Naskah Khutbah Jumat, Memperkaya Literasi atau Asumsi Negatif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Agama (Kemenag) akan memperkaya materi khutbah Jumat dengan isu-isu kontemporer. Program tersebut masih dalam tahap rencana yang akan dibahas bersama tokoh agama, ormas, dan akademisi kampus.
Penyusunan naskah khutbah ini diawali tema. Misalnya seputar pengarusutamaan moderasi beragama, termasuk seputar ubudiyah, muamalah, sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan Islam. Naskah tersebut diharapkan bisa menjadi rujukan alternatif bagi para dai dalam meningkatkan literasi masyarakat terkait isu-isu aktual dalam perspektif keagamaan.
Namun, sejumlah kalangan mengingatkan naskah khutbah tersebut bukan materi yang wajib digunakan para khatib. Apalagi, ada sinyalemen pembuatan naskah tersebut dilandasi sebuah kecurigaan dengan menuduh bahwa materi khotbah yang disampaikan para khatib selama ini cenderung atau bahkan mengembangkan radikalisme. (Baca: Inilah Dua Keutamaan dari Sikap Istiqamah)
"Kami nanti akan mengundang para akademisi, tokoh ormas, ulama untuk berkontribusi, menulis. Kalau banyak yang menulis kan bagus. Semoga nanti khotbahnya bisa dibaca secara masif. Kami berharap masjid-masjid, musala-musala bisa membaca khotbah tersebut," kata Direktur Jenderal Pembinaan Agama Islam (Dirjen Bimas Islam) Kemenag Kamaruddin Amin kemarin.
Menurut dia, tidak semua ormas akan dilibatkan dalam penyiapan naskah khutbah Jumat karena jumlahnya cukup banyak. Kemenag akan mengundang tokoh-tokoh yang ditentukan untuk ikut menulis, baik secara individu maupun kelembagaan. "Kami sedang merumuskan tema-temanya, kemudian para penulisnya. Insyaallah awal tahun kami tertibkan. Bisa dibaca bagi mereka yang membutuhkan,” ungkapnya.
Kamaruddin mengatakan, naskah khotbah Jumat nantinya tidak hanya berupa buku fisik, tapi juga dalam versi digital yang diunggah di situs resmi Kemenag. Hal ini dilakukan agar semua orang bisa mengakses, baik sekadar membaca maupun mengunduhnya untuk dijadikan materi khotbah atau ceramah. (Baca juga: Hari Santri, Pemerintah Harus Berpihak dan Hadir Bukan Sekedar Selebrasi)
“Fisik buku khutbah Jumat pasti ada di beberapa tempat. Tapi, secara umum distribusinya secara virtual, secara elektronik. Kantor-kantor wilayah bisa mencetaknya, kemudian (naskah khotbah itu) didistribusikan," ujarnya.
Materi khutbah Jumat itu berisi tentang ajaran-ajaran yang toleran, cara hidup dalam kemajemukan bangsa, saling menghormati, dan perdamaian. Diharapkan khutbah atau ceramah yang disampaikan akan membawa kesejukan, meningkatkan kualitas kehidupan beragama, meningkatkan kesalehan umat beragama. "Jadi tidak ada narasi kebencian, apalagi kekerasan," jamin Kamaruddin.
Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto menyambut baik rencana Kemenag memperkaya literasi khutbah atau materi khutbah. Namun, dia mengingatkan hal itu bukan materi yang wajib digunakan para khatib. "Yang paling penting dipastikan itu bukan materi wajib. Bukan materi wajib yang harus dipakai oleh para khatib, para ulama, para ustaz," pinta Yandri.
