Abai Protokol Covid 19? Di Pakistan Masjid Digembok, Imam Dibawa Polisi
loading...
A
A
A
Suasana bulan Ramadan tahun ini memang sungguh berbeda. Hening. Mesjid-mesjid ditutup. Salat Tarawih, buka bersama dan tadarusan di masjid pun ditiadakan. Memang di berbagai daerah masih ada beberapa masjid yang “nekat” membuka pintunya seperti dalam kondisi normal. Tapi jumlah jemaah yang datang sungguh tak sebanding dengan saat sebelum wabah covid 19 merajalela. Paling-paling cuma terisi dua saf.
Kendati begitu, masih ada warga masyarakat yang tidak terima penutupan masjid. Seperti yang terjadi di Desa Klapagading Kulon, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dan di Kecamatan Ujung, kota Parepare, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Takmir masjid di Desa Klapagading Kulon Rabu pekan lalu melayangkan surat kepada Camat setempat. Isinya berupa ancaman membongkar tempat ibadah umat muslim karena larangan salat berjamaah.
Sedangkan Camat Andi Ulfah Lanto di kota pesisir Sulsel, diadukan ke polisi oleh masyarakat setempat lantaran melarang warga melakukan salat Jumat di masjid. Warga lantas mengadukan camat wanita itu ke polisi dengan tuduhan penistaan agama.
Gebrakan takmir masjid Desa Klapagading akhirnya luluh setelah bersedia menerima penjelasan dari Camat setempat, perwakilan Kementerian Agama dan Polresta Banyumas. Intinya pelarangan itu demi kemaslahatan umat agar tak terpapar virus corona.
Akan halnya persoalan di Parepare selesai setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulsel menegaskan tindakan sang camat tidak menodai atau menistakan agama. Sama dengan yang disampaikan pejabat di Purwokerto, MUI Sulsel menegaskan tindakan camat tersebut sebagai bentuk usaha lahiriah manusia dalam menghindari wabah corona yang bahayanya sudah jelas dan terbukti memakan banyak korban.
Di Pakistan lain lagi kasusnya. Seperti di Indonesia, mayoritas penduduk negeri ‘saudara kandung” India ini pemeluk Islam. Banyak kelompok Islam fanatik dan militan bermukim di sini.
Wajar jika pemerintah membolehkan masjid-masjid tetap buka pada bulan suci ini. Syaratnya, protokol covid 19 yang ditetapkan pemerintah wajib dipatuhi. Masjid boleh melaksanakan salat lima waktu, salat tarawih dan ibadah sunah lainnya dengan mematuhi ketentuan phisycal distancing (jaga jarak).
Ketentuan itu tidak begitu saja diterima oleh umat Islam setempat. Maklum, mengacu pada sejumlah hadis yang pada umumnya umat Islam patuhi selama ini, salat berjamaah harus dilakukan dengan saf yang rapat. Mereka meyakini salat dengan saf yang renggang tidak sah hukumnya.
Di Karachi, beberapa imam masjid dicokok polisi karena tidak mematuhi protokol tersebut. Geger. Kericuhan jemaah dengan aparat keamanan pun meruyak.
Kisruh berakhir setelah pemerintah setempat dan aparat keamanan bertemu dengan tokoh-tokoh agama. Akhirnya tercapai kesepakatan,"Ibadah di masjid boleh dilanjutkan, asalkan mematuhi protokol kesehatan yang diawasi petugas,” papar Andi Ahmad Bastari, Minister Counsellor KBRI Pakistan kepada SINDOnews.
Jumlah jemaah pun dibatasi dengan pengawasan aparat keamanan. “Bila ada masjid yang berani melanggar kesepakatan, maka sanksinya adalah penggembokan pintu, dan imamnya dibawa ke kantor polisi,” sahutnya.
