Komisi I Diminta Hati-hati Membahas Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme
loading...
A
A
A
JAKARTA - SETARA Institute menilai pembahasan rancangan peraturan presiden (R-Perpres) tentang pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme dalam forum konsultasi Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) dan pemerintah belum menunjukkan kemajuan signifikan.
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi mengatakan pembahasan belum bisa memastikan integritas criminal justice system dan penanganan tindak pidana terorisme secara adil dan akuntabel. DPR dan Pemerintah masih belum mampu membuat batasan yang jelas tentang definisi terorisme, level terorisme yang membutuhkan pelibatan TNI, dan batasan keterlibatan TNI. (Baca juga: Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Melalui Mekanisme Aturan Berlaku)
“Sehingga berpotensi menjadikan TNI sebagai penegak hukum. Itu justru bertentangan dengan sistem hukum pidana Indonesia,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (8/10/2020).
Hendardi mengungkapkan ada beberapa isu krusial yang luput menjadi perhatian para politisi di Senayan. Isu-isu itu, antara lain, lemahnya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas TNI, adanya sumber anggaran daerah, dan potensi benturan dengan aparat penegak hukum akibat kerancuan substansi.
“Tugas DPR, khususnya Komisi I yang merupakan mitra TNI adalah memastikan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dijalankan secara konsisten untuk menopang profesionalisme TNI,” tuturnya.
Namun, Hendardi menyebut Komisi I DPR justru mensponsori penyimpangan UU TNI, terutama terkait ketentuan operasi militer selain perang (OMSP). Komisi I mendorong keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme dengan kerangka criminal justice system justru merupakan pengingkaran terhadap integritas sistem hukum nasional.
“TNI bukanlah penegak hukum. Karena itu pelibatannya dalam penanganan terorisme hanya terbatas pada jenis dan level terorisme yang spesifik,” tegasnya.
SETARA Institute meminta forum konsultasi antara DPR dan pemerintah dilakukan secara terbuka. Pemerintah dan DPR diminta menghimpun masukan dari publik secara serius. Hendardi memperingatkan Komisi I untuk hati-hati dalam membahas R-Perpres ini. (Baca juga: Mantan Kabais Minta Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Ditunda)
“Karena berpotensi merusak sistem hukum Indonesia. Jika diperlukan DPR RI dapat mengembalikan R-Perpres tersebut kepada pemerintah untuk dapat diperbaiki kembali sebelum dibahas lebih lanjut,” pungkasnya.
Lihat Juga: Letjen TNI yang Belum Genap Sebulan Duduki Jabatan Baru, Nomor 5 dan 6 Peraih Adhi Makayasa
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi mengatakan pembahasan belum bisa memastikan integritas criminal justice system dan penanganan tindak pidana terorisme secara adil dan akuntabel. DPR dan Pemerintah masih belum mampu membuat batasan yang jelas tentang definisi terorisme, level terorisme yang membutuhkan pelibatan TNI, dan batasan keterlibatan TNI. (Baca juga: Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Melalui Mekanisme Aturan Berlaku)
“Sehingga berpotensi menjadikan TNI sebagai penegak hukum. Itu justru bertentangan dengan sistem hukum pidana Indonesia,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (8/10/2020).
Hendardi mengungkapkan ada beberapa isu krusial yang luput menjadi perhatian para politisi di Senayan. Isu-isu itu, antara lain, lemahnya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas TNI, adanya sumber anggaran daerah, dan potensi benturan dengan aparat penegak hukum akibat kerancuan substansi.
“Tugas DPR, khususnya Komisi I yang merupakan mitra TNI adalah memastikan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dijalankan secara konsisten untuk menopang profesionalisme TNI,” tuturnya.
Namun, Hendardi menyebut Komisi I DPR justru mensponsori penyimpangan UU TNI, terutama terkait ketentuan operasi militer selain perang (OMSP). Komisi I mendorong keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme dengan kerangka criminal justice system justru merupakan pengingkaran terhadap integritas sistem hukum nasional.
“TNI bukanlah penegak hukum. Karena itu pelibatannya dalam penanganan terorisme hanya terbatas pada jenis dan level terorisme yang spesifik,” tegasnya.
SETARA Institute meminta forum konsultasi antara DPR dan pemerintah dilakukan secara terbuka. Pemerintah dan DPR diminta menghimpun masukan dari publik secara serius. Hendardi memperingatkan Komisi I untuk hati-hati dalam membahas R-Perpres ini. (Baca juga: Mantan Kabais Minta Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Ditunda)
“Karena berpotensi merusak sistem hukum Indonesia. Jika diperlukan DPR RI dapat mengembalikan R-Perpres tersebut kepada pemerintah untuk dapat diperbaiki kembali sebelum dibahas lebih lanjut,” pungkasnya.
Lihat Juga: Letjen TNI yang Belum Genap Sebulan Duduki Jabatan Baru, Nomor 5 dan 6 Peraih Adhi Makayasa
(kri)