Wahid Foundation Ungkap 60% Rohaniawan Islam Dukung Jihad dengan Kekerasan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Senior Officer Media dan Kampanye Wahid Foundation , Siti Kholisoh mengungkapkan bahwa dalam survei yang dilakukan pihaknya ditemukan bahwa sebanyak 60% rohaniawan Islam mendukung ekspresi jihad dengan menggunakan kekerasan. Survei dilakukan pada 2018 dengan menggandeng Direktorat Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama.
"Ketika kita angkat dalam konteks kebutuhan mereka terhadap jihad, di ekspresi jihad dengan menggunakan kekerasan itu di medan-medan peperangan seperti di daerah konflik Syuriah, Afganistan dukungan mereka cukup tinggi sekitar 60% nah tentu ini juga bisa menjadi salah satu catatan kita," ujar Siti Kholisoh dalam diskusi Polemik MNC Trijaya bertajuk "Pemuda, Intoleransi, dan Lembaga Pendidikan Kita" secara daring, Sabtu (24/10/2020).
Dalam segmen lainnya terkait konsep khilafah, Siti menyebut masih banyak rohaniawan Islam masih gamang terhadap konsep khilafah sebenernya. Meski begitu hal ini perlu diperdalam melalui riset-riset lebih lanjut. "Dugaan mereka terhadap konsep khilafah Islamiyyah cukup tinggi meskipun fakta di lapangan juga menemukan bahwa mereka cukup gamang juga tidak tahu sesungguhnya apakah konsep khilafah yang kemudian sering digembar-gemborkan oleh beberapa pemateri agama di kalangan mereka," katanya. (
)
Tidak hanya itu, Wahid Foundation juga telah melakukan pendampingan di sekolah negeri, khususnya di SMA di empat provinsi besar di Indonesia. Keempatnya yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
"Temuannya memang cukup bervariatif ya kemudian ternyata sekolah kita yang seharusnya bisa menjadi tempat yang cukup strategis untuk melakukan penanaman nilai yang inklusif yang damai dan terbuka terhadap segala perbedaan ternyata kita masih belum memadai," ungkapnya.
Dirinya mendefinisikan hal tersebut karena kurangnya komunikasi yang baik dengan guru dan siswanya. Bahkan dirinya menyebut banyak guru keagamaan yang cenderung memaksakan mengenai konsep ideologi yang mereka yakini atas kelompok-kelompok mereka.
"Tetapi kemudian seharusnya yang perlu dilakukan oleh guru adalah membuka ruang-ruang yang sangat terbuka dalam proses belajar mengajar di kalangan siswa itu yang menjadi salah satu bekal," katanya. ( )
Selain itu, adanya jarak pengetahuan keagamaan antara guru dan siswanya. Di mana hal tersebut menjadi salah satu tantangan, sehingga siswa ini tidak merasa puas atas jawaban-jawaban atau penjelasan dari guru.
Dan pada akhirnya siswa membuka presepsi dan memilih mencari referensi-referensi lain yang kemudian ternyata yang banyak ditemukan adalah referensi-referensi pandangan-pandangan yang fanatik.
"Ini ketemu antara presepsi yang awal mereka bangun, lalu mereka kemudian mendapatkan referensi-referensi yang tertutup sehingga ketidakpuasan itu menimbulkan miss kepercayaan terhadap guru, dia selalu mencari pembanding-pembanding," katanya.
"Ketika kita angkat dalam konteks kebutuhan mereka terhadap jihad, di ekspresi jihad dengan menggunakan kekerasan itu di medan-medan peperangan seperti di daerah konflik Syuriah, Afganistan dukungan mereka cukup tinggi sekitar 60% nah tentu ini juga bisa menjadi salah satu catatan kita," ujar Siti Kholisoh dalam diskusi Polemik MNC Trijaya bertajuk "Pemuda, Intoleransi, dan Lembaga Pendidikan Kita" secara daring, Sabtu (24/10/2020).
Dalam segmen lainnya terkait konsep khilafah, Siti menyebut masih banyak rohaniawan Islam masih gamang terhadap konsep khilafah sebenernya. Meski begitu hal ini perlu diperdalam melalui riset-riset lebih lanjut. "Dugaan mereka terhadap konsep khilafah Islamiyyah cukup tinggi meskipun fakta di lapangan juga menemukan bahwa mereka cukup gamang juga tidak tahu sesungguhnya apakah konsep khilafah yang kemudian sering digembar-gemborkan oleh beberapa pemateri agama di kalangan mereka," katanya. (
Baca Juga
Tidak hanya itu, Wahid Foundation juga telah melakukan pendampingan di sekolah negeri, khususnya di SMA di empat provinsi besar di Indonesia. Keempatnya yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
"Temuannya memang cukup bervariatif ya kemudian ternyata sekolah kita yang seharusnya bisa menjadi tempat yang cukup strategis untuk melakukan penanaman nilai yang inklusif yang damai dan terbuka terhadap segala perbedaan ternyata kita masih belum memadai," ungkapnya.
Dirinya mendefinisikan hal tersebut karena kurangnya komunikasi yang baik dengan guru dan siswanya. Bahkan dirinya menyebut banyak guru keagamaan yang cenderung memaksakan mengenai konsep ideologi yang mereka yakini atas kelompok-kelompok mereka.
"Tetapi kemudian seharusnya yang perlu dilakukan oleh guru adalah membuka ruang-ruang yang sangat terbuka dalam proses belajar mengajar di kalangan siswa itu yang menjadi salah satu bekal," katanya. ( )
Selain itu, adanya jarak pengetahuan keagamaan antara guru dan siswanya. Di mana hal tersebut menjadi salah satu tantangan, sehingga siswa ini tidak merasa puas atas jawaban-jawaban atau penjelasan dari guru.
Dan pada akhirnya siswa membuka presepsi dan memilih mencari referensi-referensi lain yang kemudian ternyata yang banyak ditemukan adalah referensi-referensi pandangan-pandangan yang fanatik.
"Ini ketemu antara presepsi yang awal mereka bangun, lalu mereka kemudian mendapatkan referensi-referensi yang tertutup sehingga ketidakpuasan itu menimbulkan miss kepercayaan terhadap guru, dia selalu mencari pembanding-pembanding," katanya.
(abd)