Jumhur Hidayat, Dari Dukung SBY, Jokowi Hingga Prabowo
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jumhur Hidayat menjadi salah satu tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang ditahan Kepolisian. Dia ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran Undang-undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena dituduh telah melakukan penghasutan terkait demonstrasi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).
Lalu, seperti apa profil Jumhur Hidayat? Pria kelahiran Bandung 18 Februari 1968 ini pernah menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selama tujuh tahun, 11 Januari 2007 hingga 11 Maret 2014, Jumhur Hidayat menjabat BNP2TKI.
Pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 silam, Jumhur Hidayat menjadi pendukung Pasangan Joko Widodo (Jokowi) - Jusuf Kalla (JK). Saat itu, Jumhur Hidayat menjabat sebagai deklarator relawan Jokowi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Merdeka (ARM).
Kemudian, pada Pilpres 2019, Jumhur Hidayat mendukung Pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Salahuddin Uno. Alasannya, dia kecewa pada kinerja Jokowi yang dianggap berbeda dengan yang diharapkan. (Baca juga; KAMI Galang Petisi Bebaskan Syahganda Dkk )
Anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Mohammad Sobari Sumartadinata (almarhum) dan Ati Amiyati ini pernah mengenyam pendidikan di SD Menteng Pulo Pagi Jakarta Selatan, SD Menteng 02 Pagi Jakarta Pusat, SMPN I Jakarta Pusat, SMPN I Denpasar, SMAN I Denpasar, dan SMAN 3 Bandung.
Ayah dari Moqtav, Naeva, Ezga dan Vaniaz ini kemudian masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1986 dengan mengambil jurusan Teknik Fisika. Suami finalis Puteri Indonesia 2001 Alia Febyani Prabandari ini seringkali mengambil bagian dalam demonstrasi mahasiswa di Bandung maupun di Jakarta. (Baca juga; Anggap Syahganda dan Jumhur sebagai Gurunya, Arief Poyuono Minta Jokowi dan Megawati Lakukan Hal Ini )
Biasanya, demonstrasi Jumhur ketika masih sebagai mahasiswa mengenai proes penggusuran tanah rakyat seperti kasus tanah Badega, Kacapiring, Cimacan, dan Kedung Ombo yang isunya menonjol pada 1988 serta pembelaan hak-hak petani. Alhasil, Jumhur merasa menjadi target aparat keamanan kala itu.
Pada 5 Agustus 1989, Jumhur Hidayat ditangkap bersama rekan-rekannya seperti Mochammad Fadjroel Rachman yang kini menjabat juru bicara Presiden Jokowi, Arnold Purba, Supriyanto alias Enin, Amarsyah, dan Bambang Sugiyanto Lasijanto. Mereka ditangkap karena menggelar aksi demonstrasi mahasiswa menentang kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini pada Sabtu 5 Agustus 1989 pukul 13.00 WIB di depan kampus ITB.
Pada hari yang sama, Rektor ITB saat itu memecat Jumhur Hidayat dan lima orang rekannya sesama mahasiswa ITB. Pada 29 November 1989, Jumhur mulai diadili di Pengadilan Negeri Bandung. Kemudian, Majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung pada Kamis 8 Februari 1990 menjatuhkan vonis kepada Jumhur Hidayat, Amarsyah, dan Bambang masing-masing tiga tahun penjara dipotong masa tahanan sementara.
Selanjutnya, Jumhur Cs pada 25 Februari 1992 menghirup udara bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. Setelah beberapa lama tidak beraktivitas tetap, Jumhur diajak Adi Sasono masuk Center for Information and Development Studies (CIDES) pada awal 1993. Jumhur dipercaya sebagai direktur eksekutif sebuah lembaga pusat kajian pembangunan yang dibidani tokoh-tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) itu.
Dia di CIDES hingga tahun 1999. Selama di CIDES, Jumhur kembali kuliah di Teknik Fisika Universitas Nasional (Unas) Jakarta dan menamatkannya pada tahun 1996. Di samping itu, Jumhur pernah menjabat Sekretaris Jenderal atau Pejabat Ketua Umum Partai Daulat Rakyat (PDR) untuk Pemilihan Umum 1999 dan Sekjen Partai Sarikat Indonesia (PSI) untuk Pemilu 2004.
Jumhur juga pernah menjabat sebagai Koordinator Nasional Koalisi Kerakyatan pendukung SBY-JK menjelang Pilpres 2004, serta Koordinator Nasional Koalisi Kerakyatan II pendukung SBY-Boediono menjelang Pilpres 2009.
