Warga Senior dalam Pusaran Pandemi

Kamis, 01 Oktober 2020 - 07:04 WIB
loading...
Warga Senior dalam Pusaran...
A.B Susanto
A A A
A.B Susanto
Ketua National Institute of Ageing dan Guru Besar UPN Veteran Jakarta

SUASANA peringatan International Day of Older Persons, yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober dan pada tahun ini tepat yang ketigapuluh, bernuansa muram. Antonio Guterres, Sekjen PBB mengungkapkan kekhawatirannya terhadap lansia. Pandemi Covid-19 menebarkan ketakutan dan penderitaan lansia (older persons) di seluruh dunia. Selain dampak kesehatan yang nyata sebagai kelompok rentan, juga membawa kepada risiko kemiskinan, diskriminasi dan isolasi.

Kisah mengenai awal mula Covid-19 di Korea Selatan. Tatkala seorang perempuan lansia berusia 60 tahun melanggar larangan untuk berkerumun dan mendatangi acara ibadah, kemudian menjadi sumber penyebaran di sana. Kisah ini bergulir ke seluruh dunia, menghasilkan stereotipi, prasangka dan stigma terhadap lansia. Kekhawatiran Guterres pun mewujud, diksriminasi terhadap lansia di kala pandemi. Jika isolasi (mandiri) memang mempunyai pijakan rasional sebagai bagian dari protokol Kesehatan, dilakukan berdasarkan kesadaran diri, tidaklah demikian dengan diskriminasi. Sikap berlebihan yang bernuansa negatif dan irasional melandasi lahirnya diskriminasi.

Warga Senior Sebelum Pandemi
Terminologi lansia, walaupun secara leksikal merupakan terjemahan yang tepat terhadap older persons, tetapi sebenarnya secara kontekstual dengan budaya kita kurang tepat. Orang tua (olders persons, elderly people) dalam Bahasa Indonesia mempunyai istilah yang sama untuk ayah-ibu (parent). Terdapat penghormatan yang tinggi terhadap mereka, Dari jumalah rumah tangga yang dihuni lansia sebesar 27,68%, terdapat 61,75% yang menjadi kepala rumah tangga. Sehingga sebenarnya istilah senior lebih tepat, karena secara sosial mereka sanagat berpengaruh.

Meskipun demikian UU Nomor 13/1998 menggunakan istilah ini dan mendefinisikan sebagai seseorang yang telah berusia 60 tahun ke atas. Meningkatnya harapan hidup dan menurunnya tingkat kematian berkonstribusi terhadap peningkatan persentase lansia menjadi 2 kali lipat dalam periode 1971–2019, 9,6% dari penduduk atau sekitar 25 jutaan (BPS, 2019). Tercatat lima propinsi yang memiliki penduduk lansia di atas 10% yaitu, DI Yogyakarta (14,5%), Jawa Tengah (13,36%), Jawa Timur (12,6%), Bali (11,30%), dan Sulawesi Barat (11,15%).

Menurut BPS, pada tahun 2019 hampir separuh warga senior masih bekerja (49,39%). Mereka bekerja untuk aktualisasi diri, maupun karena desakan ekonomi. Warga senior di perdesaan lebih banyak yang bekerja (56,51%) dibandingkan dengan perkotaan. Bidang usaha yang paling banyak menyerap warga senior terutama di sektor pertanian (52,86%). Sebagian besar berstatus sebagai pekerja informal (84,29%).

Dalam tatanan masyarakat tradisional seperti di perdesaan di Jawa, kita melihat banyak warga senior yang berusia lanjut tetap berkarya sesuai dengan pekerjaan yang ditekuni. Mereka memiliki konsep berkarya sepanjang hayat, meskipun dengan intensitas yang menurun sesuai dengan kemampuan yang mulai dibatasi oleh usia. Dalam masyarakat pedesaan agraris, jika tidak mampu lagi mencangkul lagi di sawah, mereka mengerjakan pekerjaan yang lebih ringan seperti mencari ramban (dahan untuk makanan kambing/sapi)

Dampak Pandemi
Warga senior adalah kelompok paling rentan akibat pandemi Covid-19. Menurut data dari PBB, sekitar 68% orang-orang berusia di atas 70 tahun paling tidak memiliki satu penyikit penyerta. Hal ini membuat mereka semakin berisiko bila terpapar Covid-19. Akses terhadap fasilitas kesehatan juga terhambat. Selain menghindari fasilitas kesehatan karena termasuk golongan rentan, daya tampung fasilitas kesehatan juga terserap untuk menangani pandemi. Padahal warga senior yang banyak mengalami kemunduran kesehatan sangat membutuhkan fasilitas kesehatan.

