Kekerasan Orang Tua kepada Anak pada Masa Pandemi

Kamis, 08 Oktober 2020 - 06:16 WIB
loading...
Kekerasan Orang Tua kepada Anak pada Masa Pandemi
Yulina Eva Riani
A A A
Yulina Eva Riany
Dosen pada Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB

MEREBAKNYA kasus Covid-19 di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, memberikan tantangan khusus bagi dunia saat ini. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah kasus Covid-19 di seluruh dunia mencapai lebih dari 30 juta, dengan angka kematian mencapai 1 juta jiwa. Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan menunjukkan kasus Covid-19 sudah lebih dari 250.000 kasus, dengan angka kematian lebih dari 10.000 jiwa.

Dalam menghadapi pandemi Covid-19, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sejak Maret 2020 telah memberlakukan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah bagi seluruh siswa. Kemdikbud memberlakukan pembelajaran dengan menggunakan media daring. Sebagai kompensasi PJJ, Kemdikbud bahkan memberikan bantuan kuota data internet kepada para siswa, mahasiswa, ataupun para pengajarnya. Selain itu, pendidikan di rumah juga telah dirancang sedemikian rupa untuk lebih mengutamakan aspek keamanan dan kesehatan anak dengan pembiasaan untuk mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker ketika keluar rumah.

Tekanan pada Keluarga
Dengan pemberlakuan PJJ, tentunya seluruh anggota keluarga baik orang tua maupun anak mengalami hari-hari yang panjang di rumah. Perubahan drastis yang terjadi pada rutinitas sehari-hari ini tidak jarang menyebabkan keluarga mengalami konflik antaranggota keluarga akibat timbulnya rasa bosan, jenuh, dan penat.

Selain itu, perubahan drastis yang terjadi pada keuangan keluarga, interaksi sosial, dan kontrol sosial masyarakat akibat adanya pandemi juga dipercaya sebagai faktor eksternal yang dapat menjadi pemicu terjadinya konflik antaranggota keluarga. Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tindak kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah. Hal ini terjadi karena tekanan sosial-ekonomi (terlilit utang, rendahnya kemampuan ekonomi, dll) dan menjadi penyebab tingginya tingkat stres pada orang tua. Perubahan pada kondisi finansial keluarga akibat adanya Covid-19 (kesulitan mengakses kebutuhan pokok), diyakini akan semakin memperburuk tekanan psikologi pada keluarga yang dapat berdampak fatal bagi kondisi keluarga.

Stres orang tua inilah yang menjadi cikal bakal munculnya amarah, rendahnya tingkat kesabaran, dan tingginya tensi orang tua terhadap berbagai masalah yang muncul. Bahkan tidak jarang ada orang tua yang tidak kuasa untuk mengatasi tekanan emosionalnya ketika muncul masalah kecil di dalam keluarganya. Namun parahnya, anaklah yang sering menjadi korban ledakan emosi sang orang tua. Itu terjadi karena selain anak adalah pihak terdekat, risiko untuk mendapatkan perlawanan balik pun sangat kecil. Jadi, ekspresi amarah yang berlebihan sebagai solusi pelarian masalah sering ditumpahkan orang tua kepada anak. Ditambah lagi, rendahnya pengetahuan akan strategi pengasuhan tanpa kekerasan fisik dan kebiasaan memberlakukan hukuman fisik dalam interaksi sosial sehari-hari antara anak dan orang tua juga dinilai sebagai faktor eksternal yang bertanggung jawab atas munculnya tindak kekerasan yang lebih serius terhadap anak.

Sebagai contoh, kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang Ibu (LH) terhadap anak perempuan kandungnya yang masih duduk di bangku kelas 1 SD di Tangerang (26/8/2020). LH tega menganiaya anak kandungnya sendiri yang masih berusia enam tahun akibat perasaan jengkel karena sang anak tidak mampu menguasai pembelajaran daring. Ini terjadi karena minimnya kemampuan dalam melakukan pendampingan anak belajar di rumah. LH tidak segan untuk memberikan hukuman fisik yang berakibat fatal kepada anaknya.

Putri LH tentunya tidak sendiri, kasus yang dialaminya diyakini sebagai fenomena gunung es, yaitu kasus yang terungkap lebih sedikit dari fakta sebenarnya di masyarakat. Data menunjukkan bahwa kekerasan anak di beberapa daerah di Indonesia meningkat tajam selama pandemi. Sebagai contoh, data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak di daerah ini meningkat 12% selama pandemi. Selain itu, data yang dihimpun dari sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) dari 1 Januari 2020 sampai 23 September 2020 menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak (KtA) di Indonesia sebanyak 5.697 kejadian dengan 6.315 korban. Informasi yang beredar bahkan menyebutkan mayoritas anak-anak mengalami kekerasan akibat kejengkelan orang tua mereka dalam mendampingi belajar daring di rumah.

Keterbatasan ekonomi yang dialami saat pandemi menuntut mereka meluangkan biaya khusus demi pembelajaran daring anak-anak mereka sehingga tidak mengherankan ketika orang tua sangat emosi ketika mereka menilai bahwa anak-anak mereka tidak mampu menguasai proses PJJ di rumah.

Kesehatan Mental Anak
Selain meningkatkan angka kekerasan pada anak, pemberlakuan PJJ pada masa pandemi Covid- 19 juga menimbulkan kekhawatiran bagi kesehatan mental anak. Penelitian yang dilakukan di Hubei China dan melibatkan 2.330 anak sekolah menemukan bahwa anak-anak yang mengalami karantina proses belajar akibat Covid-19 menunjukkan beberapa tanda-tanda tekanan emosional. Bahkan penelitian lanjutan dari observasi tersebut menunjukkan bahwa 22,6% dari anak-anak yang diobservasi mengalami gejala depresi dan 18,9% mengalami kecemasan. Hasil survei yang dilakukan oleh pemerintah Jepang juga menunjukkan hasil yang serupa, yaitu 72% anak-anak Jepang merasakan stres akibat Covid-19.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1604 seconds (0.1#10.140)