Sengkarut Menaklukkan Wabah Virus Korona

Selasa, 15 September 2020 - 06:54 WIB
loading...
Sengkarut Menaklukkan...
Tulus Abadi
A A A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

ANTI klimaks, itulah kira-kira gambaran konkrit upaya pemerintah Indonesia untuk menaklukkan wabah virus korona atau Covid-19. Mulanya, pemerintah tampak begitu pede menjalankan lini kebijakan di bidang ekonomi, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi tetap positif. Dan disisi lain, wabah Covid-19 bisa dikendalikan, alias melandai. Bahkan banyak pejabat pemerintah yang memprediksi wabah Covid-19 akan melandai pada Juni 2020. Namun faktanya prediksi dan skenario itu berbalik arah, pertumbuhan ekonomi meroket ke bawah (nyungsep) hingga minus 5,32% dan wabah Covid-19 makin eskalatif, kini melewati angka 200 ribu kasus positif. Korban meninggal dunia lebih dari 8.000 nyawa melayang karenanya. Tentu hal ini sangat menyedihkan, paradoks, dan absurd. Tidak sulit untuk menjawab mengapa fenomena ini terjadi. Berikut ini beberapa alasannya.

Pertama, pemerintah kurang mengakomodir pendapat/masukan dari para ahli kesehatan masyarakat. Padahal pada masa pandemi seperti ini, profesi yang seharusnya dijadikan rujukan adalah ahli kesehatan masyarakat, bukan ahli lainnya. Sekalipun ahli ekonomi, tetap harus menjadi follower. Oleh karena itu, kebijakan yang ditempuh dimensi kebijakan yang berbasis kesehatan masyarakat adalah menjadi panglima, dan sebaliknya kebijakan di bidang ekonomi menjadi follower terhadap kebijakan kesehatan masyarakat. Sehingga di lapangan pemerintah tidak konsisten dengan kebijakan pengendalian wabah dan lebih menonjolkan adanya aktivitas ekonomi. Sebagai contoh, saat mudik Lebaran. Awalnya pemerintah getol mengampanyekan agar masyarakat tidak mudik. Namun belakangan hari, beberapa menjelang hari raya Idul Fitri, aturan larangan mudik pun dikendurkan, direlaksasi. Contoh lain yang teraktual, pemerintah menambah hari libur panjang saat Tahun Baru Islam, sehingga terjadi long weekend. Hasilnya, menyeruaknya kembali wabah Covid-19 di Jakarta adalah hasil dari libur panjang, adalah dampak long weekend HUT RI ke-75 dan perayaan Tahun Baru Islam tersebut.

Kedua, buruknya pola komunikasi yang dibangun pejabat publik, termasuk oleh Presiden Joko Widodo. Antar pejabat publik saling melempar istilah atau terminologi yang keliru dan menyesatkan. Misalnya mengatakan bahwa virus korona takut dengan sego kucing (pernyataan Menhub), virus korona tidak masuk ke Indonesia karena perizinan sulit (Menko Maritim dan Investasi), atau juga pernyataan Wapres Ma’ruf Amin yang menyatakan bahwa virus korona tidak masuk ke Indonesia karena berkat doa qunut para ulama dan kyai. Pernyataan-pernyataan yang meremehkan ini berimplikasi serius pada sikap dan perilaku masyarakat yang akhirnya juga meremehkan, menggampangkan wabah ini. Dan ending-nya adalah rendahnya kepatuhan masyarakat dalam mewujudkan perilaku yang pro terhadap protokol kesehatan.

Kesalahan komunikasi publik juga dipicu oleh pernyataan Presiden Joko Widodo, yang kala itu mengenalkan istilah new normal, atau normal baru. Terminologi ini ditangkap oleh masyarakat bahwa kondisi sudah normal, sudah aman. Sehingga boleh melakukan aktivitas apapun, dan mengendurnya kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Termasuk banyak tempat ibadah (mushola/masjid) yang melaksanakan ibadah kolektif (berjamaah) tanpa adanya protokol kesehatan sedikitpun: tanpa masker, tanpa jaga jarak! Akhirnya pemerintah pun mengaku adanya kesalahan penggunaan istilah new normal, dan kemudian menggantinya dengan istilah baru, yaitu Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB). Namun istilah itu tidak membumi, masyarakat sudah kadung terpatri dengan istilah new normal.