Salat Tarawih sendiri di negeri Asia Selatan ini memakan waktu cukup lama. Imam-imam salat tarawih membaca surat-surat panjang dalam 21 rakaat. Mereka mematok target untuk khatam Al-Quran sebelum akhir Ramadan. Namun jemaah bergeming. Tidak ada yang meninggalkan masjid sebelum rakaat terakhir tuntas. “Bacaan surat panjang imam tidak menimbulkan kebosanan, karena ayat-ayat suci dilantunkan dengan fasih dan suara merdu,” lanjutnya.
Dalam kondisi normal, pada umumnya suasana Ramadan di Pakistan sama dengan di Indonesia. Pada pagi hari, pasar dan toko sepi. Masyarakat baru beraktivitas menjelang waktu solat zuhur. Bedanya, durasi puasa di Pakistan sedikit lebih lama. Azan subuh pukul 4.00 dan magrib pukul 6.53.
Suasana mulai hidup menjelang sore. Masyarakat mulai menyesaki pasar untuk berbelanja aneka makanan untuk iftar. Keramaian berlangsung hingga larut malam. Semua pusat perbelanjaan, rumah makan, ramai hingga menjelang waktu sahur. Masjid selalu penuh dengan jemaah yang menunaikan salat lima waktu maupun salat tarawih.
KBRI menyelenggarakan buka puasa bersama dengan WNI setiap hari Jumat dan Sabtu. Menu favorit WNI dan diaspora Indonesia sama dengan di tanah air, kolak pisang untuk takjil, lantas sajian utamanya aneka olahan ayam dan daging.
Bagi yang kangen makan tempe, sebenarnya tersedia di sana. Pemasoknya kelompok mahasiswa Indonesia yang mencari tambahan dengan membuat penganan fermentasi kedele. Namun produksinya sangat terbatas. Sebab itu, tutur Bastari,”Tempe merupakan menu istimewa karena langka.”
Selain tempe, ada juga tahu buatan warga negara Tiongkok. Sayang, rasanya,”Tidak seenak tahu Bandung.”
Namun kondisi saat ini sungguh jauh berbeda. Iftar bersama dan tadarus di masjid dilarang. Pemerintah membatasi hanya toko kebutuhan pokok dan apotik yang boleh buka dari pukul 09.00 hingga 17.00. Aktifitas perkantoran menurun drastis.
Sekarang iftar dengan mahasiswa hanya dilakukan secara virtual melalui aplikasi zoom. Sebelum azan magrib berkumandang, Duta Besar RI memberi sambutan, lalu dilanjutkan kultum oleh seorang perwakilan mahasiswa. KBRI memasok sembako ke asrama mahasiswa. Mereka pun melepas lapar dan dahaga di kamar masing-masing.
Jemaah Tablig terjebak
WNI di kota metropolitan Islamabad ada sekitar 250 orang. Pada umumnya mereka berstatus mahasiswa yang belajar di International Islamic University Islamabad. Dan saat ini ada pula sekitar 150 jemaah tablig yang terjebak lockdown di Raiwind dan Islamabad.
Agar mereka tidak terkatung-katung tanpa kejelasan, KBRI memberi perlindungan dan menyuplai sembako. Kondisi kesehatan mereka pun terus dipantau. Sebab, delapan diantara jemaah tablig yang berada di Islamabad sempat terinveksi covid.
Mereka terpaksa dikarantina serta dirawat di rumah sakit setempat. “Satgas yang dibetuk KBRI terus berkomunikasi dengan jemaah dan dokter guna memastikan mereka mendapat perawatan yang memadai,” kata Bastari lagi.
Sejauh ini enam orang sudah dinyatakan sembuh. Dua lainnya masih dalam perawatan. Keduanya tergolong pasien tanpa gejala.
Sedangkan di wilayah kerja KBRI Karachi (Provinsi Sindh) juga ada belasan jemaaah tablig. Tiga diantaranya terinfeksi covid.
