Memperkuat Pemakaian Kontrasepsi, Menjaga Bonus Demografi
loading...
A
A
A
Sudibyo Alimoeso
Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI)
SEMPAT selama 10 tahun sejak 2002, pemakai alat kontrasepsi stagnan pada angka 57% dari sekitar 45 juta pasangan usia subur (PUS). Namun, angka ini beringsut naik secara pelan menjadi sekitar 64% (SDKI 2017) karena banyak dibantu oleh cara tradisional. Mayoritas pemakai masih didominasi kaum perempuan (lebih 95%) sehingga sering kali dianggap program KB masih diskriminatif. Metode kontrasepsi yang dipakai sebagian besar adalah hormonal (74%) seperti suntik dan pil sehingga tingkat kelangsungan kurang terjamin. Hal ini ditunjukkan sekitar 28-34% peserta KB berhenti meskipun baru setahun memakai alat kontrasepsinya. Sementara itu, diperkirakan sekitar 11% PUS yang sudah tidak ingin anak lagi, tetapi tidak bisa akses untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi (unmet need ). Jumlah yang besar ini bisa mendorong terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Sementara itu, PUS unmet need usia muda (15-19 tahun) dan PUS tua (35-49 tahun) apabila tidak terlayani akan berisiko bagi kesehatan reproduksinya jika mengalami kehamilan.
Keengganan pakai kontrasepsi menurut SDKI 2017 lebih banyak karena takut efek samping, metode tidak cocok, dan juga masih ada karena alasan tidak mendapat persetujuan suami. Tentu hal ini sangat terkait dengan kualitas konseling yang harus diberikan pada PUS agar mereka menjadi paham dan tertarik memakai alat kontrasepsi dengan baik.
Baru saja dunia memperingati Hari Kontrasepsi Dunia atau World Contraception Day (WCD). Peringatan yang dimulai sejak tanggal 26 September 2007 secara global menyuarakan hak-hak seseorang untuk bebas memilih alat kontrasepsi sesuai dengan kebutuhannya. Kampanye global ini juga mendorong pendidikan yang lebih baik terkait perilaku hubungan seksual yang sehat, aman, dan terlindungi, sehingga tidak ada kehamilan yang tidak direncanakan atau tidak diinginkan (unwanted pregnancy) atau KTD. Wanita dengan KTD menghadapi banyak bahaya yang mengintainya. Mereka menjadi tidak terlalu peduli pada janin dan bisa meningkatkan risiko bagi ibu serta bayi, seperti preeklampsia, bayi malnutrisi, stunting, dan bahkan bisa mengancam kematian ibu dan bayi yang dikandung. Jika terjadi KTD, seseorang sudah seharusnya mendapat konseling dan dukungan. KTD harus dijaga dengan baik melalui dukungan sosial psikologis, medis, dan bahkan manajemen pembedahan untuk aborsi sebagai pilihan alternatif terakhir (Burton, 2018 ).
Perkuat Pemakaian Kontrasepsi
Menurut Rogers (1962) dalam difusi inovasi, Indonesia dengan angka prevalensi sekitar 64% saat ini berarti program KB sudah mengajak PUS yang dikategorikan sebagai "late majority". Pengikut ini adalah mereka yang mau memakai alat kontrasepsi kalau tahu manfaat alat kontrasepsi ditambah dengan wanita yang sudah tidak ingin punya anak lagi (unmet need), ingin menunda kehamilan, maupun yang tidak yakin apakah atau kapan mereka ingin hamil.
Kelompok ini harus diperkuat kepercayaannya dengan mengedukasi tentang manfaat ber-KB secara komprehensif agar BKKBN bisa memenuhi komitmennya sesuai dengan kesepakatan global hasil Nairobi Summit (2019), yaitu mencapai "zero unmet need for family planning". Penguatan juga diperlukan untuk kelompok peragu kedua, yaitu mereka yang enggan berpindah ke metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Perlu kerja cerdas dan keras untuk mengubah pola pikir sebagian dari 20 juta PUS pemakai pil dan suntikan berpindah ke metode MKJP, seperti implant, IUD, bahkan sterilisasi. Tentu sangat tidak mudah memberikan pelayanan, baik ulangan maupun cara MKJP dalam situasi pandemi Covid-19. Selama masa pandemi kemungkinan besar muncul kekhawatiran masyarakat untuk mengakses pelayanan KB di klinik bidan dan dokter. Bisa juga terjadi para bidan atau dokter enggan berpraktik KB karena tak memiliki perlengkapan memadai untuk mencegah penularan Covid-19.
