Warga Senior dalam Pusaran Pandemi
loading...
A
A
A
A.B Susanto
Ketua National Institute of Ageing dan Guru Besar UPN Veteran Jakarta
SUASANA peringatan International Day of Older Persons, yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober dan pada tahun ini tepat yang ketigapuluh, bernuansa muram. Antonio Guterres, Sekjen PBB mengungkapkan kekhawatirannya terhadap lansia. Pandemi Covid-19 menebarkan ketakutan dan penderitaan lansia (older persons) di seluruh dunia. Selain dampak kesehatan yang nyata sebagai kelompok rentan, juga membawa kepada risiko kemiskinan, diskriminasi dan isolasi.
Kisah mengenai awal mula Covid-19 di Korea Selatan. Tatkala seorang perempuan lansia berusia 60 tahun melanggar larangan untuk berkerumun dan mendatangi acara ibadah, kemudian menjadi sumber penyebaran di sana. Kisah ini bergulir ke seluruh dunia, menghasilkan stereotipi, prasangka dan stigma terhadap lansia. Kekhawatiran Guterres pun mewujud, diksriminasi terhadap lansia di kala pandemi. Jika isolasi (mandiri) memang mempunyai pijakan rasional sebagai bagian dari protokol Kesehatan, dilakukan berdasarkan kesadaran diri, tidaklah demikian dengan diskriminasi. Sikap berlebihan yang bernuansa negatif dan irasional melandasi lahirnya diskriminasi.
Warga Senior Sebelum Pandemi
Terminologi lansia, walaupun secara leksikal merupakan terjemahan yang tepat terhadap older persons, tetapi sebenarnya secara kontekstual dengan budaya kita kurang tepat. Orang tua (olders persons, elderly people) dalam Bahasa Indonesia mempunyai istilah yang sama untuk ayah-ibu (parent). Terdapat penghormatan yang tinggi terhadap mereka, Dari jumalah rumah tangga yang dihuni lansia sebesar 27,68%, terdapat 61,75% yang menjadi kepala rumah tangga. Sehingga sebenarnya istilah senior lebih tepat, karena secara sosial mereka sanagat berpengaruh.
Meskipun demikian UU Nomor 13/1998 menggunakan istilah ini dan mendefinisikan sebagai seseorang yang telah berusia 60 tahun ke atas. Meningkatnya harapan hidup dan menurunnya tingkat kematian berkonstribusi terhadap peningkatan persentase lansia menjadi 2 kali lipat dalam periode 1971–2019, 9,6% dari penduduk atau sekitar 25 jutaan (BPS, 2019). Tercatat lima propinsi yang memiliki penduduk lansia di atas 10% yaitu, DI Yogyakarta (14,5%), Jawa Tengah (13,36%), Jawa Timur (12,6%), Bali (11,30%), dan Sulawesi Barat (11,15%).
Menurut BPS, pada tahun 2019 hampir separuh warga senior masih bekerja (49,39%). Mereka bekerja untuk aktualisasi diri, maupun karena desakan ekonomi. Warga senior di perdesaan lebih banyak yang bekerja (56,51%) dibandingkan dengan perkotaan. Bidang usaha yang paling banyak menyerap warga senior terutama di sektor pertanian (52,86%). Sebagian besar berstatus sebagai pekerja informal (84,29%).
Dalam tatanan masyarakat tradisional seperti di perdesaan di Jawa, kita melihat banyak warga senior yang berusia lanjut tetap berkarya sesuai dengan pekerjaan yang ditekuni. Mereka memiliki konsep berkarya sepanjang hayat, meskipun dengan intensitas yang menurun sesuai dengan kemampuan yang mulai dibatasi oleh usia. Dalam masyarakat pedesaan agraris, jika tidak mampu lagi mencangkul lagi di sawah, mereka mengerjakan pekerjaan yang lebih ringan seperti mencari ramban (dahan untuk makanan kambing/sapi)
Dampak Pandemi
Warga senior adalah kelompok paling rentan akibat pandemi Covid-19. Menurut data dari PBB, sekitar 68% orang-orang berusia di atas 70 tahun paling tidak memiliki satu penyikit penyerta. Hal ini membuat mereka semakin berisiko bila terpapar Covid-19. Akses terhadap fasilitas kesehatan juga terhambat. Selain menghindari fasilitas kesehatan karena termasuk golongan rentan, daya tampung fasilitas kesehatan juga terserap untuk menangani pandemi. Padahal warga senior yang banyak mengalami kemunduran kesehatan sangat membutuhkan fasilitas kesehatan.