Lalu, seperti apa profil Jumhur Hidayat? Pria kelahiran Bandung 18 Februari 1968 ini pernah menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selama tujuh tahun, 11 Januari 2007 hingga 11 Maret 2014, Jumhur Hidayat menjabat BNP2TKI.
Pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 silam, Jumhur Hidayat menjadi pendukung Pasangan Joko Widodo (Jokowi) - Jusuf Kalla (JK). Saat itu, Jumhur Hidayat menjabat sebagai deklarator relawan Jokowi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Merdeka (ARM).
Kemudian, pada Pilpres 2019, Jumhur Hidayat mendukung Pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Salahuddin Uno. Alasannya, dia kecewa pada kinerja Jokowi yang dianggap berbeda dengan yang diharapkan. (Baca juga; KAMI Galang Petisi Bebaskan Syahganda Dkk )
Anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Mohammad Sobari Sumartadinata (almarhum) dan Ati Amiyati ini pernah mengenyam pendidikan di SD Menteng Pulo Pagi Jakarta Selatan, SD Menteng 02 Pagi Jakarta Pusat, SMPN I Jakarta Pusat, SMPN I Denpasar, SMAN I Denpasar, dan SMAN 3 Bandung.
Ayah dari Moqtav, Naeva, Ezga dan Vaniaz ini kemudian masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1986 dengan mengambil jurusan Teknik Fisika. Suami finalis Puteri Indonesia 2001 Alia Febyani Prabandari ini seringkali mengambil bagian dalam demonstrasi mahasiswa di Bandung maupun di Jakarta. (Baca juga; Anggap Syahganda dan Jumhur sebagai Gurunya, Arief Poyuono Minta Jokowi dan Megawati Lakukan Hal Ini )
Biasanya, demonstrasi Jumhur ketika masih sebagai mahasiswa mengenai proes penggusuran tanah rakyat seperti kasus tanah Badega, Kacapiring, Cimacan, dan Kedung Ombo yang isunya menonjol pada 1988 serta pembelaan hak-hak petani. Alhasil, Jumhur merasa menjadi target aparat keamanan kala itu.
Pada 5 Agustus 1989, Jumhur Hidayat ditangkap bersama rekan-rekannya seperti Mochammad Fadjroel Rachman yang kini menjabat juru bicara Presiden Jokowi, Arnold Purba, Supriyanto alias Enin, Amarsyah, dan Bambang Sugiyanto Lasijanto. Mereka ditangkap karena menggelar aksi demonstrasi mahasiswa menentang kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini pada Sabtu 5 Agustus 1989 pukul 13.00 WIB di depan kampus ITB.
Pada hari yang sama, Rektor ITB saat itu memecat Jumhur Hidayat dan lima orang rekannya sesama mahasiswa ITB. Pada 29 November 1989, Jumhur mulai diadili di Pengadilan Negeri Bandung. Kemudian, Majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung pada Kamis 8 Februari 1990 menjatuhkan vonis kepada Jumhur Hidayat, Amarsyah, dan Bambang masing-masing tiga tahun penjara dipotong masa tahanan sementara.
Selanjutnya, Jumhur Cs pada 25 Februari 1992 menghirup udara bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. Setelah beberapa lama tidak beraktivitas tetap, Jumhur diajak Adi Sasono masuk Center for Information and Development Studies (CIDES) pada awal 1993. Jumhur dipercaya sebagai direktur eksekutif sebuah lembaga pusat kajian pembangunan yang dibidani tokoh-tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) itu.
Dia di CIDES hingga tahun 1999. Selama di CIDES, Jumhur kembali kuliah di Teknik Fisika Universitas Nasional (Unas) Jakarta dan menamatkannya pada tahun 1996. Di samping itu, Jumhur pernah menjabat Sekretaris Jenderal atau Pejabat Ketua Umum Partai Daulat Rakyat (PDR) untuk Pemilihan Umum 1999 dan Sekjen Partai Sarikat Indonesia (PSI) untuk Pemilu 2004.
Jumhur juga pernah menjabat sebagai Koordinator Nasional Koalisi Kerakyatan pendukung SBY-JK menjelang Pilpres 2004, serta Koordinator Nasional Koalisi Kerakyatan II pendukung SBY-Boediono menjelang Pilpres 2009.
(wib)