Setahun Jokowi, Momentum Evaluasi
loading...
A
A
A
TEPAT tanggal ini tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin menerima mandat resmi untuk memimpin negeri ini selama lima tahun ke depan. Namun, satu tahun berjalan, pemerintahan Jokowi-Amin ternyata tidak adem-ayem saja.
Baru beberapa bulan pemerintahan berjalan, Jokowi-Amin beserta kabinetnya dihadapkan tantangan besar, utamanya pada sektor ekonomi. Muaranya, capaian pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 2,97% pada kuartal I/2020 membuat tugas-tugas pemerintahan tak bisa lagi dijalankan seperti biasanya (business as usual).
Tantangan kian pelik manakala pandemi Covid-19 yang resmi dinyatakan masuk ke Indonesia pada 2 Maret juga turut mengoyak berbagai sendi kehidupan. Hingga satu tahun Kabinet Indonesia Maju ini berjalan, kontraksi-kontraksi itu masih terasa jelas. Bahkan sebagian tampak kerepotan untuk diantisipasi. Situasi inilah yang kerap menyebabkan publik protes, kecewa, bahkan hingga meluapkan amarahnya. Perasaan publik itu hakikatnya sesuatu yang wajar di tengah harapan besar mereka sebelumnya akan kehidupan yang lebih baik.
Sebenarnya banyak masyarakat memahami di tengah pandemi yang membuat situasi menjadi tidak pasti, tekanan-tekanan baik ekonomi hingga sosial akan terjadi. Namun, yang kerapkali muncul dari protes mereka justru dipicu kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tak memahami betul suasana hati publik. Tak hanya itu, kekecewaan makin bertambah manakala mereka melihat banyak kebijakan itu justru saling kontraproduktif antarkementerian satu dengan yang lain. Kebijakan di bidang perikanan misalnya, mudah sekali kabinet saat ini menegasikan capaian-capaian menteri sebelumnya. Aturan protokol kesehatan Covid-19 yang berbeda di tiap moda transportasi plus lemah penegakan di lapangan juga menggambarkan kebijakan selama ini sebatas “macan kertas”.
Belum lagi soal runyamnya pembelajaran jarak jauh (PJJ), penanganan pengangguran baru, hingga kisruh distribusi bantuan sosial membuat tugas pemerintahan saat ini makin berat. Tentu di luar itu masih banyak pekerjaan rumah lain pemerintahan ini yang perlu segera ditangani. Bagi Jokowi, satu tahun pemerintahan ini adalah momentum yang tepat untuk mengevaluasi sejauh mana efektivitas sistem kerja yang dibuat berikut rapor kinerja para pembantunya. Evaluasi ini adalah keniscayaan dalam kerangka membangun pemerintahan yang efektif. Lebih-lebih, dalam masa pandemi ini, mendesak dibutuhkan pemerintahan yang tak asal bekerja, tapi juga responsif sekaligus adaptif.
Tentu konsekuensi evaluasi ini adalah bongkar pasang posisi. Pada titik ini, sebagai presiden, Jokowi dituntut memiliki keteguhan prinsip agar tak mudah mendapat masukan-masukan yang hanya mengutamakan kepentingan kelompok, partai, dan sebagainya. Indikasi intervensi mereka sudah banyak terlihat. Gaung reshuffle hari-hari ini makin nyaring terdengar. Makin terang lagi manakala ada beberapa kelompok atau partai yang sudah berani blak-blakan saling serang. Muaranya sudah pasti ditebak, yakni politik belah bambu, memenangkan kelompoknya dan berupaya melenyapkan kelompok lain. Berbagai dalih dan narasi pun banyak dibuat. Tapi, tujuannya tetap sama, yaitu untuk kepentingan sempit parpolnya atau kelompoknya sendiri.
Di periode kedua pemerintahannya saat ini, Jokowi sejatinya makin dihadapkan pada pertaruhan besar. Di tengah berbagai tekanan plus pandemi Covid-19 yang belum mampu sepenuhnya terkendali, Jokowi sangat membutuhkan dukungan politis sekaligus perangkat pembantu yang makin mumpuni. Tanpa itu, kepercayaan publik (public trust) akan kian mudah terdegradasi. Lebih-lebih, jika berbagai program dan kebijakan tak mampu banyak menjangkau harapan publik. Satu tahun adalah masa tepat untuk evaluasi dan melanjutkan pahatan legacy yang benar-benar bisa memberikan ketenangan sekaligus keteladanan bagi anak negeri.