Sebenarnya para jemaah tablig yang masuk ke Republik Islam sekitar Januari silam serta beberapa mahasiswa sudah rindu kampung halaman dan sanak famili. Apa boleh buat, mereka harus menunda keinginan itu. “Semua penerbangan keluar masuk Pakistan tutup hingga pertengahan Mei,” ujar diplomat senior itu.
Kendati begitu, masih ada warga masyarakat yang tidak terima penutupan masjid. Seperti yang terjadi di Desa Klapagading Kulon, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dan di Kecamatan Ujung, kota Parepare, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Takmir masjid di Desa Klapagading Kulon Rabu pekan lalu melayangkan surat kepada Camat setempat. Isinya berupa ancaman membongkar tempat ibadah umat muslim karena larangan salat berjamaah.
Sedangkan Camat Andi Ulfah Lanto di kota pesisir Sulsel, diadukan ke polisi oleh masyarakat setempat lantaran melarang warga melakukan salat Jumat di masjid. Warga lantas mengadukan camat wanita itu ke polisi dengan tuduhan penistaan agama.
Gebrakan takmir masjid Desa Klapagading akhirnya luluh setelah bersedia menerima penjelasan dari Camat setempat, perwakilan Kementerian Agama dan Polresta Banyumas. Intinya pelarangan itu demi kemaslahatan umat agar tak terpapar virus corona.
Akan halnya persoalan di Parepare selesai setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulsel menegaskan tindakan sang camat tidak menodai atau menistakan agama. Sama dengan yang disampaikan pejabat di Purwokerto, MUI Sulsel menegaskan tindakan camat tersebut sebagai bentuk usaha lahiriah manusia dalam menghindari wabah corona yang bahayanya sudah jelas dan terbukti memakan banyak korban.
Di Pakistan lain lagi kasusnya. Seperti di Indonesia, mayoritas penduduk negeri ‘saudara kandung” India ini pemeluk Islam. Banyak kelompok Islam fanatik dan militan bermukim di sini.
Wajar jika pemerintah membolehkan masjid-masjid tetap buka pada bulan suci ini. Syaratnya, protokol covid 19 yang ditetapkan pemerintah wajib dipatuhi. Masjid boleh melaksanakan salat lima waktu, salat tarawih dan ibadah sunah lainnya dengan mematuhi ketentuan phisycal distancing (jaga jarak).
Ketentuan itu tidak begitu saja diterima oleh umat Islam setempat. Maklum, mengacu pada sejumlah hadis yang pada umumnya umat Islam patuhi selama ini, salat berjamaah harus dilakukan dengan saf yang rapat. Mereka meyakini salat dengan saf yang renggang tidak sah hukumnya.
Di Karachi, beberapa imam masjid dicokok polisi karena tidak mematuhi protokol tersebut. Geger. Kericuhan jemaah dengan aparat keamanan pun meruyak.
Kisruh berakhir setelah pemerintah setempat dan aparat keamanan bertemu dengan tokoh-tokoh agama. Akhirnya tercapai kesepakatan,"Ibadah di masjid boleh dilanjutkan, asalkan mematuhi protokol kesehatan yang diawasi petugas,” papar Andi Ahmad Bastari, Minister Counsellor KBRI Pakistan kepada SINDOnews.
Jumlah jemaah pun dibatasi dengan pengawasan aparat keamanan. “Bila ada masjid yang berani melanggar kesepakatan, maka sanksinya adalah penggembokan pintu, dan imamnya dibawa ke kantor polisi,” sahutnya.
Salat Tarawih sendiri di negeri Asia Selatan ini memakan waktu cukup lama. Imam-imam salat tarawih membaca surat-surat panjang dalam 21 rakaat. Mereka mematok target untuk khatam Al-Quran sebelum akhir Ramadan. Namun jemaah bergeming. Tidak ada yang meninggalkan masjid sebelum rakaat terakhir tuntas. “Bacaan surat panjang imam tidak menimbulkan kebosanan, karena ayat-ayat suci dilantunkan dengan fasih dan suara merdu,” lanjutnya.