Warga senior yang harus tinggal di rumah sebagai dampak PSBB atau karantina wilayah menghadapi risiko pengabaian, bahkan yang tinggal bersama anggota keluarga. Bahkan, tak jarang warga senior itu sendiri bertindak sebagai pemberi layanan sehingga mereka rentan terpapar Covid-19. Warga senior yang terhitung rentan terhadap penularan terpaksa mengisolasi diri. Mobilitas mereka menjadi sangat terbatas. Kontak sosial yang menjadi kebutuhan psikologis warga senior, menjadi baranag mewah. Anjuran tidak mudik, menjadikan mereka harus memendam rindu terhadap kunjungan dari anak-anak mereka dan keluarga besar lainnya. Secara psikologis menjadi beban bagi warga senior, ada perasaan terisolasi dan teralienasi.
Akses terhadap fasilitas kesehatan juga terhambat. Selain menghindari fasilitas kesehatan karena termasuk golongan rentan, daya tampung fasilitas kesehatan juga terserap untuk menangani pandemi. Padahal warga senior yang banyak mengalami kemunduran kesehatan sangat membutuhkan fasilitas kesehatan. Covid-19 tak hanya mengancam nyawa warga senior, tetapi juga mengancam jejaring sosial, akses terhadap layanan kesehatan, pekerjaan, dan biaya pensiun mereka. Isolasi dalam waktu yang lama berdampak buruk terhadap kesehatan mental warga senior. Apalah lagi, tidak seperti generasi muda, masih banyak warga senior yang kurang terpapar, bahkan tak mengerti sama sekali, teknologi digital. Pendapatan mereka akan berkurang (masih banyak warga senior yang harus bekerja demi menyambung hidup). Penghasilan mereka hanya cukup untuk satu atau beberapa hari. Mereka sebagaian besar bekerja di sector informal, sehingfga tidak memiliki tabungan pensiun.
Ketua National Institute of Ageing dan Guru Besar UPN Veteran Jakarta
SUASANA peringatan International Day of Older Persons, yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober dan pada tahun ini tepat yang ketigapuluh, bernuansa muram. Antonio Guterres, Sekjen PBB mengungkapkan kekhawatirannya terhadap lansia. Pandemi Covid-19 menebarkan ketakutan dan penderitaan lansia (older persons) di seluruh dunia. Selain dampak kesehatan yang nyata sebagai kelompok rentan, juga membawa kepada risiko kemiskinan, diskriminasi dan isolasi.
Kisah mengenai awal mula Covid-19 di Korea Selatan. Tatkala seorang perempuan lansia berusia 60 tahun melanggar larangan untuk berkerumun dan mendatangi acara ibadah, kemudian menjadi sumber penyebaran di sana. Kisah ini bergulir ke seluruh dunia, menghasilkan stereotipi, prasangka dan stigma terhadap lansia. Kekhawatiran Guterres pun mewujud, diksriminasi terhadap lansia di kala pandemi. Jika isolasi (mandiri) memang mempunyai pijakan rasional sebagai bagian dari protokol Kesehatan, dilakukan berdasarkan kesadaran diri, tidaklah demikian dengan diskriminasi. Sikap berlebihan yang bernuansa negatif dan irasional melandasi lahirnya diskriminasi.
Warga Senior Sebelum Pandemi
Terminologi lansia, walaupun secara leksikal merupakan terjemahan yang tepat terhadap older persons, tetapi sebenarnya secara kontekstual dengan budaya kita kurang tepat. Orang tua (olders persons, elderly people) dalam Bahasa Indonesia mempunyai istilah yang sama untuk ayah-ibu (parent). Terdapat penghormatan yang tinggi terhadap mereka, Dari jumalah rumah tangga yang dihuni lansia sebesar 27,68%, terdapat 61,75% yang menjadi kepala rumah tangga. Sehingga sebenarnya istilah senior lebih tepat, karena secara sosial mereka sanagat berpengaruh.
