Pembobolan Data Pribadi Marak, Hukum Harus Tingkatkan Efek Jera

Jum'at, 30 Oktober 2020 - 08:04 WIB
loading...
Pembobolan Data Pribadi...
Perlindungan data pribadi konsumen dan penjaminan privasi publik di sektor telekomunikasi, jasa keuangan, dan jasa lainnya merupakan pekerjaan yang belum usai. Foto/dok
A A A
JAKARTA - Perlindungan data pribadi konsumen dan penjaminan privasi publik di sektor telekomunikasi, jasa keuangan, dan jasa lainnya merupakan pekerjaan yang belum usai. Berbagai aksi pidana baik pidana umum maupun pidana khusus masih kerap terjadi.



Semua itu bisa bermula dari manipulasi psikologis (social engineering), pembobolan sistem digital maupun pencarian data di laman resmi lembaga resmi. Ada tiga kasus/perkara pada 2020 yang dapat menjadi contoh konkret. Di antaranya, kasus pertama, perkara yang menimpa jurnalis senior yang juga Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Ilham Bintang pada awal Januari 2020. (Baca: 4 Golongan Manusia yang Tertipu dengan Ilmu)

Ilham menjadi korban pencurian data-data pribadi , pengambilalihan nomor dan kartu SIM ponsel hingga pembobolan sejumlah rekening bank miliknya. Rabu, 21 Oktober 2020, 5 terdakwa dari total 8 pelaku telah divonis oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kasus kedua, 5 Oktober 2020, 10 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri setelah berhasil membobol 3.070 akun rekening nasabah berbagai bank dan akun pengguna Grab yang berhasil menguras Rp21 miliar uang milik korban. Menariknya, dua dari tiga kasus bermula dari pencarian informasi data pribadi nasabah di laman resmi Sistem Laporan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pakar hukum keuangan, perbankan, dan pencucian uang Universitas Trisakti Yenti Garnasih mengaku pernah menjadi korban atas pembobolan data pribadi miliknya. Dia sering kali menerima pesan singkat dan panggilan dari orang-orang tidak dikenal. Mereka menawarkan pinjaman, kartu kredit, tabungan perbankan, asuransi hingga investasi logam mulia dan lain-lain. Tawaran-tawaran tersebut disertai dengan iming-iming sangat menjanjikan. “Bahkan mereka mengatasnamakan beberapa bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara),” katanya.

Yenti mengatakan acapkali pesan singkat dan panggilan masuk di saat Yenti sedang sibuk dan ada kegiatan. Hal ini menurut dia sangat mengganggu, termasuk mengganggu privasi Yenti. "Berkali-kali SMS lah, telepon-telepon lah. Yang kita pikirkan dari mana dapat dan tahu nomor telepon kita kan? Mereka yang telepon saya bahkan bilang mereka kerja sama dengan BNI, BRI, dengan Bank Mandiri. Saya marah. Ini kenapa? Apakah memang bank yang menjual nomor-nomor kita kepada mitranya atau gimana? Kalau mau ngasih data kita kan harus dengan persetujuan kita, dong," ujar Yenti saat berbincang dengan KORAN SINDO. (Baca juga: Sepakat Tingkatkan Kerja Sama, RI-AS Kian Mesra)

Kejadian seperti itu, menurut dia, oleh provider telekomunikasi, pelaku dan penyedia jasa keuangan maupun OJK sebagai tindakan acak. Masalahnya mengapa pihak-pihak terkait termasuk OJK sebagai pengawas pelaku industri keuangan tidak melakukan upaya pencegahan secara dini dengan maksimal untuk melindungi warga atau nasabah atau konsumen? "Orang-orang yang tidak hati-hati atau buru-buru itu kan kasihan jadi korban. Yang kayak begini jangan dianggap remeh. Ini memperlihatkan OJK tidak bekerja dengan baik," katanya.

Dia melanjutkan, para konsumen jasa keuangan dan telekomunikasi yang merasa dirugikan dengan aksi-aksi pembobolan data pribadi bisa dan harus meminta pertanggungjawaban dan menuntut ganti rugi dari para pelaku industri dan penyedia jasa. Artinya, kata Yenti, pelaku industri keuangan dan penyedia jasa tidak bisa lepas tangan dan harus bertanggung jawab.

