Menyoal Kontra PK Djoko Tjandra

Kamis, 10 September 2020 - 06:37 WIB
loading...
Menyoal Kontra PK “Djoko Tjandra”
Kardiansyah Afkar
A A A
Kardiansyah Afkar
Praktisi Hukum, Wakil Direktur Institute for Indonesian Critical Legal Studies, dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM.

JALAN panjang sang buron Djoko Tjandra, terpidana Tindak Pidana Korupsi kasus cessie Bank Bali akhirnya berakhir dan memasuki babak baru. Kasus Djoko Tjandra sebenarnya merupakan persoalan hukum yang sangat kompleks. Dimana dibalik pelarian Djoko Tjandra ternyata banyak pula melakukan pelanggaran hukum dalam hal ini tindak pidana baru seperti pemalsuan dokumen dan suap-menyuap. Tetapi dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas persoalan tindak pidana baru yang dilakukan oleh Djoko Tjandra. Tulisan ini hanya akan mengulas mengenai perdebatan PK yang diajukan oleh Djoko Tjandra terhadap putusan PK oleh Jaksa atau dapat diistilahkan sebagai kontra PK.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia, Peninjauan Kembali (PK) digolongkan sebagai upaya hukum luar biasa. Upaya hukum merupakan suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang bagi seseorang maupun badan hukum, dalam hal tertentu untuk melakukan perlawanan terhadap suatu putusan hakim yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Sementara upaya hukum luar biasa diartikan sebagai suatu upaya bagi terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan lembaga peradilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, PK diartikan sebagai instrumen hukum yang amat sangat luar biasa dalam sistem peradilan.

Secara yuridis-formal, PK diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang menyebutkan bahwa “terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terdakwa atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”. Kemudian, dasar pengajuan permohona PK, setidaknya ada beberapa alasan-alasan yang dijadikan dasar dalam pengajuannya yaitu: a) terdapat keadaan baru; b) putusan yang dinyatakan telah terbutkti telah bertentangan satu dengan yang lainnya; c) adanya suatu kekhilafan dan kekeliruan yang nyata; dan, d) apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan(vide Pasal 269 KUHAP).

Setidaknya ada tiga alasan utama untuk mengajukan PK yaitu: Pertama, karena adanya suatu keadaan baru atau bukti baru (novum). Kedua, terdapat kekeliruan dan kekhilafan yang nyata. Ketiga, terdapat suatu pertentangan antara pertimbangan dan putusan.

Memahami Instrumen PK
Secara historis instrumen PK pertama kali diperkenalkan pada tahun 1930-an, dalam sistem Peradilan Pidana di Jerman. Upaya hukum luar biasa tersebut pertama kali dilakukan dalam kasus dugaan pembocoran rahasia negara oleh salah seorang agen rahasia Jerman. Bahwa agen rahasia Jerman tersebut diduga melakukan tindak pidana karena telah membocorkan rahasia negara. Dalam sidang kasus agen rahasia tersebut majelis hakim pengadilan negeri Jerman yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut menjatuhkan vonis bersalah. Namun setelah beberapa tahun kemudian ditemukan adanya suatu keadaan baru dan/atau bukti baru (novum), yang mana dalam novum tersebut terungkap suatu fakta bahwa ternyata yang membocorkan rahasia negara bukanlah terpidana melainkan orang lain. Karena ditemukan adanya suatu novum dalam perkara agen rahasia Jerman tersebut, maka ia melakukan permohonan PK dihadapan pengadilan Jerman.

Dalam persidangan PK tersebut terungkap suatu fakta baru bahwa agen rahasia Jerman tersebut tidak terbukti bersalah melakukan perbuatan tindak pidana berupa pembocoran rahasia negara. Bahwa yang membocorkan rahasia negara tersebut melainkan orang lain. Berdasar novum tersebut pengadilan Jerman membebaskan agen rahasia Jerman dengan mengeluarkan putusan bebas. Dalam peristiwa inilah instrumen PK pertama kali dikenal dalam sistem peradilan pidana. Lalu, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah dalam sistem hukum peradilan Pidana Indonesia Jaksa dapat mengajukan PK?

Apabila melihat aspek yuridisi-formalnya Peninjauan Kembali (PK) merupakan instrumen hukum bagi terdakwa bukan untuk Jaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHAP. Tentunya hal ini berbeda dengan sistem hukum Pidana Jerman. Dalam KUHAP Jerman menyebutkan bahwa “Jaksa harus mencari bukti-bukti baru dalam rangkaian mencari suatu kebenaran materil”. Secara expressive KUHAP Jerman memberikan instrumen PK tidak hanya bagi terdakwa/terpidana tetapi juga diberikan kepada Jaksa. Tetapi perlu diketahui bahwa dalam KUHAP Jerman konsep PK yang diberikan kepada Jaksa ialah dalam rangka untuk mencari suatu kebenaran materil. Artinya instrumen PK yang diberikan kepada Jaksa dalam KUHAP Jerman bukanlah semata-mata diperuntukkan untuk memberatkan terdakwa/terpidana, tetapi juga sebagai instrumen untuk meringankan bahkan membebaskan terdakwa/terpidana. Karena, hakikatnya instrumen PK sebagai upaya hukum luar biasa adalah untuk mencari kebenaran materil dalam rangka menegakkan rasa keadilan, sebagaimana contoh kasus tersebut. Dalam hal kaitannya dengan upaya PK oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus Djoko Tjandra, apakah dapat dibenarkan?

Menurut hemat penulis, PK oleh Jaksa dalam sistem Peradilan Pidana Indonesia dapat saja dibenarkan, selama hal itu benar-benar dilakukan untuk mencari kebenaran materil.

PK terhadap Putusan PK
Dalam teori ilmu hukum dikenal asas res judicata in criminalibus. Asas ini menjelaskan bahwa dalam suatu perkara haruslah ada akhir atau ujungnya. Jika dikaitkan dengan upaya kontra PK yang diajukan oleh Djoko Tjandra terhadap putusan PK yang diajukan oleh Jaksa. Bahwa secara praktik upaya hukum terhadap putusan PK (“PK terhadap putusan PK”) belum pernah dilakukan dalam sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bahkan mungkin hal ini merupakan sesuatu yang baru dalam praktik sistem peradilan pidana Indonesia. Putusan PK yang katagorinya merupakan upaya hukum luar biasa, namun masih dapat dilakukan upaya hukum (kontra PK) akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Bahwa putusan hakim yang memeriksa dan memutus PK yang diajukan oleh Jaksa dalam perkara Djoko Tjandra haruslah tetap dihormati. Sebagaimana dalam teori ilmu hukum dikenal asas hukum res judicata pro veritate habetur, yang berarti bahwa putusan hakim haruslah dianggap benar dan dihormati. Oleh karena itu, apabila majelis hakim menerima kontra PK yang diajukan oleh Djoko Tjandra maka secara mutatis mutandis hal itu dapat dikatakan bertentangan dengan asas res judicata in criminalibus. Maka Putusan PK yang menvonis Djoko Tjandra dua tahun penjara telah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat (incraht van gewijsde), serta merupakan putusan akhir dari ujung penyelesaian kasus korupsi Djoko Tjandra. Salam anti korupsi.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0676 seconds (0.1#10.140)