Warga senior yang harus tinggal di rumah sebagai dampak PSBB atau karantina wilayah menghadapi risiko pengabaian, bahkan yang tinggal bersama anggota keluarga. Bahkan, tak jarang warga senior itu sendiri bertindak sebagai pemberi layanan sehingga mereka rentan terpapar Covid-19. Warga senior yang terhitung rentan terhadap penularan terpaksa mengisolasi diri. Mobilitas mereka menjadi sangat terbatas. Kontak sosial yang menjadi kebutuhan psikologis warga senior, menjadi baranag mewah. Anjuran tidak mudik, menjadikan mereka harus memendam rindu terhadap kunjungan dari anak-anak mereka dan keluarga besar lainnya. Secara psikologis menjadi beban bagi warga senior, ada perasaan terisolasi dan teralienasi.

Akses terhadap fasilitas kesehatan juga terhambat. Selain menghindari fasilitas kesehatan karena termasuk golongan rentan, daya tampung fasilitas kesehatan juga terserap untuk menangani pandemi. Padahal warga senior yang banyak mengalami kemunduran kesehatan sangat membutuhkan fasilitas kesehatan. Covid-19 tak hanya mengancam nyawa warga senior, tetapi juga mengancam jejaring sosial, akses terhadap layanan kesehatan, pekerjaan, dan biaya pensiun mereka. Isolasi dalam waktu yang lama berdampak buruk terhadap kesehatan mental warga senior. Apalah lagi, tidak seperti generasi muda, masih banyak warga senior yang kurang terpapar, bahkan tak mengerti sama sekali, teknologi digital. Pendapatan mereka akan berkurang (masih banyak warga senior yang harus bekerja demi menyambung hidup). Penghasilan mereka hanya cukup untuk satu atau beberapa hari. Mereka sebagaian besar bekerja di sector informal, sehingfga tidak memiliki tabungan pensiun.

Risiko turunnya pendapatan, bahkan kehilangan pekerjaan membayangi warga senior, mengingat 84,29% bekerja di sektor informal. Warga senior yang tidak bekerja pun juga menghadapi risiko, karena penopang mereka juga terancam. Akses terhadap fasilitas kesehatan juga terhambat. Selain menghindari fasilitas kesehatan karena termasuk golongan rentan, daya tampung fasilitas kesehatan juga terserap untuk menangani pandemi.

Dengan demikian perlu disusun program untuk warga senior mengenai untuk mencegah agar mereka tidak merasa terisolasi, akses kepada fasiltas kesehatan serta bantuan finansial seprti yang diamanatkan dalam UU Nomor 13/1998. Menjamin layanan kesehatan yang berdampak pada warga senior didasarkan pada pertimbangan hak untuk mendapat layanan kesehatan. Risiko-risiko yang dihadapi warga senior terkait pemberian layanan kesehatan harus diantisipasi.

Perlu didukung penguatan inklusi sosial dan solidaaritas selama masa pembatasan fisik. Pembatasan pergerakan dan fisik dapat mengakibatkan gangguan layanan dan dukungan esensial bagi warga senior. Pembatasan fisik harus dibarengi dengan kebijakan-kebijakan dukungan sosial dan layanan-layanan yang tepat sasaran bagi warga senior, termasuk meningkatkan akses teknologi bagi warga senior.

Tidak boleh terlewatkan, mengintegrasikan secara penuh isu-isu ekonomi dan sosial yang dihadapi warga senior dengan penanganan Covid-19. Dampak buruk Covid-19 terhadap warga senior harus ditangani baik selama pandemi maupun pascapandemi. Pun, masalah-masalah struktural yang mengakibatkan warga senior menjadi terpinggirkan dan rentan terhadap pandemi jika ingin pulih secara lebih baik.
(ras)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0582 seconds (0.1#10.140)