Harm Reduction: Mengurangi Dampak Buruk Penuh Resiko

Kamis, 17 September 2020 - 06:27 WIB
loading...
Harm Reduction: Mengurangi...
Wawan Masudi
A A A
Wawan Mas’udi
Dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM

DALAM beberapa hari terakhir, kita menyaksikan angka kasus Covid-19 di Indonesia yang terus meningkat. Kasus yang dilabeli klaster long weekend diperkirakan terjadi antara 16-22 Agustus 2020, telah membuktikan bahwa kita adalah masyarakat yang sangat mendambakan hiburan setelah berbulan-bulan harus mengisolasi diri. Meskipun tergoda dengan kesenangan jangka pendek adalah hal yang manusiawi, fenomena ini menunjukan bahwa kita cenderung melakukan tindakan kuratif daripada pencegahan.

Demi memastikan kebutuhan ekonomi, pembuat kebijakan maupun orang-orang di lapangan cenderung mencari keuntungan kumulatif yang signifikan. Namun kenyataannya eksploitasi ekonomi maupun perubahan lingkungan berdampak luas kepada kesejahteraan individu dan pengelolaan kepentingan publik. Ketika risiko terus meningkat, pengurangan risiko menjadi semakin penting dalam mengembangkan kebijakan publik di berbagai sektor.

Harm Reduction dan Dilema Kebijakan
Istilah harm reduction pertama kali digaungkan dalam sektor kesehatan masyarakat untuk menangani isu penyalahgunaan obat terlarang, minuman beralkohol, konsumsi rokok, dan HIV/AIDS. Tujuan absolut dari harm reduction adalah mengurangi risiko atas keselamatan individu dan komunitas pada derajat yang paling rendah, serta mengurangi beban berlebih sistem layanan publik melalui penguatan sistem pencegahan dan membangun kesadaran publik. Keselamatan di sini berhubungan dengan daya tahan individual maupun kelompok/komunitas dari paparan risiko dan kemungkinan kerentanan (vulnerability). Dalam kerangka sistematis, efektivitas harm reduction ditunjukkan dengan semakin menurunnya proporsi biaya yang ditanggung sistem pelayanan publik untuk mengatasi situasi kerentanan.

Namun, bagian yang menarik adalah kemungkinan luas untuk menerapkan pola pikir ini ke sektor lain yang membutuhkan pembuatan kebijakan yang lebih baik. Jika dilihat lebih seksama, konsep yang berhubungan dengan keberadaan sistem dan kebijakan pengurangan risiko atas potensi kerentanan ini sangat relevan untuk melihat isu-isu risiko di berbagai aspek kehidupan, termasuk potensi bencana baik yang bersifat alamiah maupun yang disebabkan manusia.

Harm reduction harus terlebih dahulu hadir dan menjadi kebiasaan baru dari perilaku individual dan organisasi sebelum aktivitas yang berkaitan dengan produktivitas ekonomi dan pelayanan berjalan kembali. Di aspek individual, harm reduction mencakup berbagai bentuk perilaku baru yang mencerminkan kesadaran atas risiko, yang dengan kesadaran tersebut kemudian individu mengadopsi kebiasaan, perilaku, dan budaya konsumsi yang lebih aman. Sementara dari sisi organisasi, harm reduction termaktub dalam pilihan-pilihan kebijakan dan standar tata kelola yang secara formal kelembagaan diadopsi untuk mencegah dan mengantisipasi risiko-risiko yang muncul.

Di tengah sudah mapannya perilaku individual dan organisasi, adopsi harm reduction untuk promosi pengurangan risiko tidak mudah dan berpotensi menghasilkan disrupsi sosial. Disrupsi ini akan berujung pada dua kemungkinan skenario negatif: guncangan sosial dan penolakan atau pengabaian.

Guncangan sosial bisa ditemukan dalam kasus energi bersih (cleaner energy) dan energi terbarukan (renewable energy). Adopsi dua jenis energi tersebut merupakan buah kesadaran pentingnya mengendalikan dan mengatasi perubahan iklim yang jika berlangsung terus akan menghasilkan kerentanan planet bumi semakin parah. Kampanye dan produksi keduanya merupakan bentuk konkret dari gagasan harm reduction dalam kerangka perubahan iklim. Namun, transformasi ke arah clean and renewable energy bukan perkara mudah. Bukan hanya karena teknologi dan investasi besar yang dibutuhkan, namun juga tantangan dari pelaku energi berbasis fosil yang kepentingan ekonominya akan terganggu oleh kampanye tersebut. Goncangan sosial ini tentu berdampak pada pertumbuhan energi bersih di Indonesia. Ketika penetrasi energi terbarukan di Indonesia baru mencapai 11%, negara tetangga, Vietnam, sudah mencapai 49%.

llustrasi lain potensi penolakan atau pengabaian akibat adopsi harm reduction juga bisa ditemukan di banyak kasus lainnya, misalnya sektor Tobacco Harm Reduction (THR) kemungkinan perlawanan akan muncul mulai dari petani, pedagang tembakau, dan perusahaan rokok yang melihat konsep ini sebagai ancaman bagi bisnis mereka. Bagi masyarakat yang sudah mapan dengan pandangan bahwa tembakau dan rokok sudah menjadi bagian integral kebudayaan, memandang THR sebagai bentuk interupsi kultural. Di beberapa negara Asia misalnya, berbagai jenis produk tembakau alternatif, rokok elektrik, snus, dan tembakau yang dipanaskan (HTP), populer sebagai produk THR. Laporan The Global State of Tobacco Harm Reduction (GSTHR) menunjukkan Jepang dan Korea yang memasarkan lebih dari satu produk THR dan memberlakukan regulasi batas usia, memiliki angka prevalensi merokok yang lebih rendah dibanding Indonesia.

Kekhawatiran pemegang kepentingan di sektor-sektor di atas bisa dimengerti. Akan tetapi selama adopsi konsep harm reduction memenuhi prasyarat kelembagaan, mengadopsi teknologi yang memungkinkan konsumen untuk memperbaiki pola konsumsi mereka, maka tidak akan berakhir dengan kepunahan industri.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0927 seconds (0.1#10.140)