Dalam kondisi normal, pada umumnya suasana Ramadan di Pakistan sama dengan di Indonesia. Pada pagi hari, pasar dan toko sepi. Masyarakat baru beraktivitas menjelang waktu solat zuhur. Bedanya, durasi puasa di Pakistan sedikit lebih lama. Azan subuh pukul 4.00 dan magrib pukul 6.53.
Suasana mulai hidup menjelang sore. Masyarakat mulai menyesaki pasar untuk berbelanja aneka makanan untuk iftar. Keramaian berlangsung hingga larut malam. Semua pusat perbelanjaan, rumah makan, ramai hingga menjelang waktu sahur. Masjid selalu penuh dengan jemaah yang menunaikan salat lima waktu maupun salat tarawih.
KBRI menyelenggarakan buka puasa bersama dengan WNI setiap hari Jumat dan Sabtu. Menu favorit WNI dan diaspora Indonesia sama dengan di tanah air, kolak pisang untuk takjil, lantas sajian utamanya aneka olahan ayam dan daging.
Bagi yang kangen makan tempe, sebenarnya tersedia di sana. Pemasoknya kelompok mahasiswa Indonesia yang mencari tambahan dengan membuat penganan fermentasi kedele. Namun produksinya sangat terbatas. Sebab itu, tutur Bastari,”Tempe merupakan menu istimewa karena langka.”
Selain tempe, ada juga tahu buatan warga negara Tiongkok. Sayang, rasanya,”Tidak seenak tahu Bandung.”
Namun kondisi saat ini sungguh jauh berbeda. Iftar bersama dan tadarus di masjid dilarang. Pemerintah membatasi hanya toko kebutuhan pokok dan apotik yang boleh buka dari pukul 09.00 hingga 17.00. Aktifitas perkantoran menurun drastis.
Sekarang iftar dengan mahasiswa hanya dilakukan secara virtual melalui aplikasi zoom. Sebelum azan magrib berkumandang, Duta Besar RI memberi sambutan, lalu dilanjutkan kultum oleh seorang perwakilan mahasiswa. KBRI memasok sembako ke asrama mahasiswa. Mereka pun melepas lapar dan dahaga di kamar masing-masing.
Jemaah Tablig terjebak
WNI di kota metropolitan Islamabad ada sekitar 250 orang. Pada umumnya mereka berstatus mahasiswa yang belajar di International Islamic University Islamabad. Dan saat ini ada pula sekitar 150 jemaah tablig yang terjebak lockdown di Raiwind dan Islamabad.
Agar mereka tidak terkatung-katung tanpa kejelasan, KBRI memberi perlindungan dan menyuplai sembako. Kondisi kesehatan mereka pun terus dipantau. Sebab, delapan diantara jemaah tablig yang berada di Islamabad sempat terinveksi covid.
Mereka terpaksa dikarantina serta dirawat di rumah sakit setempat. “Satgas yang dibetuk KBRI terus berkomunikasi dengan jemaah dan dokter guna memastikan mereka mendapat perawatan yang memadai,” kata Bastari lagi.
Sejauh ini enam orang sudah dinyatakan sembuh. Dua lainnya masih dalam perawatan. Keduanya tergolong pasien tanpa gejala.
Sedangkan di wilayah kerja KBRI Karachi (Provinsi Sindh) juga ada belasan jemaaah tablig. Tiga diantaranya terinfeksi covid.
Sebenarnya para jemaah tablig yang masuk ke Republik Islam sekitar Januari silam serta beberapa mahasiswa sudah rindu kampung halaman dan sanak famili. Apa boleh buat, mereka harus menunda keinginan itu. “Semua penerbangan keluar masuk Pakistan tutup hingga pertengahan Mei,” ujar diplomat senior itu.
(rza)