Jokowi Dinilai Kurang Demokratis, Demokrat Singgung Penyalahgunaan UU ITE

Senin, 26 Oktober 2020 - 02:34 WIB
loading...
Jokowi Dinilai Kurang...
Terungkap 36% responden menilai, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kurang demokratis, 79,6% setuju bahwa publik semakin takut menyatakan pendapat. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Dalam survei nasional yang dirilis Indikator Politik Indonesia (IPI) yang bertajuk 'Politik, Demokrasi dan Pilkada di Era Pandemi' pada Minggu, 25 Oktober, terungkap bahwa 36% responden menilai pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kurang demokratis, 79,6% setuju bahwa publik semakin takut menyatakan pendapat dan 73,8% mengaku sulit melakukan demonstrasi.

(Baca juga: Masyarakat Semakin Takut Menyatakan Pendapat dan Berunjuk Rasa)

Menanggapi temuan itu, Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Hinca IP Pandjaitan menyoroti soal penyalahgunaan Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kini digunakan untuk menjerat kebebasan demokrasi. Serta, upaya kriminalisasi aparat penegak hukum terhadap orang yang menggunakan haknya berpendapat.

(Baca juga: Perjuangan Jadi Mahasiswa: Jangan Pikirkan Hasil Terburuk!)

"Kebebasan sipil itu juga kan termasuk menyampaikan pandangan lewat media, yakni kawan-kawan pekerja media atau jurnalis atau yang memang belum sempat kita potret, mengalami banyak soal juga hambatan-hambatan itu termasuk teman-teman kebebasan sipil yang melakukan advokasi mengenai demokrasi ini dihantui oleh sikap aparat yang kelihatannya atas nama pandemi itu menggunakan UU ITE berlebihan," kata Hinca secara daring.

Berdasarkan catatannya, Hinca melanjutkan, karena terlalu terbiasanya kata-kata UU ITE, dirinya hampir tidak bisa menemukan UU ITE itu ditulis secara lengkap namanya. Sehingga, UU ITE ini hanya dipahami sebagai ITE saja, dan digunakan untuk menanggapi orang-orang yang mengirimkan screeshoot layar ponsel dan melempar hoaks. Padahal, UU ITE ini maknanya lebih luas dan dibuat saat terorisme dengan memanfaatkan teknologi kian tinggi sekali di dunia.

"Padahal ITE itu adalah informasi dan elektronik yang waktu dibuat UU ini masa-masanya terorisme tinggi sekali di dunia dengan mentransfer uang lewat mekanisme yang tidak formal, itulah yang kita sebut anjungan tunai mandiri. Jadi transaksi elektronik pada soal-soal itu tadi,” papar mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Demokrat ini.

Namun, anggota Komisi III DPR ini melihat, bahwa beberapa waktu belakangan ini, seolah dibaca menjadi transaksi elektronik tentang informasi. Padahal, informasi itu oksigennya adalah demokrasi.

"Nah jadi saya tidak tahu apakah terpotret soal ini tentang resesi demorkasi ialah disebabkan mengadili informasi berdasarkan aparat penegak hukum menggunakannya berlebihan karena kemudian kebebasan sipil dan menyampaikan pendapatnya menjadi terganggu," sesalnya.

Soal kebebasan sipil, Hinca pun mengungkap bahwa era kepemimpinan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ada hal yang bisa diambil pelajaran. Meskipun begitu banyak demonstrasi, banyak tekanan demonstrasi, tapi tidak ada satu pun yang kemudian berujung kriminalisasi untuk menyampaikan pendapat itu.

"Nah kalau kita lihat belakangan ini, kelihatannya itu terabaikan sehingga produk reformasi, satu-satunya yang tinggal kan demokrasi yang soal kebebasan sipil ini. Ini harus kita jaga betul sebagai pilihan kita dan para responden setuju bahwa demokrasi adalah pilihan yang masih terbaik hari ini dalam kita bernagara. Oleh karena itu, sama-sama kita jaga," ujarnya.

Soal temuan bahwa publik takut berbicara, menurut Hincam kalau digabungkan angka-angka temuan survei itu, maka terjawab sebabnya adalah komunikasi yang buruk atau komunikasi yang jelek sebagaimana yang diakui Jokowi dan dikonfirmasi oleh politikus PDIP Eva Kusuma Sundari.

"Ini kan Pak Presiden Jokowi mau mengatakan juga para menteri-menterinya dan para elit yang buruk menyampaikan komunikasinya itu, maka kualitasn demokrasinya pun bisa kita pahami menjadi buruk kalau tidak ingin kita sebut mundur jauh dan resesi," imbuh Hinca.

Oleh karena itu, kata Hinca, dengan gambaran survei IPI ini menyiratkan pesan akademik dan moral bahwa semuanya harus menjaga kebebasan sipil itu, menjaga ruang kebebasan berekspresi dan harus merawat betul bahwa demokrasi itu memberikan ruang lebih banyak untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya. Sebaliknya, mengurangi sebanyak-banyaknya, bahkan sampai ke nol persen untuk tidak mengkriminalisasi orang yang menggunakan haknya dalam berdemokrasi.

"Orang boleh bilang bahwa iya polisi harus keras terhadap demonstran itu, ya betul karena tugas polisi menjaga, tapi jangan sampai kemudian berlebihan, mengkriminalisasinya atau mencegah sebelum terjadi atau menangkap sebelum pikiran yang disampaikan dan seterusnya," tegas Hinca.

"Hanya dengan itu ruang demokrasi yang kita dapat tahun 98 yang begitu susah payah dan sekarang menjadi pilihan kita jadi jalan terbaik bisa kita rawat bersama-sama. Kita berharap Presiden Jokowi terus-menerus melanjutkan upaya dari presiden sebelum-sebelumnya bahwa demokrasi itu pilihan kita bersama untuk ke depan," pungkasnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1396 seconds (0.1#10.140)