Indonesia Melangkah ke Luar Angkasa

Jum'at, 30 Oktober 2020 - 06:01 WIB
loading...
Indonesia Melangkah ke Luar Angkasa
Melalui Lapan, Indonesia mulai melakukan penelitian kehidupan luar angkasa. Foto/Koran SINDO
A A A
BANDUNG - Langkah visioner diambil Indonesia. Melalui Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), negeri ini mulai melakukan penelitian kehidupan luar angkasa .

Langkah ini diambil seiring beroperasinya fasilitas teleskop Lapan pada Fasilitas Observasi Nasional Timau di NTT. Fasilitas dimaksud adalah teleskop optik dengan cermin diameter 50 cm. Teleskop yang di belakangannya terdapat kamera sensitif itu mampu melakukan pengamatan benda langit dan penelitian potensi kehidupan luar angkasa.



Bahkan untuk memperkuat kemampuan mengeksplorasi kemungkinan adanya kehidupan di luar angkasa, Lapan saat ini sedang memesan teleskop yang lebih besar, yaitu teleskop cermin diameter 3,8 meter. Teleskop kembaran dengan teleskop Jepang ini akan menjadi yang terbesar di Asia. Rencananya peralatan canggih tersebut akan datang pada 2021 akhir. (Baca: 4 Golongan Manusia yang Tertipu dengan Ilmu)

Keputusan untuk turut mengeksplorasi kemungkinan adanya kehidupan di luar angkasa merupakan terobosan yang patut diapresiasi. Bagaimana tidak, sejauh ini langkah tersebut baru dilakukan segelintir negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, dan China yang belakangan menunjukkan progresivitasnya.

Peneliti Pusat Sains Antariksa Lapan Rhorom Priyatikanto mengungkapkan, dengan kelengkapan itu Lapan bisa fokus pada penelitian pengamatan fenomena transien dalam 5 tahun ke depan. Transien adalah fenomena insidental di luar angkasa. Misalnya bintang meledak, gerhana bulan, atau ada planet di luar tata surya yang sedang lewat di depan bintang induknya.

"Dari pengamatan itu kita bisa mengetahui karakteristik planet. Misalnya orbitnya seperti apa, apakah mirip bumi, menunjang kehidupan apa tidak? Kalau ada kehidupan, nanti bisa diarahkan seperti meneliti apakah ada oksigen, jejak molekul organik, dan lainnya," ujar dia.

Rhorom mengaku negara lain sudah banyak melakukan itu. Bahkan ada misi mencari planet dan pengamatan atmosfer venus dengan adanya indikasi molekul organik. Adapun di Indonesia, Observatorium Boscha baru melakukan pengamatan planet luar tata surya, belum menyentuh indikasi kehidupan.

"Manfaatnya, penelitian seperti ini adalah mengembangkan pengetahuan. Tapi ada efek samping karena pasti nanti ada pengembangan teknologi. Misalnya detektor astronomi yang kini sangat bermanfaat bagi dunia kesehatan," jelasnya. (Baca juga: Setahun Kemendikbud, Pelatihan Guru Terus Dilakukan)

Dia kemudian menandaskan, Indonesia mesti ikut melakukan penelitian kehidupan di luar bumi sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. “Apakah kita akan ke sana? Tidak akan ke sana, tapi ada efek samping yang bisa kita manfaatkan. Sangat menggelitik karena kita hidup di Bima Sakti. Terus apakah ada kehidupan lain, ya mungkin kita tidak seistimewa ini," katanya.

Dosen dan staf Kelompok Keilmuan (KK) Astronomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Hakim L Malasan menjelaskan sejauh ini konotasi kehidupan di planet lain selain bumi itu mengarah pada alien dan unidentified flying object (UFO). Padahal apa yang dilakukan ilmuwan tidak mengarah ke sana.