Penguatan berikutnya tentu menjaga kualitas setelah pelayanan dalam pembinaan kelangsungan pemakaian kontrasepsi. Rantai pasok kontrasepsi termasuk melalui distribusi dinamis diharapkan menjamin ketersediaan alat kontrasepsi tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat jenis pada saat dibutuhkan. Harus dipastikan juga keamanan dan efektivitas para petugas lapangan/penyuluh keluarga berencana (PKB) yang ikut membantu membagi alat kontrasepsi kondom, pil, dan suntikan dari rumah ke rumah.
Penguatan pemakaian kontrasepsi juga untuk mengurangi sekitar 8-9 juta peserta KB putus pakai agar perjuangan yang luar biasa dalam mendapatkan peserta KB baru tidak seperti tambal sulam saja. Upaya ini dimaksudkan agar angka prevalensi kontrasepsi tidak mengalami stagnan seperti yang terjadi sebelumnya. Tingginya angka putus pakai bisa mencerminkan pemahaman tentang kesehatan reproduksi rendah. Upaya mengurangi putus pakai dan melayani unmet need juga untuk mengerem terjadinya kehamilan terutama KTD dan kemungkinan "baby boom". Meskipun situasi sulit karena pandemi, pelayanan KB diharapkan tetap mengedepankan pendekatan berbasis hak (right based approach) untuk menjamin pemakai kontrasepsi lebih nyaman, aman, dan tanpa diskriminatif.
Dalam masa pandemi perlu diwaspadai meningkatnya intensitas hubungan suami istri yang diduga bisa memicu angka KTD. Apalagi saat ini jumlah penggunaan KB menurun. Kasus pernikahan dini juga perlu dihindari dengan memberikan edukasi kesehatan reproduksi yang komprehensif bagi para remaja. Para petugas KB harus rajin "mengintip" para wanita yang hamil, mereka harus mampu menjaga kehamilannya dengan baik supaya melahirkan dengan aman dan selamat. Mereka harus diberikan konseling yang intens sehingga selesai melahirkan bisa dilakukan pemasangan alat kontrasepsi sesuai dengan pilihannya. Penguatan KB setelah persalinan ini mempunyai potensi penting mengingat jumlah ibu melahirkan sekitar empat sampai lima juta setiap tahunnya.
Penguatan program KB dan menjaga keberlangsungannya merupakan sebuah misi dengan pertaruhan besar, dan seyogianya mendapat dukungan semua pihak. Program KB seharusnya tidak dimaknai hanya berperan sebagai pengendali pertumbuhan penduduk, tetapi juga telah berkontribusi dalam menunjang pembangunan Indonesia. Para PUS yang tekun ber-KB sesungguhnya merupakan pahlawan pembangunan karena dari ketekunannya telah mampu mengubah struktur dan komposisi penduduk sehingga tercipta bonus demografi. Kondisi ini merupakan kesempatan besar menggerakkan pertumbuhan ekonomi karena didukung kelompok usia produktif yang besar. Sudah barang tentu melalui ber-KB sesungguhnya juga menjaga kesehatan reproduksi yang merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi perempuan.
Jika program KB mampu menjaga kelangsungan pemakaian kontrasepsi dan menjaga fertilitas sekitar dua anak per wanita (replacement level) dalam waktu yang lama, maka era bonus demografi bisa dipertahankan dalam waktu lebih lama. Jadi, bisa dikatakan bahwa pemakai kontrasepsi yang setia adalah penjaga gawang bonus demografi. Kalau pandemi Covid-19 cepat berlalu, pelaksanaan program KB tidak terganggu. Semoga!
Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI)
SEMPAT selama 10 tahun sejak 2002, pemakai alat kontrasepsi stagnan pada angka 57% dari sekitar 45 juta pasangan usia subur (PUS). Namun, angka ini beringsut naik secara pelan menjadi sekitar 64% (SDKI 2017) karena banyak dibantu oleh cara tradisional. Mayoritas pemakai masih didominasi kaum perempuan (lebih 95%) sehingga sering kali dianggap program KB masih diskriminatif. Metode kontrasepsi yang dipakai sebagian besar adalah hormonal (74%) seperti suntik dan pil sehingga tingkat kelangsungan kurang terjamin. Hal ini ditunjukkan sekitar 28-34% peserta KB berhenti meskipun baru setahun memakai alat kontrasepsinya. Sementara itu, diperkirakan sekitar 11% PUS yang sudah tidak ingin anak lagi, tetapi tidak bisa akses untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi (unmet need ). Jumlah yang besar ini bisa mendorong terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Sementara itu, PUS unmet need usia muda (15-19 tahun) dan PUS tua (35-49 tahun) apabila tidak terlayani akan berisiko bagi kesehatan reproduksinya jika mengalami kehamilan.
Keengganan pakai kontrasepsi menurut SDKI 2017 lebih banyak karena takut efek samping, metode tidak cocok, dan juga masih ada karena alasan tidak mendapat persetujuan suami. Tentu hal ini sangat terkait dengan kualitas konseling yang harus diberikan pada PUS agar mereka menjadi paham dan tertarik memakai alat kontrasepsi dengan baik.
Baru saja dunia memperingati Hari Kontrasepsi Dunia atau World Contraception Day (WCD). Peringatan yang dimulai sejak tanggal 26 September 2007 secara global menyuarakan hak-hak seseorang untuk bebas memilih alat kontrasepsi sesuai dengan kebutuhannya. Kampanye global ini juga mendorong pendidikan yang lebih baik terkait perilaku hubungan seksual yang sehat, aman, dan terlindungi, sehingga tidak ada kehamilan yang tidak direncanakan atau tidak diinginkan (unwanted pregnancy) atau KTD. Wanita dengan KTD menghadapi banyak bahaya yang mengintainya. Mereka menjadi tidak terlalu peduli pada janin dan bisa meningkatkan risiko bagi ibu serta bayi, seperti preeklampsia, bayi malnutrisi, stunting, dan bahkan bisa mengancam kematian ibu dan bayi yang dikandung. Jika terjadi KTD, seseorang sudah seharusnya mendapat konseling dan dukungan. KTD harus dijaga dengan baik melalui dukungan sosial psikologis, medis, dan bahkan manajemen pembedahan untuk aborsi sebagai pilihan alternatif terakhir (Burton, 2018 ).
Perkuat Pemakaian Kontrasepsi
Menurut Rogers (1962) dalam difusi inovasi, Indonesia dengan angka prevalensi sekitar 64% saat ini berarti program KB sudah mengajak PUS yang dikategorikan sebagai "late majority". Pengikut ini adalah mereka yang mau memakai alat kontrasepsi kalau tahu manfaat alat kontrasepsi ditambah dengan wanita yang sudah tidak ingin punya anak lagi (unmet need), ingin menunda kehamilan, maupun yang tidak yakin apakah atau kapan mereka ingin hamil.
Kelompok ini harus diperkuat kepercayaannya dengan mengedukasi tentang manfaat ber-KB secara komprehensif agar BKKBN bisa memenuhi komitmennya sesuai dengan kesepakatan global hasil Nairobi Summit (2019), yaitu mencapai "zero unmet need for family planning". Penguatan juga diperlukan untuk kelompok peragu kedua, yaitu mereka yang enggan berpindah ke metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Perlu kerja cerdas dan keras untuk mengubah pola pikir sebagian dari 20 juta PUS pemakai pil dan suntikan berpindah ke metode MKJP, seperti implant, IUD, bahkan sterilisasi. Tentu sangat tidak mudah memberikan pelayanan, baik ulangan maupun cara MKJP dalam situasi pandemi Covid-19. Selama masa pandemi kemungkinan besar muncul kekhawatiran masyarakat untuk mengakses pelayanan KB di klinik bidan dan dokter. Bisa juga terjadi para bidan atau dokter enggan berpraktik KB karena tak memiliki perlengkapan memadai untuk mencegah penularan Covid-19.
