Disepakati Desember, Pilkada Serentak 2020 Diprediksi Sepi Pemilih
loading...
A
A
A
JAKARTA - DPR dan Pemerintah telah sepakat untuk menunda pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang sedianya dilakukan pada September 2020 menjadi 9 Desember 2020.
Namun, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) memprediksi bahwa Pilkada nantinya akan sepi pemilih mengingat, pandemi ini trennya masih terus meningkat dan menyebar.
Koordinator Nasional (Koornas) JPPR Alwan Ola Riantoby memahami bahwa penundaan Pilkada Serentak 2020 akibat adanya penyebaran pandemi virus Corona atau Covid-19 yang sampai pada saat ini belum diketahui kapan akan berakhir.
Dalam kondisi seperti ini negara harus hadir, kehadiran negara harus lebih cepat dari pergerakan Covid-19, dan negara mempunyai kekuasaan dalam melindungi hak rakyat dan menciptakan keamanan publik, termasuk dalam menyampaikan pilihan di Pilkada ini.
"Demokrasi prosedural sebagai suatu proses dalam memilih pemimpin politik, kini dalam tantangan berat. Karena pada pilkada 2020 yang diselenggarakan di 270 daerah terancam berjalan dengan kondisi rendahnya partisipasi masyarakat pemilih serta hilangnya kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di Indonesia," kata Alwan kepada SINDO Media, Rabu (15/4/2020).
Alwan menjelaskan, Pilkada 2020 tentu melibatkan banyak pihak. Dalam data DP4 dalam Pilkada 2020 sebanyak 105.396.460 pemilih. Jika melihat data pada Pilkada 2015 terdapat 838 pasangan calon (paslon) dan jumlah TPS sebanyak 237.790 TPS, sedangkan penyelenggara ad hoc PPK berjumlah 10.337, PPS 131.886 dan KPPS 1.664.530.
"Dalam kondisi pandemi seperti ini, sangat riskan karena Pilkada 2020 melibatkan banyak pihak, selain itu mulainya tahapan juga belum menemukan kejelasan dan kepastian," ujarnya.
Karena itu lanjut dia, JPPR memberikan sejumlah catatan dan rekomendasi kepada Pemerintah, DPR dan juga penyelenggara pemilu agar kebijakan penundaan Pilkada 2020 bisa dievaluasi kembali.
Pertama, tren Covid-19 sudah mulai berkembang ke daerah, sedangkan adanya kekosangan kepemimpinan di daerah melihat kewenangan Penjabat sementara (Pjs) kepala daerah yang sangat terbatas.
Kedua, adanya kesepakatan bersama antara KPU, Bawaslu dan Pemerintah untuk membuat road map pilkada terbaik 2020, apakah melanjutkan tahapan atau memulai tahapan baru dan kapan tahapan akan dimulai. Hal tersebut harus dijelaskan ke publik
Ketiga, jika pelaksanaan tetap dijalankan pada 9 Desemner 2020, memberikan ruang yang begitu besar akan menurunnya partisipasi pemilih. Pilihan opsi 9 Desember 2020 belum tegas karena pemerintah masih akan melihat perkembangan hingga akhir Mek 2020.
"Artinya jika belum teratasi, akan ada opsi tahun 2021. sehingga kesekatpan kemaren itu semacam kesepakatan ragu-ragu. Maka kami meremokemdasikan sebaiknya pilkada dilanjut 2021 dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah fokus menangani Covid-19," usulnya.
Keempat, opsi 9 Desember 2020 belum tegas karena pemerintah masih akan melihat perkembangan hingga akhir Mei 2020. Artinya, jika belum teratasi, akan ada opsi tahun 2021. Sehingga, kesepakatan kemarin itu semacam kesepakatan ragu-ragu.
"Maka kami meremokemdasikan sebaiknya pilkada dilanjut 2021 dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah fokus menangani Covid-19," terangnya.
Kelima, aspek pendidikan pemilih menjadi penting untuk terus di bangaun dalam upaya membangun partisipasi masyarakat pemilih di tengah wabah corona.