"Sebab para astronom umumnya tidak percaya dengan keberadaan alien dan UFO karena belum terbukti keberadaannya secara ilmiah. Manusia belum pernah bertemu dengan alien atau UFO," kata Kepala Observatorium Astronomi Institut Teknologi Sumatera (Itera) Lampung ini.

Dia menandaskan, riset tentang keberadaan kehidupan lain di tata surya, terutama planet lain di Galaksi Bima Sakti, terus dilakukan secara ilmiah. Sebab, secara ilmiah, para ilmuwan astronomi percaya ada "kemungkinan" kehidupan lain di luar angkasa. Namun hal itu bukan didasarkan bahwa manusia pernah bertemu atau tidak dengan makhluk hidup di planet lain tersebut. (Baca juga: Jangan Skip Buah Walau Sedang Berlibur)

Menurut dia, kehidupan di luar angkasa bisa berbentuk organisme, bakteri, hewan bersel tunggal, dan lain-lain. Kehidupan yang dimaksud dimungkinkan hidup di planet lain serupa Bumi yang memiliki air, oksigen, dan atmosfer di luar angkasa. “Jadi ada materi-materi organik dan kimia yang mendukung kehidupan organisme tersebut,” papar dia.

Lebih jauh dia memaparkan, survei tentang keberadaan planet lain yang dimungkinkan dihuni makhluk hidup yang dilakukan astronom sudah mendapatkan sekitar 4.000–5.000 planet extra-solar system atau planet di luar tata surya. "Mungkin dari sekitar 4.000–5.000 planet ekstrasolar itu, sekitar 1% sudah dikaji dan merupakan planet-planet yang ada di habitable zone (wilayah laik huni makhluk hidup)," ungkap Hakim.

Habitable zone itu, lanjut dia, planet yang memungkinkan ada habitat kehidupan di dalamnya. Misalnya planet yang memiliki jarak sama seperti Bumi dengan Matahari dan memiliki air dan atmosfer. Kehidupan dimaksud tidak bisa diartikan seperti kehidupan sesempurna manusia.

"Tapi dari definisi ilmiah, kehidupan itu bisa dimulai dari virus, bakteri, makhluk-makhluk bersel tunggal yang menandakan kehidupan. Nah untuk menelaah kehadiran kehidupan semacam itu secara astronomi sangat bisa. Jadi secara ilmiah Lapan tujuan akhirnya adalah mencoba mencari dan mengidentifikasi adanya kehidupan di extra-solar planet melalui instrumen yang mereka beli," ujar dia. (Baca juga: Buron Kasus Suap Perkara MK Ditangkap KPK)

Hakim kemudian menuturkan, program mencari kehidupan lain di luar tata surya bukan proyek Lapan, tetapi proyek nasional. Namun Lapan sebagai leading sector proyek ini. Di dunia, program mencari kehidupan di planet lain banyak dijalankan oleh negara-negara atau konsorsium yang memiliki teleskop besar. Prospeknya menjanjikan sebagai suatu terobosan.

"Namun sekali lagi ilmuwan, astronom kita mesti cukup critical mass (kemampuannya) untuk bisa bersaing dengan negara lain. Itu justru yang mengkhawatirkan menurut saya karena jumlah astronom kita kan nggak banyak," kata dia.

UU Antariksa RI, menurut Hakim, belum banyak mengangkat isu tentang pencetakan sumber daya manusia (SDM) yang tangggung jawabnya ada di perguruan tinggi. Bagaimanapun program antariksa itu kuncinya ada pada SDM, bukan pada instrumen canggih. "Secanggih apa pun instrumen, kalau tidak didukung SDM yang punya orientasi kuat, dia hanya akan menjadi instrumen mahal, dipajang begitu saja, jadi monumen," ujar Hakim.

