Pilkada Serentak, Pelanggar Prokes Pertaruhkan Suara Pemilih
loading...
A
A
A
JAKARTA - Para calon kepala daerah masih saja nekat menggelar berbagai pertemuan langsung tanpa mengindahkan protokol kesehatan (prokes) . Padahal sebagian besar calon pemilih tak simpati dengan calon kepala daerah atau tim pemenangannya yang nekat melanggar prokes selama kampanye Pilkada 2020 .
Dari catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga 10 hari kedua penyelenggaraan tahapan kampanye Pilkada Serentak 2020, jumlah prokes meningkat hingga dua kali lipat. Peningkatan itu terjadi seiring bertambahnya jumlah pelaksanaan kegiatan kampanye dengan metode tatap muka dan/atau pertemuan terbatas. (Baca: Inilah Penyebab Hati Tidak Merasakan Manisnya Iman)
Temuan Bawaslu menunjukkan pelanggaran prokes pada 10 hari kedua kampanye, yaitu 6 hingga 15 Oktober, sebanyak 375 kasus. Angka tersebut bertambah 138 bila dibandingkan dengan pada 10 hari pertama kampanye, yaitu pada 26 hingga 5 Oktober lalu, dengan jumlah pelanggaran prokes 237 kasus.
Peningkatan jumlah pelanggaran prokes bila dibandingkan dengan 10 hari kampanye pertama berbanding lurus dengan peningkatan jumlah kampanye dengan metode pertemuan terbatas dan/atau tatap muka. Bawaslu mencatat ada 16.468 kegiatan kampanye pertemuan terbatas di 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada. Jumlah itu meningkat tajam bila dibandingkan dengan periode 10 hari pertama kampanye, yaitu sebanyak 9.189 kegiatan kampanye.
Di sisi lain mayoritas publik menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap para calon kepala daerah yang melakukan pelanggaran terhadap prokes. Mereka meyakini Pilkada 2020 berpotensi besar menyebarkan Covid-19 sehingga para calon kepala daerah harusnya mematuhi prokes untuk menekan potensi penularan.
Jajak pendapat Indikator Politik bertajuk “Politik, Demokrasi, dan Pilkada di era Pandemi” menunjukkan bahwa 83,5% responden menyatakan setuju jika Pilkada 2020 rawan menjadi ajang persebaran Covid-19, sedangkan sisanya menyatakan tidak setuju. Publik pun ingin para calon kepala daerah (cakada) pelanggar prokes mendapatkan sanksi.
Sebanyak 50,3% menginginkan agar cakada pelanggar prokes didiskualifikasi. Sisanya ingin sanksi pidana berupa penjara dan denda serta sanksi tidak boleh melakukan kampanye. "Sanksi kita tanya, calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan, diskualifikasi 50,3%, 8,4% sanksi pidana hukuman penjara, 16,7% denda sejumlah uang, 18,2% tidak boleh melakukan kampanye kalau ada yang melanggar (sisanya tidak menjawab)," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi di Jakarta kemarin. (Baca juga:Kemenag Bekali Guru RA Keterampilan Psikososial di Masa Pandemi)
Para calon pemilih mayoritas ingin kampanye Pilkada 2020 dilakukan secara tertutup. Metode kampanye ini dinilai lebih aman untuk menekan potensi penyebaran Covid-19. Sebanyak 45,4% responden menilai kampanye tertutup dengan jumlah peserta maksimal 50 orang akan lebih aman.
Publik juga cukup besar yang ingin metode kampanye dilakukan secara virtual dengan kisaran 33,9%. Adapun 10,7% responden menyatakan tidak apa-apa kampanye dilaksanakan secara terbuka seperti biasa dan 33,9% ingin kampanye secara virtual. Sementara sisanya tidak menjawab.
Jajak pendapat ini juga menyiratkan angka partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 akan cenderung turun. Sebanyak 40,6% masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan melaksanakan Pilkada 2020 besar kemungkinan datang ke TPS, 3,3% sangat besar kemungkinan datang ke TPS, 36% kecil kemungkinannya datang ke TPS, dan 6,7% sangat kecil kemungkinan datang ke TPS. Sisanya tidak menjawab.
"Sebanyak 57,2% memilih merekomendasi pemilihan secara langsung, datang ke TPS. Hanya 33,1% yang meminta pemilihan secara elektronik atau e-voting (9,7% tidak menjawab)," papar Burhanudin.