Legislator Dapil Banten II ini menambahkan, komisinya juga tidak mau kalau rencana membuat materi khutbah ini dilandasi sebuah kecurigaan dengan menuduh bahwa materi khutbah yang disampaikan para khatib selama ini cenderung atau bahkan mengembangkan radikalisme. "Sekali lagi, stempel radikalisme itu ditempelkan kepada Islam atau kepada penceramah, itu pasti kami tolak," katanya. (Baca juga: Konsumsi Kedelai Bisa Mengurangi Resiko Kanker)
Tapi, kata Wakil Ketua Umum PAN itu, kalau Kemenag melalui Ditjen Bimas Islam ingin memperkaya literasi, literatur yang berkaitan dengan materi khutbah dan bukan sebuah kewajiban, Komisi VIII DPR tentu tak masalah dan mendukung itu. “Kami meyakini bahwa apa yang disampaikan Kemenag itu telah melalui kajian tokoh masyarakat, agama, ormas, maupun para akademisi," ucapnya.
Politikus PAN ini melanjutkan, saat ini sudah banyak buku khutbah kontemporer yang bisa menjadi bahan referensi ulama, dai, dan para khatib untuk menyampaikan khutbah. Bahkan Yandri sendiri menjadikan buku-buku tersebut sebagai referensi sebelum berkhotbah. “Artinya, materi-materi yang tersedia sekarang atau literatur yang berkaitan dengan khutbah Jumat sudah banyak. Dan itu bisa sangat mudah dipahami oleh yang menyampaikan dan yang mendengarkan," ujarnya.
Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, mengingatkan agar program tersebut tidak berangkat dari asumsi negatif bahwa para khatib selama ini menyebarkan radikalisme. "Kalau tentang materi khutbah itu sifatnya membantu para dai dan penceramah, bagus. Tapi, kalau berangkat dari tendensi bahwa khatib inilah yang menjadi penyebab radikalisme dan menjadi penyebab tindakan-tindakan yang melanggar konstitusi, saya kira itu yang perlu dikoreksi. Jangan sampai hanya sebagai bentuk untuk membenturkan anak bangsa," katanya. (Baca juga: Pandemi Covid-19 Momentum Indonesia untuk Mandiri)
Bukhori berpandangan, meskipun bekerja sama dengan ormas Islam dan akademisi, dia yakin itu hanya dari kalangan tertentu. Jika berangkat dari tujuan itu, tentu program ini bukan cara yang efektif untuk melakukan kontraradikalisme, bahkan justru memicu radikalisme yang lebih dalam karena ada pihak-pihak yang merasa ditekan dan dicurigai.
“Apa yang dilakukan Kemenag itu tentu tidak sekadar ngarang. Kemenag tentu punya data. Tetapi, Kemenag harus paham data itu sumbernya dari mana dan arahnya itu ke mana. Dan kita harus tahu, yang disebut sebagai big picture-nya situasi sekarang ini," ungkapnya.
Legislator Dapil Jawa Tengah I ini melihat, Kemenag terlalu didominasi oleh pandangan tertentu dan tidak melihat dari semua sisi, jadi yang dilihat hanya soal radikalisme. Jika pendekatan terus seperti itu, Kemenag hanya akan menimbulkan luka yang makin dalam, sementara masyarakat Indonesia semakin pintar. (Baca juga: Pengembangan Ekonomi Hijau Butuh Terobosan Sains)
"Saya kasih contoh saja, dulu di awal 1990-an pemerintah sangat represif terhadap perempuan yang menggunakan jilbab dan kasus anak-anak SMA negeri yang dikeluarkan hanya karena memakai jilbab. Bukan hanya satu atau dua orang, dan yang membela hanya beberapa ulama tertentu, tidak ada yang bisa memberikan pembelaan yang memadai, semua dikunci, semua diberi stigma," tuturnya.
Kemudian faktanya sekarang jilbab tidak lagi menjadi sebuah persoalan karena itu sebuah ajaran Islam, ajaran Islam yang murni, yang digali. Makin pintar masyarakat pakai sendiri. “Sekarang akhirnya jilbab menjadi sebuah budaya bangsa, ini kan kecelek (salah) artinya," ujar Bukhori.