Keenam, kerja sama dengan civil society (lembaga pemantau) menjadi sangat dibutuhkan, state (negara) dan civil society harus terus di bangun. Civil society yang aktif akan mebangunkan solidaritas sosial yang kolektif.
Namun, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) memprediksi bahwa Pilkada nantinya akan sepi pemilih mengingat, pandemi ini trennya masih terus meningkat dan menyebar.
Koordinator Nasional (Koornas) JPPR Alwan Ola Riantoby memahami bahwa penundaan Pilkada Serentak 2020 akibat adanya penyebaran pandemi virus Corona atau Covid-19 yang sampai pada saat ini belum diketahui kapan akan berakhir.
Dalam kondisi seperti ini negara harus hadir, kehadiran negara harus lebih cepat dari pergerakan Covid-19, dan negara mempunyai kekuasaan dalam melindungi hak rakyat dan menciptakan keamanan publik, termasuk dalam menyampaikan pilihan di Pilkada ini.
"Demokrasi prosedural sebagai suatu proses dalam memilih pemimpin politik, kini dalam tantangan berat. Karena pada pilkada 2020 yang diselenggarakan di 270 daerah terancam berjalan dengan kondisi rendahnya partisipasi masyarakat pemilih serta hilangnya kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di Indonesia," kata Alwan kepada SINDO Media, Rabu (15/4/2020).
Alwan menjelaskan, Pilkada 2020 tentu melibatkan banyak pihak. Dalam data DP4 dalam Pilkada 2020 sebanyak 105.396.460 pemilih. Jika melihat data pada Pilkada 2015 terdapat 838 pasangan calon (paslon) dan jumlah TPS sebanyak 237.790 TPS, sedangkan penyelenggara ad hoc PPK berjumlah 10.337, PPS 131.886 dan KPPS 1.664.530.
"Dalam kondisi pandemi seperti ini, sangat riskan karena Pilkada 2020 melibatkan banyak pihak, selain itu mulainya tahapan juga belum menemukan kejelasan dan kepastian," ujarnya.
Karena itu lanjut dia, JPPR memberikan sejumlah catatan dan rekomendasi kepada Pemerintah, DPR dan juga penyelenggara pemilu agar kebijakan penundaan Pilkada 2020 bisa dievaluasi kembali.
Pertama, tren Covid-19 sudah mulai berkembang ke daerah, sedangkan adanya kekosangan kepemimpinan di daerah melihat kewenangan Penjabat sementara (Pjs) kepala daerah yang sangat terbatas.
Kedua, adanya kesepakatan bersama antara KPU, Bawaslu dan Pemerintah untuk membuat road map pilkada terbaik 2020, apakah melanjutkan tahapan atau memulai tahapan baru dan kapan tahapan akan dimulai. Hal tersebut harus dijelaskan ke publik
Ketiga, jika pelaksanaan tetap dijalankan pada 9 Desemner 2020, memberikan ruang yang begitu besar akan menurunnya partisipasi pemilih. Pilihan opsi 9 Desember 2020 belum tegas karena pemerintah masih akan melihat perkembangan hingga akhir Mek 2020.
"Artinya jika belum teratasi, akan ada opsi tahun 2021. sehingga kesekatpan kemaren itu semacam kesepakatan ragu-ragu. Maka kami meremokemdasikan sebaiknya pilkada dilanjut 2021 dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah fokus menangani Covid-19," usulnya.
Keempat, opsi 9 Desember 2020 belum tegas karena pemerintah masih akan melihat perkembangan hingga akhir Mei 2020. Artinya, jika belum teratasi, akan ada opsi tahun 2021. Sehingga, kesepakatan kemarin itu semacam kesepakatan ragu-ragu.
"Maka kami meremokemdasikan sebaiknya pilkada dilanjut 2021 dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah fokus menangani Covid-19," terangnya.
Kelima, aspek pendidikan pemilih menjadi penting untuk terus di bangaun dalam upaya membangun partisipasi masyarakat pemilih di tengah wabah corona.
Keenam, kerja sama dengan civil society (lembaga pemantau) menjadi sangat dibutuhkan, state (negara) dan civil society harus terus di bangun. Civil society yang aktif akan mebangunkan solidaritas sosial yang kolektif.
(maf)