Banyak Regulasi Pelindungan Data Pribadi, Kominfo: Harus Disatukan di RUU PDP
loading...
A
A
A
JAKARTA - Maraknya kebocoran data, serangan peretas, hingga penipuan memunculkan desakan agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) segera disahkan. Terlebih lagi saat situasi pandemi, pemanfaatan internet atau aplikasi daring meningkat pesat sehingga dapat berpotensi terhadap kebocoran data pribadi.
Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Henri Subiakto memaparkan penggunaan aplikasi daring di saat pandemi Covid-19 melonjak drastis hingga 443%, terutama saat diterapkan kebijakan bekerja dari rumah (WFH). Beragam aplikasi dimanfaatkan untuk belajar, bekerja, hingga konsultasi kesehatan. Begitu juga peningkatan ritel daring yang merangsek sampai 400%. Selain itu, penggunaan televisi juga melonjak sebesar 80%. (Baca juga: Komisi I DPR RI Sepakat RUU Perlindungan Data Dikebut)
Tanpa disadari, pandemi Covid-19 juga memunculkan adaptasi membuat transnformasi digital berjalan cepat. Di sisi lain, fenomena itu menyebabkan maraknya kebocoran data hingga meningkatnya serangan terhadap sistem informasi elektronik yang mencoba untuk mencuri data pribadi. “Data pribadi sering bocor, bahkan diberikan. Terutama saat kita bekerja dari rumah atau di luar kantor dengan memanfaatkan akses Wifi yang belum tentu aman. Memang itu berbahaya, makanya ada kenaikan serangan,” ujar Henri dalam seminar daring, Rabu (9/9/2020).
Berdasarkan informasi yang diperolehnya dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dalam satu bulan bisa mencapai jutaan serangan berupa malware, Trojan, penipuan yang salah satu tujuannya untuk mengambil data pribadi dalam sistem informasi tersebut. Bahkan, dalam 1 hari bisa terjadi 3,5 juta serangan peretas (hacker) dari dalam maupun luar negeri. Kebocoran ini, lanjut Henri dikarenakan beberapa hal, antara lain kurangnya pemahaman terhadap resiko, tergiur dengan tawaran hadiah menarik, serangan peretas, dan tidak ada pilihan karena regulasi tidak melindungi atau mengatur. (Baca juga: Sepakat Bahas RUU Perlindungan Data Pribadi, Menkominfo-DPR Siap Tancap Gas)
Apalagi di era digital saat ini, semua aktivitas selalu terkait dengan data pribadi. Misalnya, penggunaan media sosial, aplikasi e-commerce, dan lainnya. Maka itu, perlu regulasi yang kuat dan komprehensif untuk memastikan pelindungan terhadap data pribadi. Di Indonesia, regulasi pelindungan itu tersebar pada beragam sektor seperti keuangan, kesehatan, kependudukan, telekomunikasi, perbankan, perdagangan, dan lainnya. Kurang lebih ada 32 regulasi mencakup pelindungan data pribadi seperti UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), PP No. 71 Tahun 2019, dan lainnya. “Masih banyak tersebar. Makanya harus disatukan dalam regulasi yang tunggal, yang lebih utuh, komprehensif. Itulah RUU PDP,” tukasnya.
Dia pun membandingkan lebih 132 negara lainnya yang telah memiliki instrumen hukum secara khusus untuk mengatur mengenai privasi dan data pribadi warga negaranya. Di kawasan ASEAN, beberapa negara itu antara lain Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.
Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Henri Subiakto memaparkan penggunaan aplikasi daring di saat pandemi Covid-19 melonjak drastis hingga 443%, terutama saat diterapkan kebijakan bekerja dari rumah (WFH). Beragam aplikasi dimanfaatkan untuk belajar, bekerja, hingga konsultasi kesehatan. Begitu juga peningkatan ritel daring yang merangsek sampai 400%. Selain itu, penggunaan televisi juga melonjak sebesar 80%. (Baca juga: Komisi I DPR RI Sepakat RUU Perlindungan Data Dikebut)
Tanpa disadari, pandemi Covid-19 juga memunculkan adaptasi membuat transnformasi digital berjalan cepat. Di sisi lain, fenomena itu menyebabkan maraknya kebocoran data hingga meningkatnya serangan terhadap sistem informasi elektronik yang mencoba untuk mencuri data pribadi. “Data pribadi sering bocor, bahkan diberikan. Terutama saat kita bekerja dari rumah atau di luar kantor dengan memanfaatkan akses Wifi yang belum tentu aman. Memang itu berbahaya, makanya ada kenaikan serangan,” ujar Henri dalam seminar daring, Rabu (9/9/2020).
Berdasarkan informasi yang diperolehnya dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dalam satu bulan bisa mencapai jutaan serangan berupa malware, Trojan, penipuan yang salah satu tujuannya untuk mengambil data pribadi dalam sistem informasi tersebut. Bahkan, dalam 1 hari bisa terjadi 3,5 juta serangan peretas (hacker) dari dalam maupun luar negeri. Kebocoran ini, lanjut Henri dikarenakan beberapa hal, antara lain kurangnya pemahaman terhadap resiko, tergiur dengan tawaran hadiah menarik, serangan peretas, dan tidak ada pilihan karena regulasi tidak melindungi atau mengatur. (Baca juga: Sepakat Bahas RUU Perlindungan Data Pribadi, Menkominfo-DPR Siap Tancap Gas)
Apalagi di era digital saat ini, semua aktivitas selalu terkait dengan data pribadi. Misalnya, penggunaan media sosial, aplikasi e-commerce, dan lainnya. Maka itu, perlu regulasi yang kuat dan komprehensif untuk memastikan pelindungan terhadap data pribadi. Di Indonesia, regulasi pelindungan itu tersebar pada beragam sektor seperti keuangan, kesehatan, kependudukan, telekomunikasi, perbankan, perdagangan, dan lainnya. Kurang lebih ada 32 regulasi mencakup pelindungan data pribadi seperti UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), PP No. 71 Tahun 2019, dan lainnya. “Masih banyak tersebar. Makanya harus disatukan dalam regulasi yang tunggal, yang lebih utuh, komprehensif. Itulah RUU PDP,” tukasnya.
Dia pun membandingkan lebih 132 negara lainnya yang telah memiliki instrumen hukum secara khusus untuk mengatur mengenai privasi dan data pribadi warga negaranya. Di kawasan ASEAN, beberapa negara itu antara lain Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.
(cip)