Yenti menggariskan OJK harus melaksanakan secara maksimal peran, tugas, fungsi, dan wewenang mereka pada aspek pengawasan dan perlindungan data pribadi konsumen atau nasabah atau pengguna jasa keuangan, termasuk menjalankan pembinaan dan pemeriksaan secara terus-menerus terhadap pelaku industri dan penyedia jasa keuangan hingga penegakan sanksi. (Baca juga: SMA Double Track terobosan Jatim untuk Tekan Pengangguran)

"Efektivitas pengawasan oleh OJK harus ditingkatkan dan lebih maksimal, jangan lagi ada kerugian nasabah dan pelaku industri jasa keuangan. Jangan sampai kemudian fungsi pengawasannya dikembalikan ke BI seperti wacana yang ada selama ini," paparnya.

Yenti mengapresiasi penegak hukum yang menangani kasus pencurian data pribadi nasabah atau konsumen jasa keuangan. Tapi proses penegakan hukum terhadap para pelaku mulai tahap penyidikan hingga dibawa ke pengadilan harus dituntut dan divonis dengan pidana maksimal agar ada efek jera.

Kemudian kerugian nasabah atau konsumen harus dikembalikan jika sebelumnya penegak hukum melakukan penyitaan aset milik pelaku dari hasil tindak pidana. "Negara juga harus hadir. Negara melalui perangkat-perangkatnya harus cepat melindungi nasabah. Negara harus tanggung jawab. Negara tidak boleh diam saja. Kemenkominfo-lah misalnya melalui aspek TI," ucap Yenti.

Anggota Komisi XI DPR Rudi Hartono Bangun menyatakan, OJK harus lebih memaksimalkan tindakan perlindungan konsumen serta memberikan literasi, edukasi, dan sosialisasi produk jasa keuangan baik perbankan maupun non-perbankan. (Baca juga: Jangan Skip Buah Walau Sedang Berlibur)

Tindakan tersebut, kata Rudi, mesti dilakukan terutama di saat Covid-19 yang masih sedang berlangsung ini. Apalagi, menurut dia, saat ini semakin marak modus-modus penipuan dalam hal penawaran produk-produk jasa keuangan baik perbankan, asuransi maupun pasar modal.

"Harus diingat, OJK adalah lembaga pelayanan kepada masyarakat dan merupakan lembaga milik masyarakat Indonesia. OJK dan seluruh operasional lembaganya murni dibiayai uang nasabah perbankan, industri asuransi, IKNB (industri keuangan non-bank) serta pasar modal dengan cara industri keuangan memberikan iuran atau pungutan kepada OJK," ujar Rudi.

Deputi Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sarjito menyatakan penyedia jasa keuangan maupun telekomunikasi bisa diminta pertanggungjawaban jika tidak mampu melindungi data pribadi konsumen. Dia pun meminta jika ada konsumen yang mengalami kerugian akibat pelanggaran yang dilakukan penyedia jasa keuangan, sesegera mungkin laporkan ke OJK. "Kalau terdapat bukti bahwa penyedia jasa keuangan melanggar aturan yang ada, kita bisa langsung memberikan sanksi," tegas Sarjito saat dihubungi KORAN SINDO.

Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penyidikan Pasar Modal OJK itu membeberkan, sehubungan dengan perlindungan data pribadi, sampai saat ini hal tersebut masih dibahas RUU-nya oleh DPR dan pemerintah. Menurutnya, keberadaan UU definitif dan khusus tentang perlindungan data pribadi sangat penting agar bisa menjadi rujukan utama perlindungan tersebut hingga sanksi pidananya. “Saat ini OJK masih berpatokan pada beberapa aturan perlindungan konsumen, di antaranya Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan,” katanya. (Lihat videonya: Buaya Raksasa Tertangkap Warga di Bangka Belitung)

Dia menjelaskan karena UU perlindungan data pribadi belum ada, sanksi-sanksi yang dikeluarkan OJK didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ada, misalnya UU di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank, termasuk fintech. "POJK 2013 itu juga jadi pijakan kita untuk melakukan pengawasan maupun pemeriksaan. Sanksi dalam POJK 2013 itu ada diberi pilihan, misalnya sanksi tertulis, bisa sanksi denda berupa uang, bisa juga pembatasan usaha, dan sebagainya," beber dia. (Sabir Laluhu)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1726 seconds (0.1#10.140)