Bu Tejo dan Satire Pilkada

Jum'at, 11 September 2020 - 07:00 WIB
loading...
Bu Tejo dan Satire Pilkada
Rio Christiawan
A A A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

BELAKANGAN ini masyarakat ramai membicarakan film pendek berjudul ‘Tilik’. Bahkan film yang dibuat tahun 2018 tersebut sempat trending di media sosial belakangan ini. Selain film berjudul Tilik tersebut memenangi banyak penghargaan, substansi film Tilik tersebut juga sarat akan pesan moral yang dapat direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Film Tilik tidak lepas dari sosok Bu Tejo yang begitu menarik perhatian masyarakat dengan segala pro dan kontranya. Bu Tejo membuat film Tilik menjadi lebih hidup dan menarik. Karakter yang digambarkan melalui peran Bu Tejo membuat film tersebut dapat menyampaikan banyak pesan pada masyarakat.

Artikel ini tidak membahas ‘aneka gosip’ Bu Tejo, dalam artikel ini akan membahas realita di balik pilkada yang saat ini juga akan digelar secara serentak pada akhir tahun. Karakter Bu Tejo yang digambarkan bahwa suaminya akan menjadi calon kepala desa (lurah) tengah melakukan ‘black campaign’ termasuk melakukan politik uang (money politic). Termasuk penggambaran sosok Bu Tejo yang menggunakan acara ‘tilik’ untuk agenda tersembunyinya. Tilik dalam bahasa jawa berarti mengunjungi.

Jabal Tarik Ibrahim (2015) menguraikan bahwa secara sosiologis, tilik mempunyai makna yang positif untuk semakin membuat erat hubungan masyarakat, khususnya pada masyarakat paguyuban. Bu Tejo dan film Tilik memberi gambaran reflektif bahwa budaya yang baik dipergunakan sebagai alat politik yang pada akhirnya justru dapat memecah belah masyarakat. Gambaran ini persis terjadi secara empiris dengan fakta di tengah masyarakat, misalnya budaya yang baik yakni gotong royong penyerahan paket pandemi di tengah pandemi.

Secara esensi penyerahan bantuan sebagai bagian dari gotong royong adalah budaya yang baik, namun fakta beberapa oknum menyelipkan pesan politik maupun menaruh foto sebagai bagian dari kampanye adalah bagian dari ‘sabotase budaya yang baik’. Dalam film Tilik sabotase budaya yang baik demi tujuan politik, secara reflektif digambarkan dalam adegan Bu Tejo memberi ide yang ‘solutip’ untuk merubah rencana ‘tilik’ menjadi berwisata ke pasar Beringharjo.

Sabotase Budaya Baik
Dalam waktu dekat pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan digelar dan saat ini tahapan pendaftaran calon kepala daerah sudah dimulai, sebagaimana dibanyak pemberitaan yang tersaji bahwa rivalitas politik sudah terjadi di masyarakat. Rivalitas politik merupakan hal yang wajar pada kontestasi politik, bahkan pilihan yang berbeda juga merupakan hal yang wajar. Masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa berbeda bukan berarti bermusuhan. Salah satu esensi dari demokrasi adalah menerima perbedaan pilihan.

Adegan ‘gosip’ Bu Tejo mengenai latar belakang keluarga sang kepala desa secara reflektif menunjukkan bahwa ‘black campaign’ masih terjadi di tengah masyarakat menjelang kontestasi politik. Dalam realitas masyarakat, khususnya pada masa kontestasi politik adanya budaya paguyuban yang baik justru hanya dipergunakan untuk mengumpulkan masa dan menyebarluaskan kampanye hitam baik terkait dengan isu personal lawan politik maupun sebagai ajang pelaksanaan kampanye uang (money politic).

