Bantu Orang Tua Atasi Masalah Belajar Jarak Jauh

Kamis, 17 September 2020 - 08:02 WIB
loading...
Bantu Orang Tua Atasi Masalah Belajar Jarak Jauh
Salah satu pemicu anak kerap menjadi korban kekerasan adalah ketidaksabaran orang tua dalam mendampingi anak saat belajar. Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Kasus ibu membunuh anak sendiri di Kota Tangerang, Banten, karena dipicu korban yang susah diajar saat belajar daring memicu keprihatinan luas. Semua pihak, terutama pemerintah, diimbau membantu para orang tua dalam mengatasi kesulitan yang dialaminya selama proses belajar daring agar kejadian serupa tidak terulang.

Kasus di Tangerang ini menambah panjang deretan masalah yang dipicu oleh sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi ini. Perlu ada solusi agar tidak semakin banyak anak menjadi korban kekerasan oleh pelaku yang orang terdekat sendiri. (Baca: Sifat Malu Adalah Kunci dari Semua Kebaikan)

Kasus Ibu berinial LH (26) di Tengerang ini viral sejak awal pekan ini. Dia membunuh anaknya yang berusia 8 tahun karena kesal korban tidak memperhatikan arahannya saat belajar daring. Lantaran kesal, pelaku memukuli kaki dan tangan korban dengan gagang sapu hingga berkali-kali.

Pelaku kemudian mendorong anaknya hingga jatuh ke lantai dan tak sadarkan diri. Saat dalam perjalanan ke rumah sakit korban meninggal dunia. Untuk menutupi jejaknya, LH dan suami mengubur anaknya sendiri di daerah Cijaku, Lebak, Banten. Kasus ini dalam penanganan kepolisian.

Salah satu pemicu anak kerap menjadi korban kekerasan adalah ketidaksabaran orang tua dalam mendampingi anak saat belajar. Penyebabnya antara lain karena materi pelajaran daring yang memang tergolong berat, dan anak yang sulit diatur. Selain itu, pemicu lain karena orang tua pada dasarnya mengalami banyak tekanan psikologi selama hampir tujuh bulan masa pandemi.

Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tentang belajar daring mengungkap fakta bahwa 32,3% ayah mengaku melakukan kekerasan fisik pada anak, dan 42,5% ibu mengakui melakukan hal yang sama. Sedangkan untuk kekerasan psikis,69,6% ayah mengaku melakukan, dan 73% ibu juga menyatakan melakukan hal serupa. Survei secara daring ini dilakukan pada 8-14 Juni 2020 dengan melibatkan 25.146 anak dan 14.169 orang tua di 34 provinsi. (Baca juga: Kasus Corona Terus Meningkat, Penerapan PSBB Dinilai Pilihan Bijak)

Masalah yang muncul pada proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah (BDR) memang sangat kompleks. Karena itu, perlu keseriusan dalam pengelolannya. Salah satu yang butuh keseriusan adalah pemberian bantuan kepada orang tua.

“Pemerintah dan para pakar pendidikan harus membantu para orang tua dalam membimbing anak masing-masing dalam menjalani pembelajaran di rumah,” ujar pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Jakarta, Totok Amin Soefijanto saat dihubungi kemarin.

Dia berpendapat, pemerintah harus bisa membuat modul panduan yang dibuat sebaik mungkin dan seadaptif mungkin dengan kondisi para orang tua di seluruh Tanah Air. Totok menerangkan, ada riset yang menunjukkan bahwa untuk kebanyakan orang tua, materi SD justru sulit di kelas awal, yaitu kelas 1, 2, dan 3. (Baca juga: Rusia Jual 100 Juta Vaksin Covid-19 ke India)

Namun Totok mengingatkan bahwa kesulitan materi ajar tidak harus mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak. Untuk itu, dia menyarankan, pemerintah dan masyarakat harus saling membantu agar PJJ atau BDR dapat berjalan dengan orang tua yang sudah terbiasa dan terinfokan cara-cara mendampingi anak belajar dengan baik.

"Menjadi tugas suku dinas, dinas pendidikan sampai Kemendikbud dan Kemenag untuk membimbing orang tua dalam membantu anak didik belajar di rumah," ujar peraih Alumni Award Winners dari Boston University ini.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejatinya telah menerbitkan Kepmendikbud Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Regulasi ini memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa.

Selain itu, Kemendikbud juga menyediakan modul-modul pembelajaran untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD) yang diharapkan dapat membantu proses belajar dari rumah dengan mencakup uraian pembelajaran berbasis aktivitas untuk guru, orang tua, dan peserta didik.