Menurut anggota Badan Legislasi DPR ini, ketika cara memerangi atau mengendalikan radikalisme dengan cara-cara yang tidak komprehensif, bahkan terkesan itu semacam pesan dari pihak-pihak tertentu, masyarakat akan mengingatnya. Para pejabat yang membuat itu pasti akan diingat oleh masyarakat, sementara jabatan itu tidak selamanya dan bekas pejabat pun akhirnya akan turun ke masyarakat.
Faktanya, sambung Bukhori, radikalisme itu ada di sepanjang zaman, ketika ada ketidakadilan. Bukan karena sikap beragama seseorang. Justru agama akan menjadi sangat keras dan bertentangan dengan penguasa ketika muncul ketidakadilan. Fenomena radikal itu sumbernya ketidakadilan, baik dalam pembangunan, dalam mengakses informasi, kewenangan maupun kesempatan, perlakuan, penegakan hukum, perlakuan terhadap kehidupan, dan utamanya masalah ekonomi. (Lihat videonya: Pemerintah Berencana Menyiapkan Materi khutbah Jumat)
"Karena itu, tindakan yang dilakukan bukan mendegradasi pemahaman Islam yang murni dan baik, tetapi ketidakadilannya yang harus diberantas. Dari situ sumbernya. Kalau itu masalah utamanya, solusinya bukan pakai khutbah, bukan pakai ceramah. Saya tidak meyakini itu, meskipun pasti ada data. (Kalau) ada data sandingan perlu disampaikan," desaknya.
Dengan demikian, Bukhori menambahkan, kalaupun program itu berjalan, baiknya materi khutbah itu sebagai bentuk alternatif bagi para khatib untuk menjadi referensi. “Tapi ketika berangkat dari satu asumsi, konsepsi dalam rangka mendegradasi atau dalam rangka deradikalisasi dan seterusnya tadi, saya kira enggak efektif. Hanya akan menimbulkan goresan-goresan yang dalam. Orang ini dicirikan, jadinya begitu,” ujarnya. (Abdul Malik Mubarok/Kiswondari)
Penyusunan naskah khutbah ini diawali tema. Misalnya seputar pengarusutamaan moderasi beragama, termasuk seputar ubudiyah, muamalah, sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan Islam. Naskah tersebut diharapkan bisa menjadi rujukan alternatif bagi para dai dalam meningkatkan literasi masyarakat terkait isu-isu aktual dalam perspektif keagamaan.
Namun, sejumlah kalangan mengingatkan naskah khutbah tersebut bukan materi yang wajib digunakan para khatib. Apalagi, ada sinyalemen pembuatan naskah tersebut dilandasi sebuah kecurigaan dengan menuduh bahwa materi khotbah yang disampaikan para khatib selama ini cenderung atau bahkan mengembangkan radikalisme. (Baca: Inilah Dua Keutamaan dari Sikap Istiqamah)
"Kami nanti akan mengundang para akademisi, tokoh ormas, ulama untuk berkontribusi, menulis. Kalau banyak yang menulis kan bagus. Semoga nanti khotbahnya bisa dibaca secara masif. Kami berharap masjid-masjid, musala-musala bisa membaca khotbah tersebut," kata Direktur Jenderal Pembinaan Agama Islam (Dirjen Bimas Islam) Kemenag Kamaruddin Amin kemarin.
Menurut dia, tidak semua ormas akan dilibatkan dalam penyiapan naskah khutbah Jumat karena jumlahnya cukup banyak. Kemenag akan mengundang tokoh-tokoh yang ditentukan untuk ikut menulis, baik secara individu maupun kelembagaan. "Kami sedang merumuskan tema-temanya, kemudian para penulisnya. Insyaallah awal tahun kami tertibkan. Bisa dibaca bagi mereka yang membutuhkan,” ungkapnya.