Baru beberapa bulan pemerintahan berjalan, Jokowi-Amin beserta kabinetnya dihadapkan tantangan besar, utamanya pada sektor ekonomi. Muaranya, capaian pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 2,97% pada kuartal I/2020 membuat tugas-tugas pemerintahan tak bisa lagi dijalankan seperti biasanya (business as usual).
Tantangan kian pelik manakala pandemi Covid-19 yang resmi dinyatakan masuk ke Indonesia pada 2 Maret juga turut mengoyak berbagai sendi kehidupan. Hingga satu tahun Kabinet Indonesia Maju ini berjalan, kontraksi-kontraksi itu masih terasa jelas. Bahkan sebagian tampak kerepotan untuk diantisipasi. Situasi inilah yang kerap menyebabkan publik protes, kecewa, bahkan hingga meluapkan amarahnya. Perasaan publik itu hakikatnya sesuatu yang wajar di tengah harapan besar mereka sebelumnya akan kehidupan yang lebih baik.
Sebenarnya banyak masyarakat memahami di tengah pandemi yang membuat situasi menjadi tidak pasti, tekanan-tekanan baik ekonomi hingga sosial akan terjadi. Namun, yang kerapkali muncul dari protes mereka justru dipicu kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tak memahami betul suasana hati publik. Tak hanya itu, kekecewaan makin bertambah manakala mereka melihat banyak kebijakan itu justru saling kontraproduktif antarkementerian satu dengan yang lain. Kebijakan di bidang perikanan misalnya, mudah sekali kabinet saat ini menegasikan capaian-capaian menteri sebelumnya. Aturan protokol kesehatan Covid-19 yang berbeda di tiap moda transportasi plus lemah penegakan di lapangan juga menggambarkan kebijakan selama ini sebatas “macan kertas”.
Belum lagi soal runyamnya pembelajaran jarak jauh (PJJ), penanganan pengangguran baru, hingga kisruh distribusi bantuan sosial membuat tugas pemerintahan saat ini makin berat. Tentu di luar itu masih banyak pekerjaan rumah lain pemerintahan ini yang perlu segera ditangani. Bagi Jokowi, satu tahun pemerintahan ini adalah momentum yang tepat untuk mengevaluasi sejauh mana efektivitas sistem kerja yang dibuat berikut rapor kinerja para pembantunya. Evaluasi ini adalah keniscayaan dalam kerangka membangun pemerintahan yang efektif. Lebih-lebih, dalam masa pandemi ini, mendesak dibutuhkan pemerintahan yang tak asal bekerja, tapi juga responsif sekaligus adaptif.
Tentu konsekuensi evaluasi ini adalah bongkar pasang posisi. Pada titik ini, sebagai presiden, Jokowi dituntut memiliki keteguhan prinsip agar tak mudah mendapat masukan-masukan yang hanya mengutamakan kepentingan kelompok, partai, dan sebagainya. Indikasi intervensi mereka sudah banyak terlihat. Gaung reshuffle hari-hari ini makin nyaring terdengar. Makin terang lagi manakala ada beberapa kelompok atau partai yang sudah berani blak-blakan saling serang. Muaranya sudah pasti ditebak, yakni politik belah bambu, memenangkan kelompoknya dan berupaya melenyapkan kelompok lain. Berbagai dalih dan narasi pun banyak dibuat. Tapi, tujuannya tetap sama, yaitu untuk kepentingan sempit parpolnya atau kelompoknya sendiri.
Di periode kedua pemerintahannya saat ini, Jokowi sejatinya makin dihadapkan pada pertaruhan besar. Di tengah berbagai tekanan plus pandemi Covid-19 yang belum mampu sepenuhnya terkendali, Jokowi sangat membutuhkan dukungan politis sekaligus perangkat pembantu yang makin mumpuni. Tanpa itu, kepercayaan publik (public trust) akan kian mudah terdegradasi. Lebih-lebih, jika berbagai program dan kebijakan tak mampu banyak menjangkau harapan publik. Satu tahun adalah masa tepat untuk evaluasi dan melanjutkan pahatan legacy yang benar-benar bisa memberikan ketenangan sekaligus keteladanan bagi anak negeri.
(bmm)