Bahkan, Kemendikbud juga sudah menerbitkan kurikulum pendidikan khusus masa pandemi. Kurikulum ini tidak lagi mewajibkan tercapainya standar kompetensi dasar agar anak-anak tidak perlu kesulitan belajar. Namun, karena sosialisasi yang belum berjalan optimal, tidak sedikit guru yang tetap menekankan pembelajaran akademik dan mengejar target kurikulum. (Baca juga: Tim Repsol Honda Suram Tanpa Marquez)

Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifuddian berpendapat, Kemendikbud dapat lebih serius lagi menggarap program-program parentingnya. Dia menyarankan diadakan program konsultan keluarga di mana keluarga atau orang tua dapat dibimbing oleh guru PAUD ataupun kader PKK dalam menjalani PJJ. Melalui program ini orangtua pun bisa curhat jika ada permasalahan keluarga.

Dia menekankan kepada pihak sekolah bahwa dalam proses PJJ agar mengutamakan well being siswa daripada penuntasan kurikulum. “Harus peka akan keadaan siswa dan keluarganya, harus terus dipantau dan ditindaklanjuti jika ada situasi yang tak biasa," katanya.

Kasus pembunuhan anak oleh orang tua di Tangerang menurut dia sangat menyedihkan. Kondisi sulit bagi semua masyarakat saat ini dinilai bisa jadi pemicu tingkat stres orang tua meningkat.

“Akibatnya, secara psikologis mungkin sekali terganggu atau dilampiaskan kepada orang-orang di sekitar kita, dan anak adalah yang paling rentan," katanya. (Baca juga: Cara Sederhana untuk Cegah Kanker Payudara)

Peran masyarakat juga diperlukan, terutama pimpinan RT/RW. Masyarakat di tingkat bawah ini perlu saling menjaga dan memantau satu sama lain. Lingkungan sekitar harus mengetahui apakah ada tetangga di lingkungannya yang kira-kira benar-benar kesulitan atau melakukan hal-hal yang tidak biasa. "Jangan sampai hal seperti ini terjadi lagi di masa depan," tegasnya.

Sementara itu, Komisioner bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti berpendapat, PJJ memang membutuhkan bimbingan dan bantuan orangtua. Namun, dia mengingatkan bahwa yang terutama dicapai anak adalah keteraturan belajar, tidak harus dituntut menyelesaikan semua mata pelajaran dan tugas dengan benar atau sempurna. Kesabaran orang tua membimbing anak-anaknya menjadi modal utama agar anak tetap semangat dan senang belajar.

“Kalau tidak bisa mengerjakan pelajaran lalu dibentak, apalagi dipukul, maka sang anak malah akan mengalami kesulitan memahami pelajaran," jelasnya.

Di sisi lain, dia meminta guru tidak memberikan penugasan yang terlalu berat, apalagi pada anak SD kelas 1–3 yang mungkin saja baru belajar membaca dan belajar memahami bacaan. Perlu dikomunikasi kondisi dan kesulitan yang dihadapi anak, karena setiap anak tidak sama. (Baca juga: Masih Banyak Siswa Belum Miliki Gawai dan Kesulitan Sinyal)

Selain itu, lanjutnya, KPAI juga mengingatkan bahwa kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak juga berkorelasi dengan perkembangan regulasi emosi anak dan perilakunya yang buruk di kemudian hari. “Sebagai contoh, anak kehilangan kemampuan untuk menenangkan dirinya, menghindari kejadian-kejadian provokatif dan stimulus yang memicu perasaan sedih dan marah, dan menahan diri dari sikap kasar yang didorong oleh emosi yang tidak terkendali,” imbuhnya.

Bentuk Satgas di Lingkungan

Pemerhati anak dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri Amriel mengatakan, kelakuan anak yang mengesalkan saat belajar daring boleh jadi hanya pemicu orang tua di Tangerang melakukan kekerasan. Secara lebih mendasar bisa saja ada timbunan tekanan batin.

“Ini sudah disinyalir oleh WHO bahwa saat ini bukan hanya virus yang mewabah, tapi juga gangguan mental,” ujarnya kepada KORAN SINDO kemarin.

Sedangkan pada lapis paling mendasar bisa jadi ada kemungkinan kondisi psikis yang mengendap pada diri pelaku. “Trait, istilahnya. Mungkin pada dasarnya kepribadian agresif, persepsi yang buruk tentang anak. Atau bisa jadi pengaruh penyalahgunaan narkoba dan lain-lain,” ujarnya.

Di masa pandemic ini situasi menjadi karena anak-anak menjalani “karantina” di rumah bersama orang-orang yang sewaktu-waktu bisa jadi predatornya. Untuk meminimalkan kejadian seperti ini Reza menyarankan agar dibentuk satuan tugas atau satgas perlindungan anak tingkat RT. (Lihat videonya: Marion Jola Bikin Heboh karena Bra, Gisella Menyesal Bercerai)

“Intensifkan patroli (aksi sambang) dan memastikan anak terlihat setiap hari. Bikin kesepakatan dengan seluruh warga,” ujarnya. (Neneng Zubaidah)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2472 seconds (0.1#10.140)