RUU Omnibus Law Ciptaker Kado Pahit Hari Tani Nasional

Kamis, 24 September 2020 - 11:47 WIB
loading...
RUU Omnibus Law Ciptaker Kado Pahit Hari Tani Nasional
Ketua Umum DPN Gerbang Tani Idham Arsyad mengatakan, RUU Ciptaker merupakan kado pahit di Hari Tani Nasional. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) menjadi kado pahit peringatan Hari Tani Nasional 2020. RUU Ciptaker dinilai tidak mempunyai keberpihakan jelas kepada nasib petani, bahkan kian meminggirkan peran petani dalam proses pembangunan nasional.

“RUU Ciptaker merupakan ancaman nyata bagi petani di Indonesia. Dengan kondisi petani yang saat ini serba terbatas, mereka dipaksa untuk bersaing dengan berbagai produk impor,” ujar Ketua Umum DPN Gerbang Tani Idham Arsyad saat membuka Peringatan Hari Tani, di Jakarta, Kamis (24/9/2020). (Lihat foto: Aliansi Tani Jawa Timur Gelar Aksi Hari Tani Nasional)

Dia menjelaskan ancaman nyata bagi petani Indonesia tersebut terdapat pada Pasal 66 RUU Ciptaker. Pasal ini untuk merevisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dalam rancangan aturan tersebut tertulis ‘Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan’. (Baca juga: Gerbang Tani: Hari Tani Nasional Momentum Wujudkan Kedaulatan Pangan)

“Ini artinya bahwa dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional kedudukan hasil impor posisinya sama dengan hasil produksi dalam negeri. Padahal dalam UU Nomor 18/2012 untuk pemenuhan kebutuhan pangan ini, pemerintah harus mengutamakan produk dalam negeri,” ujarnya.

Idham mengatakan jika nanti RUU Ciptaker disahkan maka, pemerintah mempunyai dasar hukum untuk melakukan impor dengan semena-mena. Kondisi ini tentu akan merugikan para petani. Menurutnya bukan rahasia umum jika produk pertanian Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan produk impor. Kondisi ini terjadi karena biaya produksi yang ditanggung petani di Tanah Air memang jauh lebih besar. “Banyak faktor yang membuat biaya produksi petani di Indonesia lebih besar. Keterbatasan kepemilikan lahan, ketidakjelasan subsidi pupuk dan alat pertanian hingga rendahnya jaminan serapan pasar. Dengan kondisi ini mereka harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah, jelas petani kita akan kalah total,” ujarnya. (Baca juga: DPN Gerbang Tani Akan Gelar Sarasehan Nasional)

Selain RUU Ciptaker yang mengancam kedaulatan pangan Indonesia, ldham juga mempertanyakan komitmen negara dalam melakukan Reforma Agraria. Janji untuk melakukan reditribusi lahan seluas 9 juta hectare juga tak kunjung terealisasi. Program bagi-bagi sertifikat hanyalah proses legalisasi dari lahan yang memang milik petani. “Problem nyata dari petani kita adalah kecilnya skala ekonomi dari produksi mereka. Hal itu terjadi karena sempitnya lahan yang mereka miliki. Jadi yang dibutuhkan adalah lahan untuk bertani bukan sekadar sertifikasi dari lahan sempit yang sudah mereka miliki,” tukasnya.

Idham menegaskan saat ini dibutuhkan gerakan reorientasi pembangunan berbasis pertanian seperti yang telah disuarakan oleh Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar. Menurutnya gerakan ini ini merupakan langkah kongkret untuk menyelamatkan masa depan petani dan masa depan Indonesia. “Apalagi dalam situasi resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang membuat hampir semua lini usaha tiarap, pertanian merupakan satu-satunya bidang yang relatif bisa bergerak. Oleh karena itu pemerintah harus menarik RUU Ciptaker klaster pertanian dan segera melakukan reorientasi pembangunan berbasis pertanian,” katanya.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 1.2273 seconds (0.1#10.140)