Ketangguhan UMKM

Selasa, 22 September 2020 - 07:34 WIB
loading...
Ketangguhan UMKM
Asep Sumaryana
A A A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad


ADA yang menarik dari anggota ojek sohib penulis. Konon bisa ada yang menerima bantuan UMKM tanpa punya usaha. Dengan bermodalkan foto usaha orang lain, dirinya bisa membuat proposal pengajuan. Dengan demikian, dana Rp2,4 juta masuk ke kantongnya. Bahkan bisa satu RT mengajukan bantuan tersebut sehingga satu RT pun memiliki warung semua tanpa ada pembelinya.

Di Peru usaha seperti itu dikembangkan melalui sektor informalnya. Pemerintah menyokong sehingga banyak sektor usaha tersebut disana seperti De Soto (1986) tuliskan. Memang tidak banyak pemasukan dari sektor ini, namun juga tidak harus banyak menyiapkan lapangan kerja karena secara berantai sektor tersebut memuka pekerjaan bagi kerabat-kerabatnya. Dengan cara seperti itu kemandirian pengusaha kecil tersebut terus terbangun dan bahkan terus berkembang.

Update
Bisa jadi lantaran desakan kebutuhan, pelaku UMKM terus berjuang untuk bertahan. Masa pandemik bisa jadi menjadi masa sulit bagi mereka kendati tidak banyak yang collaps seperti halnya industriawan. Bahkan pada masa normal, mereka pun bertarung melawan toko modern. Kebanyakan tetangganya belanja disana yang menyiapkan suasana belanja nyaman dengan harga pasti. Namun ketika dananya habis, tidak sedikit yang mampir di warung untuk ngutang. Pelaku ekonomi kecil yang lainnya berjuang dari petugas penertiban umum di kota ketika dirinya menghampiri sejumlah lalu-lalang orang yang banyak.

Tidak heran jika menjadi pengusaha seperti diatas banyak himpitannya. Wajar jika kemudian pemerintah menggelindingkan bantuan, diburu dengan semangat. Dari sisi itu, bantuan tersebut bisa dimaknai dua hal. Pertama, adanya pemahaman pemerintah bahwa pengusaha kelompok ini tidak boleh menambah beban pengangguran. Kedua, pengakuan jika kelompok ini termasuk pengusaha tangguh yang perlu dibantu dan dihargai. Oleh sebab itu, boleh jadi menjadi ajakan bagi dinas terkait untuk bersungguh-sungguh membina. Bukan saja menjaring kelompok usaha baru, namun harus menguatkan yang lama agar tetap bertahan dan bisa berkembang.

Dengan pembinaan yang dilakukan, setiap UMKM pastilah sudah terinventarisir. Dengan cara seperti itu, dengan adanya sejumlah fasilitas dari pemerintah, penerimanya sudah dapat diketahui cepat. Bahkan mungkin dengan komunikasi yang serba cepat, informasi tersebut pun dapat langsung masuk ke yang bersangkutan. Melalui jaringan aparat kewilayahan, kejelasan informasi pelaku ekonomi tersebut bisa senantiasa di update pula. Dengan demikian, perubahan dan perkembangan jumlah dan kualitas anggota usaha kecil dapat segera terekam tanpa keraguan adanya penyusup yang mengaku UMKM tanpa usaha.

Mentor
Bisa jadi Covid-19 mengajarkan bahwa UMKM menjadi pelaku ekonomi yang relatif tahan banting. Warung tetap buka kendati konsumennya banyak yang menggunakan online untuk belanja di pedagang besar. Pedagang keliling tetap setia mengunjungi pelanggannya yang ketakutan jika belanja di warung. Pedagang kaki lima juga tetap bertahan walaupun ancaman bahaya wabah mengancam nyawanya. Dengan demikian, responsivitas aparat pemerintah seperti Sharbrough (2015) tuliskan menjadi penting agar pihak-pihak rentan seperti itulah yang menjadi prioritas.

Sensitivitas masih belum cukup jika tidak didasari kesanggupan berkorban serta tanggungjawab sosial seperti Mintzberg (1992) paparkan. Dengan tanggungjawab sosial, usaha kecil yang perjuangkan untuk bisa bertahan dan berkembang. Bisa jadi tidak banyak yang dikawal untuk terus maju. Konsepsi bapak/ibu asuh bisa dikembangkan agar yang telah berhasil menjadi mentor bagi usaha lain sejenis untuk terus berkembang juga. Yang dimentori dan berhasil berkewajiban menjadi mentor bagi yang lainnya dan demikian seterusnya.

Pola diatas menunjukkan jika tanggungjawab sosial tidak hanya monopoli pemerintah, namun ditularkan kepada pelaku ekonomi lemah agar mampu menjadi kekuatan besar dalam perekonomian nasional. Membangun kekuatan pelaku ekonomi ini, pastilah berat pada permulaan, namun menjadi ringan jika seluruh tugas pemerintah diinternalisasikan kepada mereka juga. Dengan pemahaman tersebut, pelaku ekonomi ini menjadi subyek yang mengemban tanggung jawab untuk terus berkembang dan membawa kemajuan bagi yang lainnya. Dengan demikian, persepsi yang menempatkan kelompok tersebut beban dan obyek patut diubah.

Reposisi diatas tidak mudah dibangun. Persepsi jika pemerintah pemberi dan UMKM penerima patut diubah terlebih dahulu. Melalui aturan yang ada, mindset pun diubah juga agar penghargaan atas jerih payah kelompok usaha tersebut terbangun juga. Bisa jadi untuk itu ada sanksi yang diberikan pemerintah kepada aparaturnya. Dengan sanksi terhadap pihak-pihak yang merendahkan UMKM, maka nilai pun dapat menguat didalamnya untuk kemudian diprilakukan bersama seperti Rokeach (1984) tuliskan.

Dalam membangun mindset yang ajeg, sejumlah pihak menjadi penting terlibat. Akademisi sangatlah penting untuk dilibatkan agar kajian-kajian yang berkaitan dengan usaha kecil terus disampaikan kepada pelakunya. Dengan komunikasi yang egaliter, pelaku usaha diajaknya untuk menyikapi sejumlah temuannya. Boleh jadi antisipasi atas kajian akademisi memerlukan bantuan pengusaha dan perbankan untuk persoalan teknis dan bantuan modal. Bisa juga perlu media agar bisa diketahui lebih banyak pasarnya, dan masyarakat sebagai kontrol sekaligus konsumen.

Keterikatan semuanya menjadi perlu agar pengusaha kecil tersebut memiliki mental yang tangguh dan tekad untuk maju yang kuat. Dengan gotong royong, ketangguhan UMKM harus semakin kuat agar menjadi mitra tangguh pengusaha besar sekaligus mengurangi beban pemerintah menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Semoga!
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1164 seconds (0.1#10.140)