Larangan Demo dan Berkumpul untuk Cegah Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di tengah pandemi Covid-19, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis mengeluarkan berbagai jurus untuk membantu perintah dalam menekan penyebaran virus corona.
Kapolri meminta masyarakat tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri. Contohnya seminar, lokakarya, konser musik, festival, bazzar, pasar malam, pameran, unjuk rasa, kegiatan olahraga, kesenian, jasa hiburan, pawai, karnaval hingga resepsi keluarga. (Baca: Hidayah Adalah Mengetahui Kebenaran)
Teranyar orang nomor satu di Korps Bhayangkara itu mengeluarkan surat telegram rahasia (TR) soal antisipasi adanya demonstrasi dan mogok kerja yang rencananya akan dilakukan kaum buruh pada 6-8 Oktober 2020 terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law atau Cipta Lapangan Kerja.
Telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 per tanggal 2 Oktober 2020 itu ditandatangani Asops Irjen Pol Imam Sugianto atas nama Kapolri Jenderal Idham Azis. Sebagaimana termaktub dalam surat itu, unjuk rasa di tengah pandemi akan berdampak pada faktor kesehatan, perekonomian, moral dan hukum di tatanan masyarakat.
Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengungkapkan di tengah pandemi Covid-19 saat ini, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto. "Sebagaimana pernah disampaikan Pak Kapolri di tengah pandemi ini keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto," kata Argo, kemarin.
Menurut Argo, surat telegram tersebut dikeluarkan demi menjaga kondusivitas situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di saat pandemi. Apalagi, saat ini pemerintah sedang berupaya keras memutus mata rantai penyebaran virus corona. (Baca juga: Masa Pendaftaran Beasiswa Unggulan Ditutup Hari Ini)
Argo menambahkan, dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum, penyampaian aspirasi atau demonstrasi memang tidak dilarang.
Namun, kata dia di tengah situasi pandemi seperti ini kegiatan yang menimbulkan keramaian massa sangat rawan terjadinya penyebaran virus lantaran mengabaikan penerapan standar protokol kesehatan.
“Itu alasannya kenapa Polri tidak memberikan izin aksi demontrasi atau kegiatan lainnya yang menyebabkan terjadinya kerumunan orang. Ini juga sejalan dengan Maklumat Kapolri yang dikeluarkan sebelumnya. Kami minta masyarakat untuk mematuhinya," tegas Argo.
Selain antisipasi adanya demonstrasi, surat telegram tersebut juga meminta kepada seluruh jajaran Polri untuk melakukan patroli cyber di media sosial (medsos) terkait potensi merebaknya penyebaran informasi palsu atau hoaks terkait dengan isu Ombibus Law.
"Soal melakukan cyber patroli ini pada medsos dan manajemen media bertujuan untuk mencegah berita berita Hoaks," ucap Argo.
Masih dalam surat telegram tersebut, Kapolri meminta agar jajarannya melaksanakan kegiatan fungsi intelijen dan pendeteksian dini guna mencegah terjadinya aksi unjuk rasa dan mogok kerja yang berpotensi terjadinya konflik sosial serta aksi anarkis di wilayah masing-masing (lihat grafis). (Baca juga: Fadli Zon Ajak Presiden Jokowi Merenung)
Kapolri sebelumnya juga menerbitkan maklumat tentang kepatuhan protokol kesehatan dalam tahapan Pilkada 2020. Terdapat empat poin yang ditekankan dalam maklumat tersebut, salah satunya menekan klaster Corona di Pilkada.
Argo menuturkan, maklumat Kapolri ini merupakan tindak lanjut arahan Presiden Jokowi yang mewaspadai timbulnya potensi tiga klaster salah satunya Pilkada. Sebab, dikatakan Argo pada saat tahapan Pilkada banyak pasangan calon yang tidak mematuhi protokol kesehatan.
"Sesuai dengan arahan Bapak Presiden tanggal 7 September 2020 bahwa agar mewaspadai tiga klaster korona, yaitu kantor, keluarga dan tahapan Pilkada," lanjutnya," ujar Argo.
Salah satu isi maklumat tersebut adalah penyelenggara pemilihan, peserta pemilihan, pemilih dan seluruh pihak yang terkait pada setiap tahapan pemilihan wajib menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dengan memakal masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.
