakan luar negeri Amerika.
Antisipasi
Dengan demikian, yang kemungkinan akan terjadi jikalau pun Biden menang adalah sebatas pergeseran pendekatan, gaya, dan retorika. Style keras bahkan cenderung penuh kontroversi dengan jargon Make America Great Again akan terus berlangsung jika Trump kembali terpilih. Sebaliknya, gaya lebih dialogis diplomatis akan lebih kentara jika Biden yang juara.
Keduanya bagi kita membutuhkan antisipasi. Hal itu tidak hanya karena posisi superpower-nya, tapi juga arti pentingnya dalam konteks hubungan bilateral. Para penasihat presiden juga kementerian terkait dipastikan juga sudah mengalkulasi kemungkinan yang terjadi sembari menyiapkan strategi dalam hubungan bilateral khususnya dan dalam fora multilateral.
Bagi kita, Amerika merupakan mitra penting. Hubungan diplomatik RI-AS telah berlangsung 71 tahun lebih. Ia dibuka secara resmi pada 28 Desember 1949 dan kini berada pada tahapan strategic partnership, yakni tahapan penting bagi kedua negara untuk secara bersama-sama berbagi tanggung jawab mencari solusi atas tantangan-tantangan global, sembari menguatkan kerja sama strategis antara kedua negara.
Oleh karenanya, siapa pun yang menang nantinya Indonesia tetap perlu menjaga pelaksanaan HAM di Tanah Air agar tetap terjaga baik dan tidak membuka ruang politisasi dan internasionalisasi sebagaimana embargo yang pernah kita terima dari Amerika pada era Bill Clinton. Selain itu, secara ekonomi kita perlu terus berjuang menjaga surplus neraca perdagangan dengan Amerika sembari mencari pasar alternatif (nontradisional). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa per Agustus 2020, Indonesia mencetak surplus neraca perdagangan USD1 miliar dengan Amerika. Nilai ekspor kita mencapai USD1,6 miliar, sedangkan nilai impor dari Amerika USD578,8. Dalam bidang pertahanan, upaya mandiri dan diversifikasi sumber alutsista juga patut dilanjutkan agar menopang kemandirian dan tidak bergantung pada satu negara.
Semoga kita mampu mengambil peluang dari kontestasi politik pemilihan presiden pilpres negara adidaya ini.
(bmm)