Mempertontonkan Syahganda dkk Diborgol Justru Mengundang Simpati Publik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perlakuan Mabes Polri terhadap para tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang ditangkap menyita perhatian banyak pihak. Tak sedikit yang menyayangkan ketika Syahganda Nainggolan , Jumhur Hidayat , Anton Permana digiring pada acara konferensi pers pada Kamis 15 Oktober 2020 dengan tangan diborgol mengenakan baju tahanan berwarna oranye.
Alih-alih mempermalukan dan memberikan efek jera, perlakuan tersebut dinilai justru menumbuhkan simpati masyarakat. "Dengan mempertontonkan adanya borgol itu justru akan lebih mengundang simpati dari publik. Ini kasusnya apa? Kasus korupsi besar? Kan begitu," ujar Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro kepada SINDOnews, Jumat (16/10/2020).
(Baca: Polisi Perlihatkan 9 Anggota KAMI, Politikus Demokrat Ini Menangis)
Zuhro mengatakan, Syahganda dan sejumlah aktivis lain yang ditangkap bukanlah pelaku tindak pidana korupsi, kendati polisi menggunakan pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menjerat mereka."Kita kan sedang menjalankan sistem demokrasi. Bagaimana membedakan dengan suara kritis," tuturnya.
(Baca: Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin Tak Diizinkan Jenguk Syahganda Nainggolan dkk )
Dia mengingatkan kembali bahwa pada masa Orde Baru yang otoriter sekali pun muncul kelompok masyarakat yang kritis terhadap Pemerintahan Soeharto, yakni Petisi 50.
"Jadi kritis itu selalu ada, sesuai dengan sistem demokrasi yang memberikan peluang kepada warga negara untuk juga mengekspresikan aspirasi dan pikiran. Itu menjadi hak konstitusional warga, ada di konstitusi. Tidak hanya kebebasan berserikat tetapi juga kebebasan untuk mengutarakan pendapat," tuturnya.
Alih-alih mempermalukan dan memberikan efek jera, perlakuan tersebut dinilai justru menumbuhkan simpati masyarakat. "Dengan mempertontonkan adanya borgol itu justru akan lebih mengundang simpati dari publik. Ini kasusnya apa? Kasus korupsi besar? Kan begitu," ujar Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro kepada SINDOnews, Jumat (16/10/2020).
(Baca: Polisi Perlihatkan 9 Anggota KAMI, Politikus Demokrat Ini Menangis)
Zuhro mengatakan, Syahganda dan sejumlah aktivis lain yang ditangkap bukanlah pelaku tindak pidana korupsi, kendati polisi menggunakan pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menjerat mereka."Kita kan sedang menjalankan sistem demokrasi. Bagaimana membedakan dengan suara kritis," tuturnya.
(Baca: Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin Tak Diizinkan Jenguk Syahganda Nainggolan dkk )
Dia mengingatkan kembali bahwa pada masa Orde Baru yang otoriter sekali pun muncul kelompok masyarakat yang kritis terhadap Pemerintahan Soeharto, yakni Petisi 50.
"Jadi kritis itu selalu ada, sesuai dengan sistem demokrasi yang memberikan peluang kepada warga negara untuk juga mengekspresikan aspirasi dan pikiran. Itu menjadi hak konstitusional warga, ada di konstitusi. Tidak hanya kebebasan berserikat tetapi juga kebebasan untuk mengutarakan pendapat," tuturnya.
(muh)