Kebijakan Penanganan Covid-19 Pemerintah Membingungkan Masyarakat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ) mengkritik pemerintah yang tidak memberikan batasan waktu ketika menetapkan pandemi Covid-19 sebagai darurat kesehatan yang tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11/2020.
Kepala Bagian Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Mimin Dwi Hartono mengungkapkan, dari awal Komnas HAM meminta ada penguatan legalitas penanganan pandemi Covid-19. Hal itu diperlukan karena dampaknya sangat luas dan lintas sektor yakni kesehatan, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai belum cukup. Mimin Dwi menerangkan perlu konsolidasi kebijakan dan regulasi saat ini mengacu pada Undang-Undang Kekarantinaan Wilayah yang sangat teknis mengatur soal kesehatan.
(Baca: Jokowi Klaim Selalu Pakai Data Sains untuk Kebijakan Penanganan Covid-19)
Masalahnya, dalam penanganan pandemi Covid-19 ini ada isu lain, seperti ekonomi, budaya, dan politik. Komnas HAM pun dari awal meminta adanya karantina wilayah yang parsial.
“Kami melihat karantina wilayah parsial dan proporsional diperlukan. Dalam konteks pandemi tidak bisa dibatasi wilayah. Faktanya, PSBB diatur batas-batas wilayah yang menyulitkan penanggulangan paripurna,” ujarnya dalam acara “Peluncuran Laporan dan Diskusi Publik Tata Kelola Penanggulangan COVID-19 dalam Perspektif HAM”, Senin (12/10/2020).
(Baca: PSBB Transisi Jakarta Diberlakukan, Sahroni Ingatkan Protokol Kesehatan Tak Boleh Kendor)
Mimin mengungkapkan berdasarkan pemantauan Komnas HAM, kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan mengalami tren positif pada Maret-Mei 2020. Saat itu, masyarakat mengurangi aktivitasnya karena adanya penerapan PSBB.
“Namun, awal Juni mulai diterapkan kebijakan new normal atau adaptasi kebiasaan baru secara bertahap. Lalu, terjadi mobilisasi masyarakat secara masif, perkantoran, sentra ekonomi, tempat publik, naiklah jumlah masyarakat yang terkena covid. Kami nilai belum saatnya dilonggarkan,” pungkasnya.
Mimin menjelaskan perubahan-perubahan kebijakan, seperti PSBB ketat dan transisi, membuat masyarakat bingung. Mereka akhirnya keluar dan beraktivitas karena kebutuhan ekonomi.
Lihat Juga: Dharma Pongrekun Sebut Pandemi Agenda Terselubung Asing, Ini Alasan Ridwan Kamil Tanya soal Covid-19
Kepala Bagian Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Mimin Dwi Hartono mengungkapkan, dari awal Komnas HAM meminta ada penguatan legalitas penanganan pandemi Covid-19. Hal itu diperlukan karena dampaknya sangat luas dan lintas sektor yakni kesehatan, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai belum cukup. Mimin Dwi menerangkan perlu konsolidasi kebijakan dan regulasi saat ini mengacu pada Undang-Undang Kekarantinaan Wilayah yang sangat teknis mengatur soal kesehatan.
(Baca: Jokowi Klaim Selalu Pakai Data Sains untuk Kebijakan Penanganan Covid-19)
Masalahnya, dalam penanganan pandemi Covid-19 ini ada isu lain, seperti ekonomi, budaya, dan politik. Komnas HAM pun dari awal meminta adanya karantina wilayah yang parsial.
“Kami melihat karantina wilayah parsial dan proporsional diperlukan. Dalam konteks pandemi tidak bisa dibatasi wilayah. Faktanya, PSBB diatur batas-batas wilayah yang menyulitkan penanggulangan paripurna,” ujarnya dalam acara “Peluncuran Laporan dan Diskusi Publik Tata Kelola Penanggulangan COVID-19 dalam Perspektif HAM”, Senin (12/10/2020).
(Baca: PSBB Transisi Jakarta Diberlakukan, Sahroni Ingatkan Protokol Kesehatan Tak Boleh Kendor)
Mimin mengungkapkan berdasarkan pemantauan Komnas HAM, kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan mengalami tren positif pada Maret-Mei 2020. Saat itu, masyarakat mengurangi aktivitasnya karena adanya penerapan PSBB.
“Namun, awal Juni mulai diterapkan kebijakan new normal atau adaptasi kebiasaan baru secara bertahap. Lalu, terjadi mobilisasi masyarakat secara masif, perkantoran, sentra ekonomi, tempat publik, naiklah jumlah masyarakat yang terkena covid. Kami nilai belum saatnya dilonggarkan,” pungkasnya.
Mimin menjelaskan perubahan-perubahan kebijakan, seperti PSBB ketat dan transisi, membuat masyarakat bingung. Mereka akhirnya keluar dan beraktivitas karena kebutuhan ekonomi.
Lihat Juga: Dharma Pongrekun Sebut Pandemi Agenda Terselubung Asing, Ini Alasan Ridwan Kamil Tanya soal Covid-19
(muh)