Penguatan berikutnya tentu menjaga kualitas setelah pelayanan dalam pembinaan kelangsungan pemakaian kontrasepsi. Rantai pasok kontrasepsi termasuk melalui distribusi dinamis diharapkan menjamin ketersediaan alat kontrasepsi tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat jenis pada saat dibutuhkan. Harus dipastikan juga keamanan dan efektivitas para petugas lapangan/penyuluh keluarga berencana (PKB) yang ikut membantu membagi alat kontrasepsi kondom, pil, dan suntikan dari rumah ke rumah.
Penguatan pemakaian kontrasepsi juga untuk mengurangi sekitar 8-9 juta peserta KB putus pakai agar perjuangan yang luar biasa dalam mendapatkan peserta KB baru tidak seperti tambal sulam saja. Upaya ini dimaksudkan agar angka prevalensi kontrasepsi tidak mengalami stagnan seperti yang terjadi sebelumnya. Tingginya angka putus pakai bisa mencerminkan pemahaman tentang kesehatan reproduksi rendah. Upaya mengurangi putus pakai dan melayani unmet need juga untuk mengerem terjadinya kehamilan terutama KTD dan kemungkinan "baby boom". Meskipun situasi sulit karena pandemi, pelayanan KB diharapkan tetap mengedepankan pendekatan berbasis hak (right based approach) untuk menjamin pemakai kontrasepsi lebih nyaman, aman, dan tanpa diskriminatif.
Dalam masa pandemi perlu diwaspadai meningkatnya intensitas hubungan suami istri yang diduga bisa memicu angka KTD. Apalagi saat ini jumlah penggunaan KB menurun. Kasus pernikahan dini juga perlu dihindari dengan memberikan edukasi kesehatan reproduksi yang komprehensif bagi para remaja. Para petugas KB harus rajin "mengintip" para wanita yang hamil, mereka harus mampu menjaga kehamilannya dengan baik supaya melahirkan dengan aman dan selamat. Mereka harus diberikan konseling yang intens sehingga selesai melahirkan bisa dilakukan pemasangan alat kontrasepsi sesuai dengan pilihannya. Penguatan KB setelah persalinan ini mempunyai potensi penting mengingat jumlah ibu melahirkan sekitar empat sampai lima juta setiap tahunnya.
Penguatan program KB dan menjaga keberlangsungannya merupakan sebuah misi dengan pertaruhan besar, dan seyogianya mendapat dukungan semua pihak. Program KB seharusnya tidak dimaknai hanya berperan sebagai pengendali pertumbuhan penduduk, tetapi juga telah berkontribusi dalam menunjang pembangunan Indonesia. Para PUS yang tekun ber-KB sesungguhnya merupakan pahlawan pembangunan karena dari ketekunannya telah mampu mengubah struktur dan komposisi penduduk sehingga tercipta bonus demografi. Kondisi ini merupakan kesempatan besar menggerakkan pertumbuhan ekonomi karena didukung kelompok usia produktif yang besar. Sudah barang tentu melalui ber-KB sesungguhnya juga menjaga kesehatan reproduksi yang merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi perempuan.
Jika program KB mampu menjaga kelangsungan pemakaian kontrasepsi dan menjaga fertilitas sekitar dua anak per wanita (replacement level) dalam waktu yang lama, maka era bonus demografi bisa dipertahankan dalam waktu lebih lama. Jadi, bisa dikatakan bahwa pemakai kontrasepsi yang setia adalah penjaga gawang bonus demografi. Kalau pandemi Covid-19 cepat berlalu, pelaksanaan program KB tidak terganggu. Semoga!
(ras)