Persaingan Ketat

Pemerintahan yang paling berambisi untuk mencari kehidupan di antariksa adalah pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Dia mengungkapkan ingin melanjutkan upaya mencari kehidupan di antariksa dan mengirimkan manusia ke Mars dan destinasi lainnya. Negeri Paman Sam itu sejauh ini masih memimpin dalam upaya mencari kehidupan di antariksa dengan anggaran sekitar USD19,3 miliar per tahun.

"AS akan mengirim manusia ke bulan untuk eksplorasi serta melanjutkan misi manusia ke Mars dan destinasi lainnya," kata Trump. (Baca juga: Cegah Resesi, Mendag Jaga Stabilitas Harga Sembako)

Untuk mewujudkan itu AS memiliki strategi antariksa nasional yang terdiri atas beberapa pilar. Mulai dari transformasi arsitektur ketahanan antariksa, opsi penguatan pertahanan antariksa, peningkatan kemampuan sumber daya hingga memperkuat lingkungan domestik dan internasional yang mendukung.

Program mencari kehidupan di antariksa dilaksanakan NASA dengan menggunakan teleskop Kepler dan TESS. Hasilnya mampu mengungkapkan ribuan planet. Program tersebut lebih mengarah untuk mengembangkan kajian tentang sistem tata surya dan untuk menjawab pertanyaan apakah manusia hidup sendirian di alam semesta.

NASA mengkaji untuk menemukan air di Mars, mencari dunia samudra di bulan Saturnus, Enceladus, dan mencari tanda biologi di atmosfer planet lain. Untuk mewujudkan itu, peneliti memerlukan teknologi canggih.

Trump juga memiliki Komando Antariksa yang menjadi kekuatan keenam Departemen Pertahanan AS. Hal itu menunjukkan bahwa AS ingin meningkatkan kemampuan berbasis ruang angkasa. Komando tersebut memiliki 16.000 personel. (Baca juga: PBB Turut Kecam Perilisan Kartun Nabi Muhammad)

China juga merupakan negara yang sangat berambisi untuk mencari kehidupan di antariksa. Selain mengirim misi ke Bulan, Mars, mereka juga memiliki teleskop terbesar radio yang digunakan untuk memburu alien dan beroperasi sejak September 2016 yang bernama Five-hundred-meter Aperture Spherical Telescope (FAST). "Dalam proses observasi, kita juga mengumpulkan sinyal," kata Zhu Ming, direktur observasi sains pada operasi pengembangan FAST.

Banyak pihak menuding program antariksa China lebih berkaitan dengan proyek militer. FAST memiliki diameter mencapai 500 meter dan berlokasi di Provinsi Guizho, China. Hal itu mampu mengalahkan rekor teleskop Arecibo Observatory di Puerto Rico yang selama ini menjadi teleskop terbesar dengan diameter 195 meter.

Selain itu melalui badan antariksanya China juga memiliki banyak program untuk mencari kehidupan di antariksa. Salah satu yang terpopuler adalah pengiriman misi penjelajah ke Mars pada Juli 2020 bernama Tianwen. Itu berupa pengiriman wahana yang dikendalikan dari Bumi untuk mengkaji Mars. Selain itu China mengirim roket ke Mars pada Mei 2020 lalu.

Adapun Eropa melalui Badan Antariksa Eropa (ESA) juga memiliki program untuk menemukan kehidupan di antariksa. Melalui proyek penyelidikan Huygens mereka pernah menemukan parasut di permukaan bulan Saturnus, Titan, pada 2005. (Lihat videonya: Libur Panjang, Kawasan Wisata Lembang Macet)

Titas memiliki atmosfer yang kaya molekul organik. Adanya komponen untuk nitrogen dan metan menjadi hal penting yang diteliti selain adanya karbon. “Hal penting adalah bagaimana kita mengungkapkan molekul organik bisa tumbuh di atmosfer Titan,” kata Jean-Pierre Lebreton, ilmuwan ESA untuk proyek Huygens. (Agus Warsudi/Arif Budianto/Andika H Mustaqim)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1577 seconds (0.1#10.140)