Peduli dan Waspada Agar RI Tak Jadi Episentrum Covid-19
loading...
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI,
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia
DALAM upaya bersama memutus mata rantai penularan Covid-19, Indonesia layak optimistis karena tingginya tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat. Jika saja konsistensi kepedulian ini terus terjaga, kekhawatiran tentang potensi Indonesia menjadi episentrum pandemi Covid-19 tidak akan menjadi kenyataan.
Menurunnya aktivitas masyarakat dalam skala ekstrem di ruang publik, terutama di Jakarta dan Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), serta sejumlah kota besar lainnya di dalam negeri harus juga dimaknai sebagai kepedulian dan partisipasi berjuta-juta orang dalam upaya memutus mata rantai penularan Covid-19. Komunitas pekerja dan anak-anak belajar serta bekerja di rumah. Pedagang kaki lima dan warung-warung penjaja makanan yang biasanya marak sejak sore hingga malam hari, kini berhenti sementara. Ruas jalan di sejumlah kota besar pun lengang. Kecenderungan ini layak menumbuhkan optimisme atas keinginan bersama menangkal penularan Covid-19.
Sempat muncul kekhawatiran oleh isu mudik karena pandemi Covid-19 diperkirakan belum akan berakhir sepanjang Ramadan hingga periode libur Idul Fitri tahun ini. Namun, kekhawatiran ini mungkin tidak perlu berlebihan. Sebab, hasil survei oleh Balitbanghub Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunjukkan kecenderungan yang melegakan. Survei online terhadap 42.890 responden itu sudah dipublikasikan Minggu (12/4). Hasilnya, 56% responden memutuskan tidak mudik di tengah pandemi Covid-19. Luar biasa, karena pemerintah tidak melarang mudik. Pemerintah hanya mengimbau agar masyarakat tidak mudik, sedangkan 37% responden menyatakan belum mudik atau belum tentu mereka tidak akan mudik. Sedikitnya tujuh persen responden mengaku sudah mudik.
Jawaban dan keputusan dari 56% responden itu, sekali lagi mencerminkan kepedulian dan partisipasi masyarakat menghindari sekaligus menangkal penularan Covid-19. Selain itu, keputusan para responden tersebut pun setidaknya bisa meringankan kerja cegah-tangkal penularan oleh sejumlah pemerintah daerah. Seperti diketahui, beberapa kepala daerah sempat khawatir dengan kemungkinan terjadinya gelombang mudik dari Jakarta dan kawasan Bodetabek.
Sikap dan pilihan 56% perantau itu pun menjadi jawaban yang melegakan para kepala desa. Pusat Data dan Informasi Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (Balilatfo) Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi telah menyelenggarakan survei dengan responden 3.931 kepala desa dari 31 provinsi. Hasilnya sungguh aspiratif dan menunjukkan betapa peduli serta waspadanya para kepala desa. Sebab, tidak kurang dari 89,75% dari semua kepala desa itu menyatakan tidak setuju jika warganya yang bermukim di perkotaan melakukan mudik Lebaran 2020 di tengah pandemi Covid-19. Artinya, jika para perantau menyayangi semua kerabat dan para sahabat mereka di desa, imbauan para kepala desa itu tak hanya patut didengar, tetapi juga dipatuhi.
Kecenderungan yang terbaca dari dua survei tadi sangat jelas menunjukkan kepedulian dan kewaspadaan masyarakat akan perlunya upaya bersama memutus mata rantai penularan Covid-19. Baik warga perkotaan maupun mereka yang bermukim di desa sama-sama peduli dan waspada. Memang, dalam beberapa kesempatan, masih ditemukan warga kurang peduli tentang tujuan pembatasan sosial. Tetapi, temuan seperti itu kasuistik. Hasil dua survei tadi sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan sikap dan pendirian masyarakat akan urgensi upaya bersama memutus penularan Covid-19.