Apabila ditemukan perbuatan yang bertentangan dengan maklumat ini, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan kepolisian yang diperlukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebelumnya menegaskan tidak ada pelanggaran HAM dengan tindakan pemerintah melarang masyarakat berkumpul akibat adanya penyebaran virus corona. Termasuk larangan untuk beribadah atau kegiatan lainnya. (Baca juga: Penemu Virus Hepatitis C Raih Nobel Kesehatan)
"Pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bisa mengambil sikap tegas dengan memberikan sanksi. Itu berlaku kepada warga masyarakat siapa pun yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang sudah dikeluarkan pemerintah, baik pusat mau pun pemerintah daerah. Termasuk seruan tidak berkumpul dalam jumlah yang banyak meskipun hal itu terkait dengan kegiatan ibadah keagamaan," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.
Menurut dia, standar HAM internasional maupun nasional memberikan wewenang kepada pemerintah untuk membatasi, mengurangi atau menunda hak asasi terkait kemerdekaan untuk berkumpul dan beribadah dalam jumlah yang besar. Hal itu demi kepentingan keselamatan dan kesehatan masyarakat yang lebih luas.
Kesehatan publik dan keselamatan publik menjadi acuan yang lebih utama di dalam pembatasan, pengurangan, dan penundaan hak asasi tertentu, termasuk hak untuk beribadah yang menyertakan jumlah besar umat. "Kebijakan yang tegas untuk membatasi, mengurangi dan menunda kebebasan demi keselamatan dan kesehatan publik yang lebih luas, tidak merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM)," tegas Damanik.
Dia menegaskan Komnas HAM mengusulkan bilamana diperlukan pemerintah dapat mengeluarkan Perppu. Isinya memberikan suatu ketegasan hukum yang lebih jelas sehingga masyarakat benar-benar mematuhi aturan-aturan yang sudah dikeluarkan. (Lihat videonya: 5 Negara dengan Angkatan Udara Paling Digdaya di Dunia)
"Kami mengimbau kepada seluruh rakyat untuk mematuhi dan memenuhi seruan-seruan yang telah diberikan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Ini berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, tidak saja hak atas kesehatan tetapi juga hak atas hidup bagi warga Indonesia," ujar Damanik.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta aparat keamanan menindak warga yang masih keluyuran atau kumpul-kumpul di tengah penyebaran virus corona. Alasannya, cara itu menghidari penyebaran virus corona lebih masif lagi. "Tindakan pemerintah adalah untuk menyelamatkan rakyat dan itu sama dengan menegakkan hukum," kata Mahfud. (M Yamin/SINDOnews)
Kapolri meminta masyarakat tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri. Contohnya seminar, lokakarya, konser musik, festival, bazzar, pasar malam, pameran, unjuk rasa, kegiatan olahraga, kesenian, jasa hiburan, pawai, karnaval hingga resepsi keluarga. (Baca: Hidayah Adalah Mengetahui Kebenaran)
Teranyar orang nomor satu di Korps Bhayangkara itu mengeluarkan surat telegram rahasia (TR) soal antisipasi adanya demonstrasi dan mogok kerja yang rencananya akan dilakukan kaum buruh pada 6-8 Oktober 2020 terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law atau Cipta Lapangan Kerja.
Telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 per tanggal 2 Oktober 2020 itu ditandatangani Asops Irjen Pol Imam Sugianto atas nama Kapolri Jenderal Idham Azis. Sebagaimana termaktub dalam surat itu, unjuk rasa di tengah pandemi akan berdampak pada faktor kesehatan, perekonomian, moral dan hukum di tatanan masyarakat.
Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengungkapkan di tengah pandemi Covid-19 saat ini, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto. "Sebagaimana pernah disampaikan Pak Kapolri di tengah pandemi ini keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto," kata Argo, kemarin.
Menurut Argo, surat telegram tersebut dikeluarkan demi menjaga kondusivitas situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di saat pandemi. Apalagi, saat ini pemerintah sedang berupaya keras memutus mata rantai penyebaran virus corona. (Baca juga: Masa Pendaftaran Beasiswa Unggulan Ditutup Hari Ini)
Argo menambahkan, dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum, penyampaian aspirasi atau demonstrasi memang tidak dilarang.
Namun, kata dia di tengah situasi pandemi seperti ini kegiatan yang menimbulkan keramaian massa sangat rawan terjadinya penyebaran virus lantaran mengabaikan penerapan standar protokol kesehatan.
“Itu alasannya kenapa Polri tidak memberikan izin aksi demontrasi atau kegiatan lainnya yang menyebabkan terjadinya kerumunan orang. Ini juga sejalan dengan Maklumat Kapolri yang dikeluarkan sebelumnya. Kami minta masyarakat untuk mematuhinya," tegas Argo.