Meskipun demikian UU Nomor 13/1998 menggunakan istilah ini dan mendefinisikan sebagai seseorang yang telah berusia 60 tahun ke atas. Meningkatnya harapan hidup dan menurunnya tingkat kematian berkonstribusi terhadap peningkatan persentase lansia menjadi 2 kali lipat dalam periode 1971–2019, 9,6% dari penduduk atau sekitar 25 jutaan (BPS, 2019). Tercatat lima propinsi yang memiliki penduduk lansia di atas 10% yaitu, DI Yogyakarta (14,5%), Jawa Tengah (13,36%), Jawa Timur (12,6%), Bali (11,30%), dan Sulawesi Barat (11,15%).
Menurut BPS, pada tahun 2019 hampir separuh warga senior masih bekerja (49,39%). Mereka bekerja untuk aktualisasi diri, maupun karena desakan ekonomi. Warga senior di perdesaan lebih banyak yang bekerja (56,51%) dibandingkan dengan perkotaan. Bidang usaha yang paling banyak menyerap warga senior terutama di sektor pertanian (52,86%). Sebagian besar berstatus sebagai pekerja informal (84,29%).
Dalam tatanan masyarakat tradisional seperti di perdesaan di Jawa, kita melihat banyak warga senior yang berusia lanjut tetap berkarya sesuai dengan pekerjaan yang ditekuni. Mereka memiliki konsep berkarya sepanjang hayat, meskipun dengan intensitas yang menurun sesuai dengan kemampuan yang mulai dibatasi oleh usia. Dalam masyarakat pedesaan agraris, jika tidak mampu lagi mencangkul lagi di sawah, mereka mengerjakan pekerjaan yang lebih ringan seperti mencari ramban (dahan untuk makanan kambing/sapi)
Dampak Pandemi
Warga senior adalah kelompok paling rentan akibat pandemi Covid-19. Menurut data dari PBB, sekitar 68% orang-orang berusia di atas 70 tahun paling tidak memiliki satu penyikit penyerta. Hal ini membuat mereka semakin berisiko bila terpapar Covid-19. Akses terhadap fasilitas kesehatan juga terhambat. Selain menghindari fasilitas kesehatan karena termasuk golongan rentan, daya tampung fasilitas kesehatan juga terserap untuk menangani pandemi. Padahal warga senior yang banyak mengalami kemunduran kesehatan sangat membutuhkan fasilitas kesehatan.
Warga senior yang harus tinggal di rumah sebagai dampak PSBB atau karantina wilayah menghadapi risiko pengabaian, bahkan yang tinggal bersama anggota keluarga. Bahkan, tak jarang warga senior itu sendiri bertindak sebagai pemberi layanan sehingga mereka rentan terpapar Covid-19. Warga senior yang terhitung rentan terhadap penularan terpaksa mengisolasi diri. Mobilitas mereka menjadi sangat terbatas. Kontak sosial yang menjadi kebutuhan psikologis warga senior, menjadi baranag mewah. Anjuran tidak mudik, menjadikan mereka harus memendam rindu terhadap kunjungan dari anak-anak mereka dan keluarga besar lainnya. Secara psikologis menjadi beban bagi warga senior, ada perasaan terisolasi dan teralienasi.
Akses terhadap fasilitas kesehatan juga terhambat. Selain menghindari fasilitas kesehatan karena termasuk golongan rentan, daya tampung fasilitas kesehatan juga terserap untuk menangani pandemi. Padahal warga senior yang banyak mengalami kemunduran kesehatan sangat membutuhkan fasilitas kesehatan. Covid-19 tak hanya mengancam nyawa warga senior, tetapi juga mengancam jejaring sosial, akses terhadap layanan kesehatan, pekerjaan, dan biaya pensiun mereka. Isolasi dalam waktu yang lama berdampak buruk terhadap kesehatan mental warga senior. Apalah lagi, tidak seperti generasi muda, masih banyak warga senior yang kurang terpapar, bahkan tak mengerti sama sekali, teknologi digital. Pendapatan mereka akan berkurang (masih banyak warga senior yang harus bekerja demi menyambung hidup). Penghasilan mereka hanya cukup untuk satu atau beberapa hari. Mereka sebagaian besar bekerja di sector informal, sehingfga tidak memiliki tabungan pensiun.