Pemuda Muhammadiyah: Investigasi Kasus Ekploitasi ABK di Kapal China
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kabar eksploitasi terhadap 18 orang anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di Kapal China bernama Long Xing menyita perhatian banyak pihak. (Baca juga: Migrant Care: Kesejahteraan Pekerja Migran Indonesia di Sektor Kelautan dan Perikanan Tidak Diperhatikan)
Ketua Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Razikin menilai para ABK selalu mengalami eksploitasi seperti eksploitasi keuangan (financial exploitation), eksploitasi buruh (labour exploitation), kekerasan fisik (physical abuse), dan manipulasi psikologis (psychological manipulation). "Peristiwa seperti ini terus berulang, tindakan eksploitasi, penyiksaan, ketidakadilan dan menjadi budak kapal perikanan asing di tengah laut," ujar Razikin dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/5/2020).
Dia melanjutkan, yang dialami para ABK asal Indonesia merupakan kasus human trafficking atau Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) lintas Negara (trans-border) dan terselubung (underground). "Kasus seperti ini sulit untuk ditanggulangi, mengingat modus operandinya sangat sistematis. Karena itu perlu penanganan khusus," ungkapnya. (Baca juga: GP Ansor Kutuk Pelarungan 3 ABK Indonesia di Kapal China ke Laut Lepas)
Adapun rata-rata korban perdagangan ABK merupakan laki-laki asal dari golongan ekonomi bawah dan membutuhkan pekerjaan. Kemudian metode perekrutan cukup bervariasi, namun dua cara yang paling sering ditemui adalah melalui makelar atau melalui orang dekat.
Dia menuturkan pada umumnya, ABK yang memanfaatkan jasa makelar akan dieksploitasi secara finansial. Selanjutnya, kata dia, ketika di laut, para ABK diperlakukan dengan cara yang sangat buruk dan eksploitatif.
Dia mengungkapkan, para ABK asal Indonesia dipaksa untuk bekerja berat hingga 20 jam sehari tanpa diberikan nutrisi dan waktu istirahat yang cukup. "Tindakan biadab seperti itu harus kita kutuk dan meminta pemerintah segera melakukan langkah-langkah investigatif untuk memastikan keberadaan mayat dan memberikan perlindungan terhadap ABK yang masih hidup," katanya.
Di samping itu, dia meminta pemerintah juga harus memikirkan peraturan perundang-undangan dengan meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organization (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 agar dapat memberikan perlindungan maksimal terhadap buruh migran kita.
"Dan hal penting juga adalah peningkatan kerja sama dengan pemerintah asing dalam upaya memberantas TPPO dan penuntutan pertanggung jawaban dari pelaku-pelaku TPPO baik di dalam maupun di luar negeri," katanya.
Ketua Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Razikin menilai para ABK selalu mengalami eksploitasi seperti eksploitasi keuangan (financial exploitation), eksploitasi buruh (labour exploitation), kekerasan fisik (physical abuse), dan manipulasi psikologis (psychological manipulation). "Peristiwa seperti ini terus berulang, tindakan eksploitasi, penyiksaan, ketidakadilan dan menjadi budak kapal perikanan asing di tengah laut," ujar Razikin dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/5/2020).
Dia melanjutkan, yang dialami para ABK asal Indonesia merupakan kasus human trafficking atau Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) lintas Negara (trans-border) dan terselubung (underground). "Kasus seperti ini sulit untuk ditanggulangi, mengingat modus operandinya sangat sistematis. Karena itu perlu penanganan khusus," ungkapnya. (Baca juga: GP Ansor Kutuk Pelarungan 3 ABK Indonesia di Kapal China ke Laut Lepas)
Adapun rata-rata korban perdagangan ABK merupakan laki-laki asal dari golongan ekonomi bawah dan membutuhkan pekerjaan. Kemudian metode perekrutan cukup bervariasi, namun dua cara yang paling sering ditemui adalah melalui makelar atau melalui orang dekat.
Dia menuturkan pada umumnya, ABK yang memanfaatkan jasa makelar akan dieksploitasi secara finansial. Selanjutnya, kata dia, ketika di laut, para ABK diperlakukan dengan cara yang sangat buruk dan eksploitatif.
Dia mengungkapkan, para ABK asal Indonesia dipaksa untuk bekerja berat hingga 20 jam sehari tanpa diberikan nutrisi dan waktu istirahat yang cukup. "Tindakan biadab seperti itu harus kita kutuk dan meminta pemerintah segera melakukan langkah-langkah investigatif untuk memastikan keberadaan mayat dan memberikan perlindungan terhadap ABK yang masih hidup," katanya.
Di samping itu, dia meminta pemerintah juga harus memikirkan peraturan perundang-undangan dengan meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organization (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 agar dapat memberikan perlindungan maksimal terhadap buruh migran kita.
"Dan hal penting juga adalah peningkatan kerja sama dengan pemerintah asing dalam upaya memberantas TPPO dan penuntutan pertanggung jawaban dari pelaku-pelaku TPPO baik di dalam maupun di luar negeri," katanya.
(cip)