Di Jakarta dan Bodetabek sendiri potensi meningkatnya penularan diharapkan semakin berkurang setelah diterapkan ketentuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Jakarta dan sekitarnya memang harus mendapat perhatian ekstra karena menjadi episentrum pandemi Covid-19. Kendati sudah diberlakukan PSBB, kepedulian dan kewaspadaan warga ibu kota harus terus ditingkatkan. Sayangnya, ketika sebagian besar warga Jakarta sudah konsisten melaksanakan pembatasan sosial, di sejumlah ruang publik masih saja terlihat kerumunan orang. Pemprov DKI membenarkan bahwa masih ada warga yang harus meninggalkan rumah untuk bekerja di kantor. Aktivitas inilah menyebabkan masih adanya penumpukan penumpang di sejumlah stasiun kereta rel listrik (KRL).
Dalam konteks penerapan PSBB, hal ini tidak bisa dibenarkan. Mengingat risikonya demikian besar, Pemprov DKI harus lebih tegas menyikapi masalah ini. Apalagi hingga pertengahan April 2020, kasus positif Covid-19 terdeteksi di 233 kelurahan dari total 267 kelurahan di Jakarta. Laju pertambahan jumlah pasien positif Covid-19 di Jakarta belum bisa dihentikan.
Saran WHO
PSBB sebagai salah satu instrumen cegah-tangkal penularan Covid-19 telah diperkuat dengan hadirnya Keputusan Presiden Nomor 12/2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 sebagai bencana nasional. Diyakini bahwa penetapan ini akan meningkatkan kepedulian dan kewaspadaan semua elemen masyarakat, baik di perkotaan maupun desa. Karena penularan Covid-19 lebih ditentukan oleh aktivitas mereka yang terinfeksi, masyarakat bersama pemerintah memang harus bahu membahu menjaga konsistensi pembatasan sosial. Hanya dengan cara itu, pemerintah dan masyarakat bisa melindungi negara ini agar tidak menjadi episentrum pandemi Covid-19. Itulah urgensinya memperkuat kerja cegah-tangkal penularan di semua daerah.
Mengapa kepedulian dan kewaspadaan masyarakat menjadi sangat penting? Baru-baru ini WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) kawasan Asia Tenggara memublikasikan media briefing sebagai peringatan dan saran kehati-hatian untuk negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurut WHO, gelombang episentrum wabah korona dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa akan menuju Asia Tenggara. Potensi pergeseran gelombang episentrum wabah korona ke kawasan Asia Tenggara bisa jadi sangat besar jika tidak dikendalikan dari sekarang.
Sebagai saran dan peringatan, baik pemerintah maupun semua elemen masyarakat Indonesia, perlu menyikapi pernyataan WHO itu dengan meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian. Terpenting, saran dan peringatan dari WHO itu hendaknya tidak membuat masyarakat semakin takut serta juga tidak panik.
Siapa pun atau negara mana pun patut belajar dari pengalaman menyedihkan AS, Italia, serta Inggris. Akibat yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 di AS, Italia, serta Inggris benar-benar di luar perkiraan. Mengacu pada angka kematian yang begitu besar, semua negara memang patut mencermati penyebab yang melatarbelakangi besarnya jumlah korban jiwa di tiga negara itu.
Pada pekan kedua April 2020 misalnya, data penghitungan korban virus korona di Universitas Johns Hopkins (JHU) melaporkan 2.108 orang meninggal dunia dalam 24 jam terakhir di wilayah AS. Hari itu total korban meninggal di negara tersebut mencapai 18.586 orang. Pada hari yang sama, jumlah kematian terbaru akibat wabah virus korona di Inggris bertambah 917 menjadi 9.875 orang. Sementara jumlah kematian di Italia akibat virus korona sudah mencapai 10.779 orang.
Berdasarkan gambaran dari tiga negara itu, saran dan peringatan dari WHO memang patut disikapi, termasuk oleh Indonesia. Secara tidak langsung, pemerintah dan semua elemen masyarakat didorong untuk bertekad melindungi negara ini dari kemungkinan menjadi episentrum Covid-19. Bersama pemerintah, semua elemen masyarakat terpanggil untuk bahu membahu meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian.
Untuk itu, kerja pencegahan dan menangkal penularan wabah virus korona harus semakin diintensifkan di semua daerah hingga pelosok. Selain mendorong masyarakat untuk terus menerapkan pembatasan sosial (social distancing), bersikap dan bertindak tegas perlu dilakukan terhadap siapa saja yang menganggap remeh ancaman dari penularan Covid-19.