Kamaruddin mengatakan, naskah khotbah Jumat nantinya tidak hanya berupa buku fisik, tapi juga dalam versi digital yang diunggah di situs resmi Kemenag. Hal ini dilakukan agar semua orang bisa mengakses, baik sekadar membaca maupun mengunduhnya untuk dijadikan materi khotbah atau ceramah. (Baca juga: Hari Santri, Pemerintah Harus Berpihak dan Hadir Bukan Sekedar Selebrasi)
“Fisik buku khutbah Jumat pasti ada di beberapa tempat. Tapi, secara umum distribusinya secara virtual, secara elektronik. Kantor-kantor wilayah bisa mencetaknya, kemudian (naskah khotbah itu) didistribusikan," ujarnya.
Materi khutbah Jumat itu berisi tentang ajaran-ajaran yang toleran, cara hidup dalam kemajemukan bangsa, saling menghormati, dan perdamaian. Diharapkan khutbah atau ceramah yang disampaikan akan membawa kesejukan, meningkatkan kualitas kehidupan beragama, meningkatkan kesalehan umat beragama. "Jadi tidak ada narasi kebencian, apalagi kekerasan," jamin Kamaruddin.
Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto menyambut baik rencana Kemenag memperkaya literasi khutbah atau materi khutbah. Namun, dia mengingatkan hal itu bukan materi yang wajib digunakan para khatib. "Yang paling penting dipastikan itu bukan materi wajib. Bukan materi wajib yang harus dipakai oleh para khatib, para ulama, para ustaz," pinta Yandri.
Legislator Dapil Banten II ini menambahkan, komisinya juga tidak mau kalau rencana membuat materi khutbah ini dilandasi sebuah kecurigaan dengan menuduh bahwa materi khutbah yang disampaikan para khatib selama ini cenderung atau bahkan mengembangkan radikalisme. "Sekali lagi, stempel radikalisme itu ditempelkan kepada Islam atau kepada penceramah, itu pasti kami tolak," katanya. (Baca juga: Konsumsi Kedelai Bisa Mengurangi Resiko Kanker)
Tapi, kata Wakil Ketua Umum PAN itu, kalau Kemenag melalui Ditjen Bimas Islam ingin memperkaya literasi, literatur yang berkaitan dengan materi khutbah dan bukan sebuah kewajiban, Komisi VIII DPR tentu tak masalah dan mendukung itu. “Kami meyakini bahwa apa yang disampaikan Kemenag itu telah melalui kajian tokoh masyarakat, agama, ormas, maupun para akademisi," ucapnya.
Politikus PAN ini melanjutkan, saat ini sudah banyak buku khutbah kontemporer yang bisa menjadi bahan referensi ulama, dai, dan para khatib untuk menyampaikan khutbah. Bahkan Yandri sendiri menjadikan buku-buku tersebut sebagai referensi sebelum berkhotbah. “Artinya, materi-materi yang tersedia sekarang atau literatur yang berkaitan dengan khutbah Jumat sudah banyak. Dan itu bisa sangat mudah dipahami oleh yang menyampaikan dan yang mendengarkan," ujarnya.
Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, mengingatkan agar program tersebut tidak berangkat dari asumsi negatif bahwa para khatib selama ini menyebarkan radikalisme. "Kalau tentang materi khutbah itu sifatnya membantu para dai dan penceramah, bagus. Tapi, kalau berangkat dari tendensi bahwa khatib inilah yang menjadi penyebab radikalisme dan menjadi penyebab tindakan-tindakan yang melanggar konstitusi, saya kira itu yang perlu dikoreksi. Jangan sampai hanya sebagai bentuk untuk membenturkan anak bangsa," katanya. (Baca juga: Pandemi Covid-19 Momentum Indonesia untuk Mandiri)
Bukhori berpandangan, meskipun bekerja sama dengan ormas Islam dan akademisi, dia yakin itu hanya dari kalangan tertentu. Jika berangkat dari tujuan itu, tentu program ini bukan cara yang efektif untuk melakukan kontraradikalisme, bahkan justru memicu radikalisme yang lebih dalam karena ada pihak-pihak yang merasa ditekan dan dicurigai.