Ketiga, ketidaksabaran dan ketidakdisiplinan masyarakat secara keseluruhan, dalam menjalankan protokol kesehatan. Fenomena ini lebih dipicu oleh faktor ketidakdisiplinan masyarakat itu sendiri, apalagi dipicu oleh pernyataan dan kebijakan pemerintah yang tidak tegas, bahkan cenderung mencla-mencle. Selain itu, faktor ekonomi/finansial juga berpengaruh signifikan. Apalagi, terbukti selama penerapan PSBB pemerintah tidak cukup mampu meng-cover kebutuhan masyarakat untuk hal-hal mendasar. Akibatnya demi alasan ekonomi pelanggaran terhadap protokol kesehatan tak bisa dihindarkan. Benar pemerintah telah memberikan bantuan bahan pangan, gratis tarif listrik (golongan 450 VA), dan beberapa bentuk subsidi lainnya; namun itu jauh dari memadai dari kebutuhan masyarakat. Memang kemampuan finansial pemerintah untuk hal ini juga sangat terbatas. Inilah yang menyebabkan implementasi PSBB terlihat lembek. Padahal dari sisi konsep kebijakan PSBB itu konsep yang lembek, daripada yang seharusnya dilakukan yaitu karantina wilayah (lockdown), sebagaimana mandat Undang-Undang (UU) tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Saat ini, setelah kasus Covid-19 makin eskalatif dan nyaris tak terkendali di seluruh Indonesia, terkhusus di Jakarta, pemerintah terlihat makin panik. Pasalnya, dengan banyaknya pasien Covid-19 yang harus dirawat, data empiris menunjukkan sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit makin kedodoran, bahkan mendekati kolaps. Termasuk pelayanan rumah sakit di Jakarta. Presiden Jokowi tampak sudah mulai pada rel kebijakan yang benar, dengan menandaskan bahwa kebijakan kesehatan masyarakat untuk menanggulangi pandemi. Tetapi di level menteri, khususnya dalam merespon PSBB DKI Jakarta tampak simpang siur. Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Kementerian Koordinator Ekonomi, bahkan wakil Menteri Luar Negeri, secara tersurat menolak PSBB DKI Jakarta. Hanya kementerian Kesehatan yang tegas mengatakan bahwa PSBB DKI Jakarta jilid II masih sesuai dengan perizinan yang diberikan Kemenkes, saat PSBB edisi April 2020.

Memang pada konteks kesehatan masyarakat, upaya Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah daerah lain untuk memberlakukan kembali PSBB secara total, patut didukung. Namun efektivitas PSBB ini di lapangan masih meragukan, dikarenakan beberapa hal, yaitu: pertama, Pemprov DKI— bahkan pemerintah pusat, bisa jadi sudah tak cukup punya fulus untuk memberikan kompensasi pada masyarakat yang terdampak PSBB tersebut. Mengingat, selama pandemi dana pemerintah sudah terkuras, dan di sisi lain pendapatan Pemprov DKI menurun drastis (turun 53%). Kedua, kepatuhan masyarakat sudah sangat melemah, masyarakat nyaris tak punya rasa takut lagi dengan Covid-19. Persoalan ekonomi bisa jadi menjadi pemicu utamanya. Ustadz kondang, Aa Gym, dalam suatu ceramahnya memberikan ilustrasi begini: dulu, di awal pandemi saat wabahnya masih kecil, masyarakat masih punya rasa takut. Sekarang, saat wabahnya makin luas, rasa takut masyarakat malah sudah hilang.

Oleh karena itu, agar wabah Covid-19 bisa terkendali, maka ada beberapa catatan serius, yaitu; pertama, pemerintah harus konsisten mewujudkan aspek pengendalian dan kesehatan masyarakat sebagai panglima, bukan ekonomi sebagai panglima. Kunci utamanya kendalikan dan bereskan dulu masalah wabahnya, nanti aspek ekonomi akan mengikuti. Aspek ekonomi adalah follower dari aspek kesehatan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Jangan lagi ada kebijakan yang cenderung kompromistis, yang berujung pada pencapakan tersadap sektor kesehatan masyarakat. Paradigma keliru yang selama ini diusung pemerintah harus dibuang jauh-jauh.

Kedua, harus ada sanksi tegas bagi siapapun yang melanggar protokol kesehatan, selama penerapan PSBB berlangsung. Apalagi pada akhir 2020 ada hajatan Pilkada serentak. Sebuah kebijakan yang sangat ironis di tengah pandemi yang masih sangat mendominasi. PSBB itu instrumen kebijakan yang lemah untuk mengendalikan wabah Covid-19 (yang seharusnya karantina wilayah, lockdown), jangan diperlemah lagi dengan kebijakan yang inkonsisten dan rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat. Ini adalah pertaruhan terakhir bagi upaya pemerintah untuk mengendalikan wabah Covid-19, demi melindungi warganya.

Jangan mimpi pertumbuhan ekonomi akan membaik jika pandemi Covid-19 tak mampu dikendalikan. Dan Jangan mimpi pula bisa mendatangkan wisatawan asing ke Indonesia, alih alih yang ada malah 59 negara di dunia memberikan travel warning agar tidak menyambangi Indonesia. Jadi jangan lagi membuang waktu percuma, jangan mencampakkan momen emas (golden moment) untuk menaklukkan pandemi Covid-19. Konsistenlah dengan paradigma kesehatan masyarakat sebagai panglima, walau terasa terjal.
(ras)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1047 seconds (0.1#10.140)