Ketua MPR RI,
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia
DALAM upaya bersama memutus mata rantai penularan Covid-19, Indonesia layak optimistis karena tingginya tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat. Jika saja konsistensi kepedulian ini terus terjaga, kekhawatiran tentang potensi Indonesia menjadi episentrum pandemi Covid-19 tidak akan menjadi kenyataan.
Menurunnya aktivitas masyarakat dalam skala ekstrem di ruang publik, terutama di Jakarta dan Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), serta sejumlah kota besar lainnya di dalam negeri harus juga dimaknai sebagai kepedulian dan partisipasi berjuta-juta orang dalam upaya memutus mata rantai penularan Covid-19. Komunitas pekerja dan anak-anak belajar serta bekerja di rumah. Pedagang kaki lima dan warung-warung penjaja makanan yang biasanya marak sejak sore hingga malam hari, kini berhenti sementara. Ruas jalan di sejumlah kota besar pun lengang. Kecenderungan ini layak menumbuhkan optimisme atas keinginan bersama menangkal penularan Covid-19.
Sempat muncul kekhawatiran oleh isu mudik karena pandemi Covid-19 diperkirakan belum akan berakhir sepanjang Ramadan hingga periode libur Idul Fitri tahun ini. Namun, kekhawatiran ini mungkin tidak perlu berlebihan. Sebab, hasil survei oleh Balitbanghub Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunjukkan kecenderungan yang melegakan. Survei online terhadap 42.890 responden itu sudah dipublikasikan Minggu (12/4). Hasilnya, 56% responden memutuskan tidak mudik di tengah pandemi Covid-19. Luar biasa, karena pemerintah tidak melarang mudik. Pemerintah hanya mengimbau agar masyarakat tidak mudik, sedangkan 37% responden menyatakan belum mudik atau belum tentu mereka tidak akan mudik. Sedikitnya tujuh persen responden mengaku sudah mudik.
Jawaban dan keputusan dari 56% responden itu, sekali lagi mencerminkan kepedulian dan partisipasi masyarakat menghindari sekaligus menangkal penularan Covid-19. Selain itu, keputusan para responden tersebut pun setidaknya bisa meringankan kerja cegah-tangkal penularan oleh sejumlah pemerintah daerah. Seperti diketahui, beberapa kepala daerah sempat khawatir dengan kemungkinan terjadinya gelombang mudik dari Jakarta dan kawasan Bodetabek.
Sikap dan pilihan 56% perantau itu pun menjadi jawaban yang melegakan para kepala desa. Pusat Data dan Informasi Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (Balilatfo) Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi telah menyelenggarakan survei dengan responden 3.931 kepala desa dari 31 provinsi. Hasilnya sungguh aspiratif dan menunjukkan betapa peduli serta waspadanya para kepala desa. Sebab, tidak kurang dari 89,75% dari semua kepala desa itu menyatakan tidak setuju jika warganya yang bermukim di perkotaan melakukan mudik Lebaran 2020 di tengah pandemi Covid-19. Artinya, jika para perantau menyayangi semua kerabat dan para sahabat mereka di desa, imbauan para kepala desa itu tak hanya patut didengar, tetapi juga dipatuhi.
Kecenderungan yang terbaca dari dua survei tadi sangat jelas menunjukkan kepedulian dan kewaspadaan masyarakat akan perlunya upaya bersama memutus mata rantai penularan Covid-19. Baik warga perkotaan maupun mereka yang bermukim di desa sama-sama peduli dan waspada. Memang, dalam beberapa kesempatan, masih ditemukan warga kurang peduli tentang tujuan pembatasan sosial. Tetapi, temuan seperti itu kasuistik. Hasil dua survei tadi sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan sikap dan pendirian masyarakat akan urgensi upaya bersama memutus penularan Covid-19.
