Sahkan RUU Cipta Kerja, Puan dkk Lupa Tempatkan Diri Jadi Wakil Rakyat

Selasa, 06 Oktober 2020 - 08:58 WIB
loading...
Sahkan RUU Cipta Kerja, Puan dkk Lupa Tempatkan Diri Jadi Wakil Rakyat
Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto menyerahkan pandangan akhir pemerintah Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja kepada Ketua DPR Ketua DPR Puan Maharani dalam Sidang Paripurna DPR RI Tahun Sidang 2020-2021, Jakarta. Foto/SINDOnews/Yulianto
A A A
JAKARTA - Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai bahwa Rapat Paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU) ini dipercepat dari jadwal yang semula diberitahukan pada Kamis mendatang. Pemajuan jadwal ini konon dikarenakan pertimbangan meningkatnya kasus COVID-19 .

"Lha kalau itu alasannya kenapa enggak justru ditunda saja pengesahannya? Sudah tahu kasus meningkat, koq DPR dan pemerintah malah rapat atau berkumpul untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja," ujar Lucius saat dihubungi SINDOnews, Selasa (6/10/2020). (Baca juga: RUU Cipta Kerja Disahkan, Sekjen MUI: Anggota DPR seperti Bukan Wakil Rakyat)

Menurut Lucius, keputusan menunda itu lebih tepat jika alasannya karena pengingkatan jumlah kasus COVID-19, ditambah alasan mendasar karena masih banyak kelompok masyarakat yang keberatan dengan sebagian isi RUU tersebut. Menurut dia, karena malah dipercepat maka sebenarnya alasan karena meningkatnya kasus Corona itu hanya tameng saja.

Sesungguhnya jadwal Paripurna yang dimajukan ini lebih untuk mengecoh kelompok yang keberatan dengan RUU Cipta Kerja. Apalagi kelompok yang keberatan ini ada yang mengancam mau berdemonstrasi.

"Jadi jadwal Paripurna yang dipercepat sesungguhnya untuk mengecoh kelompok yang mau berdemonstrasi menolak atau mengkritisi RUU Cipta Kerja ini," jelas dia.

Dia menuturkan DPR dan pemerintah terlihat konsisten untuk menghindari sedapat mungkin partisipasi publik dalam proses pembahasan. Mereka banyak menggunakan strategi mengecoh itu sepanjang pembahasan. Di awal juga kelompok buruh seolah-olah diperhatikan usulannya oleh pemerintah dengan memutuskan pembahasan klaster ketenagakerjaan dilakukan diakhir.

Kelompok buruh bisa menerima itu karena menganggap isu ketenagakerjaan yang menjadi perhatian mereka diberikan tempat khusus di penghujung proses sehingga ada ruang partisipasi yang leluasa untuk memberikan masukan. Apalagi setelah kelompok buruh juga dimasukkan dalam tim yang ikut membahas di pemerintah dan DPR.

"Tambah gembira tentunya kelompok buruh ini sampai pada titik mereka tersadar bahwa keikutsertaan mereka hanya dijadikan alat legitimasi saja oleh pemerintah dan DPR tanpa terlihat upaya untuk mengakomodasi masukan yang disampaikan," papar Lucius.

"Maka kelompok buruh keluar dari proses pembahasan dan berbagai ketentuan yang mereka kritisi sejak awal terus bertahan sampai akhir," imbuhnya.

Jadi menurut Lucius, urusan mengecoh itu bukan hanya terjadi di Rapat Paripurna pengesahan yang dimajukan mendadak ini. Sudah dari awal, dia melihat strategi mengecoh itu berhasil dijalankan sehingga pengesahan RUU Cipta Kerja berjalan tanpa hambatan apapun.

"Sementara di ruang publik kritikan atas RUU ini justru makin kuat," ucap dia.

Lebih lanjut dia mengatakan, betul kata Ketua DPR, Puan Maharani bahwa kelompok yang tidak puas dipersilakan mengajukan judicial review ke MK. Hanya saja sangat disayangkan jika Ketua DPR mengatakan itu karena idealnya DPR adalah wakil rakyat.

"Jadi mestinya diproses di DPR lah kepuasan rakyat itu bisa dijawab dengan membuka ruang bagi rakyat dalam proses pembahasan," tandasnya.

Bagi Lucius, jawaban Puan yang menyerahkan langkah hukum bagi kelompok yang tidak puas memang terlihat tepat tetapi sekaligus bermasalah karena ia seperti menyangkal makna perwakilan DPR yang mestinya memastikan kepuasan bagi rakyat karena tugas DPR adalah memperjuangkan aspirasi rakyat.

"Kalau urusan ke MK itu sih, enggak perlu orang berpangkat Ketua DPR kali yang ngomong. Semua orang juga tahu jika beleid tak berkualitas bikinan DPR bisa diujimaterikan ke MK," beber dia.

Lucius berpandangan memang sebuah keputusan itu tak pernah bisa memuaskan semua orang tetapi menjadi tugas DPR untuk memastikan orang yang tidak puas juga bisa menerima dengan baik keputusan akhir yang dibuat. (Baca juga: UU Cipta Kerja Disahkan, BEM UI: Kabar Duka dari Senayan, Matinya Nurani)

"Yang sekarang terjadi orang yang tidak puas itu kebanyakan karena mereka tak diajak terlibat atau karena masukan yang sudah disampaikan malah diabaikan oleh DPR dan pemerintah. Tentu tidak puas karena ternyata sebutan wakil rakyat itu juga hanya "prank" saja," pungkas dia.

(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1785 seconds (0.1#10.140)