Pengamat: Politik Identitas Selalu Terjadi dalam Pilkada

Rabu, 09 September 2020 - 09:57 WIB
loading...
Pengamat: Politik Identitas Selalu Terjadi dalam Pilkada
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 baru memasuki tahap pembukaan, yakni pendaftaran bakal pasangan calon (bapaslon). Foto/Okezone
A A A
JAKARTA - Pemilihan kepala daerah ( Pilkada) 2020 baru memasuki tahap pembukaan, yakni pendaftaran bakal pasangan calon (bapaslon). Namun, sejumlah pihak mewanti-wanti para kandidat untuk tidak menggunakan politik identitas dalam kampanye nanti.

Pengamat Politik, Idil Akbar mengatakan politik identitas itu selalu menempatkan orang lain berbeda dari dirinya. Dia mengutip pernyataan Buya Syafii Ma’arif yang menyebut tiga komponen politik identitas di Indonesia itu agama, etnis, dan ideologi politik. Jadi SARA merupakan bagian dari politik identitas. (Baca juga: Cegah Isu Politik Identitas, Paslon Pilkada Harus Bisa Beradu Program dan Gagasan)

Dia mengungkapkan dalam setiap gelaran pilkada, politik identitas itu selalu terjadi. Beberapa elite politik selalu menyatakan politik identitas itu mengancam nasionalisme, persatuan, dan keindonesiaan. Namun, politik identitas itu tidak bisa dihilangkan dan suatu keniscayaan.

“Itu kemudian oleh berbagai kalangan, seperti pemangku kepentingan dan para kandidat selalu menempatkan diri pada posisi yang berpotensi mendapatkan dukungan. Makanya, kemudian yang banyak disampaikan soal identitas. Contohnya, ada beberapa calon dari suku tertentu, dia akan mencoba mengkapitalisasi keidentitasan sehingga suku tersebut cenderung memilihnya,” tuturnya saat dihubungi SINDOnews, Selasa (8/9/2020).

Penggunaan politik identitas ini akan membuat bahasan tidak beranjak dari faktor sosiologis. Para kandidat seharusnya beradu visi, misi, dan platform bukan mengedepankan keterikatan sosiologis, sejarah, keluarga, kesukuan, agama, dan sebagainya.

“Kalau seperti itu terus, friksi-friksi di masyarakat akan tetap terjadi. Yang dikedepankan saya suku ini, suku sana calon lain, ini jarang ketemu. Kalau yang muncul tawaran dari masing-masing orang lalu diperdebatkan dalam suksesi kepemimpinan tanpa melihat latar belakang identitas, saya pikir itu yang kita harapkan,” jelas Idil.

Namun, Dosen Universitas Padjajaran itu sanksi politik identitas akan hilang dalam Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah. Sebab, secara konstitusional tidak ada aturan yang cukup untuk memberikan sanksi terhadap masalah ini. Hanya para kandidat dan tim suksesnya yang dilarang mengusung SARA dalam kontestasi politik. Sulit untuk membendung penggunaan politik identitas di akar rumput. (Baca juga: Jokowi Minta Politik Identitas Tak Digunakan di Pilkada Serentak 2020)

“Pendukung dan masyarakat awam akan melihat sisi identitas bagian dari keberpihakannya terhadap yang mereka pilih. Ini agak sulit. Saya misalnya, akan melihat calon pemimpin yang berasal dari mana, agama, ideologi, dan politik. Islam akan cenderung memilih pemimpin politik Islam. Orang Melayu cenderung memilih Melayu, dan nasionalis akan memilih nasionalis,” pungkasnya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2239 seconds (0.1#10.140)