Kuntjoroningrat (1990), menjelaskan bahwa budaya yang baik dapat merekatkan kembali masyarakat akibat adanya perbedaan di tengah masyarakat. Masyarakat dan para politisi harus menyadari bahwa budaya yang baik bukan untuk di eksploitasi demi mengumpulkan masa maupun kepentingan kampanye lainnya. Kerap kali kampanye politik pada masa pilkada menggunakan ‘modus’ menumpangi budaya yang baik demi tercapainya tujuan politik. Seperti lumrah disaksikan pada masa kampanye adanya kegiatan bakti sosial, kegiatan ibadah bersama, termasuk berbagai kegiatan yang mengeksploitasi empati masyarakat.

Sebagaimana dapat disaksikan dalam film Tilik bahwa budaya tilik yang seharusnya menjadi momen yang baik untuk membuat warga semakin erat justru kegiatan tilik membuat warga terbelah. Situasi tersebut secara reflektif menggambarkan kondisi masyarakat yang terbelah karena kontestasi politik. Hal ini dapat terjadi karena budaya baik yang seharusnya dipergunakan sebagai sarana membuat masyarakat semakin erat dan membentuk paguyuban di tengah masyarakat dieksploitasi demi kepentingan politik yang justru membuat masyarakat terbelah karena perbedaan pilihan politik. Masyarakat dalam hal ini perlu menyadari bahwa budaya yang baik perlu dilakukan secara tulus tanpa modus demi eratnya masyarakat dan agar tidak terbelah dengan adanya agenda politik seperti pilkada.

Pada aspek lainnya film Tilik memberi kesadaran bahwa masyarakat Indonesia sejatinya memiliki budaya yang baik untuk saling menjadi bagian satu sama lain, dalam konteks filosofis budaya tilik terbentuk karena masyarakat saling menjadi bagian satu sama lain. Hal tersebut merupakan salah satu ciri masyarakat paguyuban yang memiliki kebersamaan yang tinggi dan hubungan yang erat satu sama lain. Kondisi seharusnya merupakan modal yang baik bagi masyarakat untuk memiliki kebersamaan yang baik untuk tidak terpecah belah karena adanya agenda politik seperti pilkada yang akan dilaksanakan.

Sebaliknya film Tilik juga memberikan kesadaran bahwa cara berpolitik dan cara menyajikan kontestasi politik di Indonesia masih melakukan eksploitasi dan sabotase terhadap budaya baik yang seharusnya dipergunakan untuk merekatkan masyarakat dari dampak terbelahnya masyarakat karena kontestasi politik. Masyarakat sebagai pemilih (voters) dan para politisi yang mengambil bagian dalam kontestasi politik perlu menyadari bahwa menyampaikan kebaikan bukan dengan melakukan eksploitasi dan sabotase terhadap budaya baik yang dimiliki oleh masyarakat.

Penggambaran karakter Bu Tejo digambarkan dengan sangat baik, terbukti dalam hal ini terjadi ‘keriuhan’ dan memancing komentar pro dan kontra masyarakat. Dalam hal ini sesungguhnya keriuhan masyarakat dan pro-kontra yang ada terkait karakter Bu Tejo dalam film Tilik justru akan memberi kesadaran pada masyarakat untuk kembali pada budaya yang baik, serta memanfaatkan budaya yang baik tersebut untuk membuat masyarakat semakin erat.

Film Tilik yang menjadi percakapan masyarakat belakangan ini justru dapat melahirkan kesadaran masyarakat pentingnya menjaga budaya baik dan semangat paguyuban pada masa kontestasi politik, yakni gelaran pilkada yang segera dilaksanakan dan kini telah memasuki tahapan persiapan dan pendaftaran calon. Riuhnya komentar masyarakat saat ini terkait karakter Bu Tejo dalam film Tilik sesungguhnya secara sosiologis berdampak positif pada masyarakat untuk melahirkan kesadaran akan budaya baik sebagai budaya yang menyatukan dan menjaga masyarakat dari ancaman keterbelahan sebagai akibat adanya kontestasi politik.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1113 seconds (0.1#10.140)