Survei ini dilakukan dengan sampel sebanyak 1.200 responden yang dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020. Asumsi metodenya simple random sampling dan memiliki toleransi kesalahan (margin of error) sekitar ±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional dan survei dilakukan pada 24–30 September 2020. (Baca juga: Ratusan Ribu Bayi Meninggal Akibat Polusi Udara)
Kampanye Daring Belum Jadi Pilihan Utama
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Bina Adwil Kemendagri) Syafrizal mengatakan kampanye daring belum menjadi pilihan utama para calon kepala daerah dalam kampanye. Pasalnya banyak kepala daerah yang memilih berkampanye tatap muka di pilkada kali ini.
Padahal seperti diketahui pertemuan tatap muka dalam pilkada dibatasi untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19. "Dari angka-angka statistik yang kita peroleh ternyata metode pertemuan terbatas dan tatap muka merupakan metode yang paling banyak digunakan," katanya beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan dari laporan yang masuk, angka statistik menunjukkan pelanggaran terbanyak adalah pertemuan tatap muka dengan jumlah peserta lebih dari 50 orang. Padahal sesuai dengan ketentuan, pertemuan terbatas itu memang dibatasi, maksimal 50 orang.
"Catatannya dari tanggal 26 September sampai dengan 1 Oktober terjadi pelanggaran protokol kesehatan 54. Kemudian ada konser pelaksanaan konser sebanyak 3 aktivitas atau kegiatan. Ini menunjukkan bahwa pelanggaran berkumpul lebih dari 50 orang adalah yang terbanyak," ujarnya. (Baca juga: Rawan Korupsi, KPK Akan Monitor Pilkada di Daerah Ini)
Kemudian dari tanggal 2 sampai dengan 8 Oktober terdapat 16 kali pertemuan terbatas dengan peserta lebih dari 50 orang. Sementara itu pelanggaran berupa pentas musik atau konser tidak ada. “Sedangkan di periode dari tanggal 9 sampai dengan 15 Oktober 2020, pelanggaran protokol kesehatan yang terbanyak masih pertemuan dengan peserta lebih dari 50 orang. Tercatat ada 25 kali pelanggaran,” ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan pelanggaran-pelanggaran ini sudah menjadi catatan Bawaslu. Mereka telah melakukan teguran dan pembubaran pertemuan tatap muka yang melanggar protokol kesehatan. “Teguran oleh Bawaslu sudah dilakukan, 230 kali yang diberikan peringatan dan 35 untuk pembubaran,” katanya.
Dia mengimbau petugas di lapangan, jika sebuah pertemuan melebihi 50 orang dan saat diperingatkan lalu langsung menaati aturan, tidak perlu ada pembubaran. “Jika diingatkan petugas di lapangan ternyata bisa dikurangi tetap dengan protokol jaga jarak pakai masker, acara kampanye dapat terus dilakukan. Potensi penularannya paling banyak adalah jika berkumpul di atas 50 orang tanpa jaga jarak tanpa pakai masker,” katanya.
Pemerintah Harus Lebih Tegas
Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai Pemerintah dan DPR serta penyelenggara pemilu harus tegas, jangan hanya semangat hntuk menyelenggarakan pilkada saja, tapi membiarkan semua proses pelanggaran protokol kesehatan ini terjadi begitu saja. (Baca juga: Positif Covid-19, Presiden Polandia Minta Maaf)
"Jangan hanya DPR, Pemerintah dan penyelenggara negara ini semangat untuk membahas penyelenggaraan negara saja pada 9 Desember, tapi tidak dibarengi dengan semangat untuk menindak mereka yang melangar," tuturnya.
Sebab, setelah pilkada ditetapkan dan banyak pasangan calon melakukan pelanggaran, mrnurut Adi, Pemerintah dan DPR seperti tidak mau bertanggungjawab. "Bawaslu merasa tidak bertanggungjawab karena protokol kesehatan itu domainnya pemerintah, atau bisa menjadi domainnya polisi, jadi siapa yang akan menindak? Jangan sampai ada lepas tangan, saling lempar tanggungjawab," katanya.