“Apa yang dilakukan Kemenag itu tentu tidak sekadar ngarang. Kemenag tentu punya data. Tetapi, Kemenag harus paham data itu sumbernya dari mana dan arahnya itu ke mana. Dan kita harus tahu, yang disebut sebagai big picture-nya situasi sekarang ini," ungkapnya.
Legislator Dapil Jawa Tengah I ini melihat, Kemenag terlalu didominasi oleh pandangan tertentu dan tidak melihat dari semua sisi, jadi yang dilihat hanya soal radikalisme. Jika pendekatan terus seperti itu, Kemenag hanya akan menimbulkan luka yang makin dalam, sementara masyarakat Indonesia semakin pintar. (Baca juga: Pengembangan Ekonomi Hijau Butuh Terobosan Sains)
"Saya kasih contoh saja, dulu di awal 1990-an pemerintah sangat represif terhadap perempuan yang menggunakan jilbab dan kasus anak-anak SMA negeri yang dikeluarkan hanya karena memakai jilbab. Bukan hanya satu atau dua orang, dan yang membela hanya beberapa ulama tertentu, tidak ada yang bisa memberikan pembelaan yang memadai, semua dikunci, semua diberi stigma," tuturnya.
Kemudian faktanya sekarang jilbab tidak lagi menjadi sebuah persoalan karena itu sebuah ajaran Islam, ajaran Islam yang murni, yang digali. Makin pintar masyarakat pakai sendiri. “Sekarang akhirnya jilbab menjadi sebuah budaya bangsa, ini kan kecelek (salah) artinya," ujar Bukhori.
Menurut anggota Badan Legislasi DPR ini, ketika cara memerangi atau mengendalikan radikalisme dengan cara-cara yang tidak komprehensif, bahkan terkesan itu semacam pesan dari pihak-pihak tertentu, masyarakat akan mengingatnya. Para pejabat yang membuat itu pasti akan diingat oleh masyarakat, sementara jabatan itu tidak selamanya dan bekas pejabat pun akhirnya akan turun ke masyarakat.
Faktanya, sambung Bukhori, radikalisme itu ada di sepanjang zaman, ketika ada ketidakadilan. Bukan karena sikap beragama seseorang. Justru agama akan menjadi sangat keras dan bertentangan dengan penguasa ketika muncul ketidakadilan. Fenomena radikal itu sumbernya ketidakadilan, baik dalam pembangunan, dalam mengakses informasi, kewenangan maupun kesempatan, perlakuan, penegakan hukum, perlakuan terhadap kehidupan, dan utamanya masalah ekonomi. (Lihat videonya: Pemerintah Berencana Menyiapkan Materi khutbah Jumat)
"Karena itu, tindakan yang dilakukan bukan mendegradasi pemahaman Islam yang murni dan baik, tetapi ketidakadilannya yang harus diberantas. Dari situ sumbernya. Kalau itu masalah utamanya, solusinya bukan pakai khutbah, bukan pakai ceramah. Saya tidak meyakini itu, meskipun pasti ada data. (Kalau) ada data sandingan perlu disampaikan," desaknya.
Dengan demikian, Bukhori menambahkan, kalaupun program itu berjalan, baiknya materi khutbah itu sebagai bentuk alternatif bagi para khatib untuk menjadi referensi. “Tapi ketika berangkat dari satu asumsi, konsepsi dalam rangka mendegradasi atau dalam rangka deradikalisasi dan seterusnya tadi, saya kira enggak efektif. Hanya akan menimbulkan goresan-goresan yang dalam. Orang ini dicirikan, jadinya begitu,” ujarnya. (Abdul Malik Mubarok/Kiswondari)
(ysw)