Keras Kepala Gelar Pilkada, Migrant Care: Pemerintah Tumpul Sensitivitas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah, DPR, KPU, dan Bawaslu telah bersepakat tetap melanjutkan penyelenggaraan Pilkada 2020 sesuai jadwal, yaitu pada 9 Desember mendatang. Namun desakan publik agar pilkada yang digelar serentak di 270 daerah tersebut ditunda juga semakin menguat.
Ketua Pusat Studi dan Kajian Migrasi-Migrant Care Anis Hidayah mengkritik sikap pemerintah yang ngotot menyelenggarakan pilkada ketika kasus Covid-19 melonjak tinggi. Menurutnya, ada empat pertimbangan yang harusnya dipahami menggelar kontestasi tersebut.
Pertama, puncak dari demokrasi adalah kemanusiaan. Proses demokrasi dilangsungkan tentu harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan, keselamatan, kesehatan dan keamanan warga negara, baik itu penyelenggara, pemilih, peserta, dan seluruh pihak terkait penyelenggaraan pilkada.
(Baca: Din Syamsuddin Sesalkan Sikap Keras Kepala Pemerintah dan DPR soal Pilkada)
“Dalam situasi pandemi, yang paling manusiawi dilakukan oleh negara adalah menunda pilkada,” kata Anis dalam diskusi secara virtual, Selasa (22/9/2020).
Kedua, dalam penyelenggaraan proses demokrasi selalu memprioritaskan keadaan memaksa (force majeur) atau darurat seperti perang, wabah, dan situasi khusus lainnya yang mengancam keselamatan banyak orang. Banyak negara di dunia dalam situasi force majeur akibat pandemi yang terjadi saat ini. Karena itu, Anis menegaskan, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menunda pilkada.
Ketiga, DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu justru tumpul sensitivitasnya terhadap kerentanan warga negara, terutama para calon pemilih. Tidak hanya pada saat proses pemilihan nanti, tetapi juga proses lainnya yang terkait dengan protokol kepemiluan.
“Itu membuat masyarakat rentan tertular. Apalagi, penyelenggaranya (pilkada) sendiri yang ada di garda paling depan sudah banyak yang positif sehingga ini mestinya menjadi pertimbangan utama,” imbuh wanita kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur itu.
(Baca: Hal Ini Patut Diwaspadai saat Penetapan Paslon Pilkada Besok)
Keempat, pada kondisi saat ini, maka DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu semestinya belajar dari tempat ibadah maupun sekolah, yang justru malah menunda melakukan kegiatan pertemuan. Pola itu seharusnya juga bisa diterapkan dalam panggung pilkada.
“Ini berpilkada. Mestinya ini juga bisa ditunda. Orang ke mesjid, ke gereja, sekolah, arisan dan lainnya, semua bisa dilakukan penundaan. Kenapa pilkada tidak bisa dilakukan? Kita mesti belajar dari mereka bagaimana demokrasi itu dijalankan, terutama keselamatan warga negara,” tandasnya.
Ketua Pusat Studi dan Kajian Migrasi-Migrant Care Anis Hidayah mengkritik sikap pemerintah yang ngotot menyelenggarakan pilkada ketika kasus Covid-19 melonjak tinggi. Menurutnya, ada empat pertimbangan yang harusnya dipahami menggelar kontestasi tersebut.
Pertama, puncak dari demokrasi adalah kemanusiaan. Proses demokrasi dilangsungkan tentu harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan, keselamatan, kesehatan dan keamanan warga negara, baik itu penyelenggara, pemilih, peserta, dan seluruh pihak terkait penyelenggaraan pilkada.
(Baca: Din Syamsuddin Sesalkan Sikap Keras Kepala Pemerintah dan DPR soal Pilkada)
“Dalam situasi pandemi, yang paling manusiawi dilakukan oleh negara adalah menunda pilkada,” kata Anis dalam diskusi secara virtual, Selasa (22/9/2020).
Kedua, dalam penyelenggaraan proses demokrasi selalu memprioritaskan keadaan memaksa (force majeur) atau darurat seperti perang, wabah, dan situasi khusus lainnya yang mengancam keselamatan banyak orang. Banyak negara di dunia dalam situasi force majeur akibat pandemi yang terjadi saat ini. Karena itu, Anis menegaskan, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menunda pilkada.
Ketiga, DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu justru tumpul sensitivitasnya terhadap kerentanan warga negara, terutama para calon pemilih. Tidak hanya pada saat proses pemilihan nanti, tetapi juga proses lainnya yang terkait dengan protokol kepemiluan.
“Itu membuat masyarakat rentan tertular. Apalagi, penyelenggaranya (pilkada) sendiri yang ada di garda paling depan sudah banyak yang positif sehingga ini mestinya menjadi pertimbangan utama,” imbuh wanita kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur itu.
(Baca: Hal Ini Patut Diwaspadai saat Penetapan Paslon Pilkada Besok)
Keempat, pada kondisi saat ini, maka DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu semestinya belajar dari tempat ibadah maupun sekolah, yang justru malah menunda melakukan kegiatan pertemuan. Pola itu seharusnya juga bisa diterapkan dalam panggung pilkada.
“Ini berpilkada. Mestinya ini juga bisa ditunda. Orang ke mesjid, ke gereja, sekolah, arisan dan lainnya, semua bisa dilakukan penundaan. Kenapa pilkada tidak bisa dilakukan? Kita mesti belajar dari mereka bagaimana demokrasi itu dijalankan, terutama keselamatan warga negara,” tandasnya.
(muh)