Sebab, kata Adi, dulu ketika menetapkan pilkada serentak, Pemerintah dan DPR menyatakan semangatnya atas nama bangsa dan negara dengan saling berpegangan tangan. "Giliran ada pelanggaran saling tuding, tidak atas nama bangsa, tidak atas nama negara, lalu pemrrintah dan DPR bagaimana perannya yang paling getol dan semangat untuk pilkada itu harus lanjut," tuturnya. (Lihat videonya: Skateboard Dapat Melatih Keberanian Anak-anak Sejak Dini)
Persoalannya, kata Adi, bagi mereka yang melanggar protokol kesehatan, siapa yang berhak menindak? "Kata Bawaslu itu bukan domain mereka, ataukah pemerintah bahwa penanggulangan ini terpusat di negara. Kalau lepas tanggungjawab, korbannya nyawa. Jangan hanya semangat membahas pilkada atas nama bangsa dan negara. Mestinya atas nama bangsa dan negara juga pelanggar protokol kesehatan itu harus ditindak. Itu saja, tak ada pilihan lain, tak ada negosiasi," katanya. (Kiswondari/Dita Angga/Nono Suwarno)
Dari catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga 10 hari kedua penyelenggaraan tahapan kampanye Pilkada Serentak 2020, jumlah prokes meningkat hingga dua kali lipat. Peningkatan itu terjadi seiring bertambahnya jumlah pelaksanaan kegiatan kampanye dengan metode tatap muka dan/atau pertemuan terbatas. (Baca: Inilah Penyebab Hati Tidak Merasakan Manisnya Iman)
Temuan Bawaslu menunjukkan pelanggaran prokes pada 10 hari kedua kampanye, yaitu 6 hingga 15 Oktober, sebanyak 375 kasus. Angka tersebut bertambah 138 bila dibandingkan dengan pada 10 hari pertama kampanye, yaitu pada 26 hingga 5 Oktober lalu, dengan jumlah pelanggaran prokes 237 kasus.
Peningkatan jumlah pelanggaran prokes bila dibandingkan dengan 10 hari kampanye pertama berbanding lurus dengan peningkatan jumlah kampanye dengan metode pertemuan terbatas dan/atau tatap muka. Bawaslu mencatat ada 16.468 kegiatan kampanye pertemuan terbatas di 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada. Jumlah itu meningkat tajam bila dibandingkan dengan periode 10 hari pertama kampanye, yaitu sebanyak 9.189 kegiatan kampanye.
Di sisi lain mayoritas publik menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap para calon kepala daerah yang melakukan pelanggaran terhadap prokes. Mereka meyakini Pilkada 2020 berpotensi besar menyebarkan Covid-19 sehingga para calon kepala daerah harusnya mematuhi prokes untuk menekan potensi penularan.
Jajak pendapat Indikator Politik bertajuk “Politik, Demokrasi, dan Pilkada di era Pandemi” menunjukkan bahwa 83,5% responden menyatakan setuju jika Pilkada 2020 rawan menjadi ajang persebaran Covid-19, sedangkan sisanya menyatakan tidak setuju. Publik pun ingin para calon kepala daerah (cakada) pelanggar prokes mendapatkan sanksi.
Sebanyak 50,3% menginginkan agar cakada pelanggar prokes didiskualifikasi. Sisanya ingin sanksi pidana berupa penjara dan denda serta sanksi tidak boleh melakukan kampanye. "Sanksi kita tanya, calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan, diskualifikasi 50,3%, 8,4% sanksi pidana hukuman penjara, 16,7% denda sejumlah uang, 18,2% tidak boleh melakukan kampanye kalau ada yang melanggar (sisanya tidak menjawab)," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi di Jakarta kemarin. (Baca juga:Kemenag Bekali Guru RA Keterampilan Psikososial di Masa Pandemi)
Para calon pemilih mayoritas ingin kampanye Pilkada 2020 dilakukan secara tertutup. Metode kampanye ini dinilai lebih aman untuk menekan potensi penyebaran Covid-19. Sebanyak 45,4% responden menilai kampanye tertutup dengan jumlah peserta maksimal 50 orang akan lebih aman.
Publik juga cukup besar yang ingin metode kampanye dilakukan secara virtual dengan kisaran 33,9%. Adapun 10,7% responden menyatakan tidak apa-apa kampanye dilaksanakan secara terbuka seperti biasa dan 33,9% ingin kampanye secara virtual. Sementara sisanya tidak menjawab.
Jajak pendapat ini juga menyiratkan angka partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 akan cenderung turun. Sebanyak 40,6% masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan melaksanakan Pilkada 2020 besar kemungkinan datang ke TPS, 3,3% sangat besar kemungkinan datang ke TPS, 36% kecil kemungkinannya datang ke TPS, dan 6,7% sangat kecil kemungkinan datang ke TPS. Sisanya tidak menjawab.
"Sebanyak 57,2% memilih merekomendasi pemilihan secara langsung, datang ke TPS. Hanya 33,1% yang meminta pemilihan secara elektronik atau e-voting (9,7% tidak menjawab)," papar Burhanudin.
Survei ini dilakukan dengan sampel sebanyak 1.200 responden yang dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020. Asumsi metodenya simple random sampling dan memiliki toleransi kesalahan (margin of error) sekitar ±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional dan survei dilakukan pada 24–30 September 2020. (Baca juga: Ratusan Ribu Bayi Meninggal Akibat Polusi Udara)
Kampanye Daring Belum Jadi Pilihan Utama
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Bina Adwil Kemendagri) Syafrizal mengatakan kampanye daring belum menjadi pilihan utama para calon kepala daerah dalam kampanye. Pasalnya banyak kepala daerah yang memilih berkampanye tatap muka di pilkada kali ini.