Selain antisipasi adanya demonstrasi, surat telegram tersebut juga meminta kepada seluruh jajaran Polri untuk melakukan patroli cyber di media sosial (medsos) terkait potensi merebaknya penyebaran informasi palsu atau hoaks terkait dengan isu Ombibus Law.
"Soal melakukan cyber patroli ini pada medsos dan manajemen media bertujuan untuk mencegah berita berita Hoaks," ucap Argo.
Masih dalam surat telegram tersebut, Kapolri meminta agar jajarannya melaksanakan kegiatan fungsi intelijen dan pendeteksian dini guna mencegah terjadinya aksi unjuk rasa dan mogok kerja yang berpotensi terjadinya konflik sosial serta aksi anarkis di wilayah masing-masing (lihat grafis). (Baca juga: Fadli Zon Ajak Presiden Jokowi Merenung)
Kapolri sebelumnya juga menerbitkan maklumat tentang kepatuhan protokol kesehatan dalam tahapan Pilkada 2020. Terdapat empat poin yang ditekankan dalam maklumat tersebut, salah satunya menekan klaster Corona di Pilkada.
Argo menuturkan, maklumat Kapolri ini merupakan tindak lanjut arahan Presiden Jokowi yang mewaspadai timbulnya potensi tiga klaster salah satunya Pilkada. Sebab, dikatakan Argo pada saat tahapan Pilkada banyak pasangan calon yang tidak mematuhi protokol kesehatan.
"Sesuai dengan arahan Bapak Presiden tanggal 7 September 2020 bahwa agar mewaspadai tiga klaster korona, yaitu kantor, keluarga dan tahapan Pilkada," lanjutnya," ujar Argo.
Salah satu isi maklumat tersebut adalah penyelenggara pemilihan, peserta pemilihan, pemilih dan seluruh pihak yang terkait pada setiap tahapan pemilihan wajib menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dengan memakal masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.
Apabila ditemukan perbuatan yang bertentangan dengan maklumat ini, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan kepolisian yang diperlukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebelumnya menegaskan tidak ada pelanggaran HAM dengan tindakan pemerintah melarang masyarakat berkumpul akibat adanya penyebaran virus corona. Termasuk larangan untuk beribadah atau kegiatan lainnya. (Baca juga: Penemu Virus Hepatitis C Raih Nobel Kesehatan)
"Pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bisa mengambil sikap tegas dengan memberikan sanksi. Itu berlaku kepada warga masyarakat siapa pun yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang sudah dikeluarkan pemerintah, baik pusat mau pun pemerintah daerah. Termasuk seruan tidak berkumpul dalam jumlah yang banyak meskipun hal itu terkait dengan kegiatan ibadah keagamaan," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.
Menurut dia, standar HAM internasional maupun nasional memberikan wewenang kepada pemerintah untuk membatasi, mengurangi atau menunda hak asasi terkait kemerdekaan untuk berkumpul dan beribadah dalam jumlah yang besar. Hal itu demi kepentingan keselamatan dan kesehatan masyarakat yang lebih luas.
Kesehatan publik dan keselamatan publik menjadi acuan yang lebih utama di dalam pembatasan, pengurangan, dan penundaan hak asasi tertentu, termasuk hak untuk beribadah yang menyertakan jumlah besar umat. "Kebijakan yang tegas untuk membatasi, mengurangi dan menunda kebebasan demi keselamatan dan kesehatan publik yang lebih luas, tidak merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM)," tegas Damanik.
Dia menegaskan Komnas HAM mengusulkan bilamana diperlukan pemerintah dapat mengeluarkan Perppu. Isinya memberikan suatu ketegasan hukum yang lebih jelas sehingga masyarakat benar-benar mematuhi aturan-aturan yang sudah dikeluarkan. (Lihat videonya: 5 Negara dengan Angkatan Udara Paling Digdaya di Dunia)
"Kami mengimbau kepada seluruh rakyat untuk mematuhi dan memenuhi seruan-seruan yang telah diberikan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Ini berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, tidak saja hak atas kesehatan tetapi juga hak atas hidup bagi warga Indonesia," ujar Damanik.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta aparat keamanan menindak warga yang masih keluyuran atau kumpul-kumpul di tengah penyebaran virus corona. Alasannya, cara itu menghidari penyebaran virus corona lebih masif lagi. "Tindakan pemerintah adalah untuk menyelamatkan rakyat dan itu sama dengan menegakkan hukum," kata Mahfud. (M Yamin/SINDOnews)
(ysw)