Di Jakarta dan Bodetabek sendiri potensi meningkatnya penularan diharapkan semakin berkurang setelah diterapkan ketentuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Jakarta dan sekitarnya memang harus mendapat perhatian ekstra karena menjadi episentrum pandemi Covid-19. Kendati sudah diberlakukan PSBB, kepedulian dan kewaspadaan warga ibu kota harus terus ditingkatkan. Sayangnya, ketika sebagian besar warga Jakarta sudah konsisten melaksanakan pembatasan sosial, di sejumlah ruang publik masih saja terlihat kerumunan orang. Pemprov DKI membenarkan bahwa masih ada warga yang harus meninggalkan rumah untuk bekerja di kantor. Aktivitas inilah menyebabkan masih adanya penumpukan penumpang di sejumlah stasiun kereta rel listrik (KRL).
Dalam konteks penerapan PSBB, hal ini tidak bisa dibenarkan. Mengingat risikonya demikian besar, Pemprov DKI harus lebih tegas menyikapi masalah ini. Apalagi hingga pertengahan April 2020, kasus positif Covid-19 terdeteksi di 233 kelurahan dari total 267 kelurahan di Jakarta. Laju pertambahan jumlah pasien positif Covid-19 di Jakarta belum bisa dihentikan.
Saran WHO
PSBB sebagai salah satu instrumen cegah-tangkal penularan Covid-19 telah diperkuat dengan hadirnya Keputusan Presiden Nomor 12/2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 sebagai bencana nasional. Diyakini bahwa penetapan ini akan meningkatkan kepedulian dan kewaspadaan semua elemen masyarakat, baik di perkotaan maupun desa. Karena penularan Covid-19 lebih ditentukan oleh aktivitas mereka yang terinfeksi, masyarakat bersama pemerintah memang harus bahu membahu menjaga konsistensi pembatasan sosial. Hanya dengan cara itu, pemerintah dan masyarakat bisa melindungi negara ini agar tidak menjadi episentrum pandemi Covid-19. Itulah urgensinya memperkuat kerja cegah-tangkal penularan di semua daerah.
Mengapa kepedulian dan kewaspadaan masyarakat menjadi sangat penting? Baru-baru ini WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) kawasan Asia Tenggara memublikasikan media briefing sebagai peringatan dan saran kehati-hatian untuk negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurut WHO, gelombang episentrum wabah korona dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa akan menuju Asia Tenggara. Potensi pergeseran gelombang episentrum wabah korona ke kawasan Asia Tenggara bisa jadi sangat besar jika tidak dikendalikan dari sekarang.
Sebagai saran dan peringatan, baik pemerintah maupun semua elemen masyarakat Indonesia, perlu menyikapi pernyataan WHO itu dengan meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian. Terpenting, saran dan peringatan dari WHO itu hendaknya tidak membuat masyarakat semakin takut serta juga tidak panik.
Siapa pun atau negara mana pun patut belajar dari pengalaman menyedihkan AS, Italia, serta Inggris. Akibat yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 di AS, Italia, serta Inggris benar-benar di luar perkiraan. Mengacu pada angka kematian yang begitu besar, semua negara memang patut mencermati penyebab yang melatarbelakangi besarnya jumlah korban jiwa di tiga negara itu.
Pada pekan kedua April 2020 misalnya, data penghitungan korban virus korona di Universitas Johns Hopkins (JHU) melaporkan 2.108 orang meninggal dunia dalam 24 jam terakhir di wilayah AS. Hari itu total korban meninggal di negara tersebut mencapai 18.586 orang. Pada hari yang sama, jumlah kematian terbaru akibat wabah virus korona di Inggris bertambah 917 menjadi 9.875 orang. Sementara jumlah kematian di Italia akibat virus korona sudah mencapai 10.779 orang.
Berdasarkan gambaran dari tiga negara itu, saran dan peringatan dari WHO memang patut disikapi, termasuk oleh Indonesia. Secara tidak langsung, pemerintah dan semua elemen masyarakat didorong untuk bertekad melindungi negara ini dari kemungkinan menjadi episentrum Covid-19. Bersama pemerintah, semua elemen masyarakat terpanggil untuk bahu membahu meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian.
Untuk itu, kerja pencegahan dan menangkal penularan wabah virus korona harus semakin diintensifkan di semua daerah hingga pelosok. Selain mendorong masyarakat untuk terus menerapkan pembatasan sosial (social distancing), bersikap dan bertindak tegas perlu dilakukan terhadap siapa saja yang menganggap remeh ancaman dari penularan Covid-19.
(kri)