Padahal seperti diketahui pertemuan tatap muka dalam pilkada dibatasi untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19. "Dari angka-angka statistik yang kita peroleh ternyata metode pertemuan terbatas dan tatap muka merupakan metode yang paling banyak digunakan," katanya beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan dari laporan yang masuk, angka statistik menunjukkan pelanggaran terbanyak adalah pertemuan tatap muka dengan jumlah peserta lebih dari 50 orang. Padahal sesuai dengan ketentuan, pertemuan terbatas itu memang dibatasi, maksimal 50 orang.
"Catatannya dari tanggal 26 September sampai dengan 1 Oktober terjadi pelanggaran protokol kesehatan 54. Kemudian ada konser pelaksanaan konser sebanyak 3 aktivitas atau kegiatan. Ini menunjukkan bahwa pelanggaran berkumpul lebih dari 50 orang adalah yang terbanyak," ujarnya. (Baca juga: Rawan Korupsi, KPK Akan Monitor Pilkada di Daerah Ini)
Kemudian dari tanggal 2 sampai dengan 8 Oktober terdapat 16 kali pertemuan terbatas dengan peserta lebih dari 50 orang. Sementara itu pelanggaran berupa pentas musik atau konser tidak ada. “Sedangkan di periode dari tanggal 9 sampai dengan 15 Oktober 2020, pelanggaran protokol kesehatan yang terbanyak masih pertemuan dengan peserta lebih dari 50 orang. Tercatat ada 25 kali pelanggaran,” ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan pelanggaran-pelanggaran ini sudah menjadi catatan Bawaslu. Mereka telah melakukan teguran dan pembubaran pertemuan tatap muka yang melanggar protokol kesehatan. “Teguran oleh Bawaslu sudah dilakukan, 230 kali yang diberikan peringatan dan 35 untuk pembubaran,” katanya.
Dia mengimbau petugas di lapangan, jika sebuah pertemuan melebihi 50 orang dan saat diperingatkan lalu langsung menaati aturan, tidak perlu ada pembubaran. “Jika diingatkan petugas di lapangan ternyata bisa dikurangi tetap dengan protokol jaga jarak pakai masker, acara kampanye dapat terus dilakukan. Potensi penularannya paling banyak adalah jika berkumpul di atas 50 orang tanpa jaga jarak tanpa pakai masker,” katanya.
Pemerintah Harus Lebih Tegas
Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai Pemerintah dan DPR serta penyelenggara pemilu harus tegas, jangan hanya semangat hntuk menyelenggarakan pilkada saja, tapi membiarkan semua proses pelanggaran protokol kesehatan ini terjadi begitu saja. (Baca juga: Positif Covid-19, Presiden Polandia Minta Maaf)
"Jangan hanya DPR, Pemerintah dan penyelenggara negara ini semangat untuk membahas penyelenggaraan negara saja pada 9 Desember, tapi tidak dibarengi dengan semangat untuk menindak mereka yang melangar," tuturnya.
Sebab, setelah pilkada ditetapkan dan banyak pasangan calon melakukan pelanggaran, mrnurut Adi, Pemerintah dan DPR seperti tidak mau bertanggungjawab. "Bawaslu merasa tidak bertanggungjawab karena protokol kesehatan itu domainnya pemerintah, atau bisa menjadi domainnya polisi, jadi siapa yang akan menindak? Jangan sampai ada lepas tangan, saling lempar tanggungjawab," katanya.
Sebab, kata Adi, dulu ketika menetapkan pilkada serentak, Pemerintah dan DPR menyatakan semangatnya atas nama bangsa dan negara dengan saling berpegangan tangan. "Giliran ada pelanggaran saling tuding, tidak atas nama bangsa, tidak atas nama negara, lalu pemrrintah dan DPR bagaimana perannya yang paling getol dan semangat untuk pilkada itu harus lanjut," tuturnya. (Lihat videonya: Skateboard Dapat Melatih Keberanian Anak-anak Sejak Dini)
Persoalannya, kata Adi, bagi mereka yang melanggar protokol kesehatan, siapa yang berhak menindak? "Kata Bawaslu itu bukan domain mereka, ataukah pemerintah bahwa penanggulangan ini terpusat di negara. Kalau lepas tanggungjawab, korbannya nyawa. Jangan hanya semangat membahas pilkada atas nama bangsa dan negara. Mestinya atas nama bangsa dan negara juga pelanggar protokol kesehatan itu harus ditindak. Itu saja, tak ada pilihan lain, tak ada negosiasi," katanya. (Kiswondari/Dita Angga/Nono Suwarno)
(ysw)