Elite Diminta Tak Berdebat di Depan Publik Terkait Penanganan Corona
A
A
A
JAKARTA - Para elite di negeri ini diminta tidak berdebat dan saling silang pendapat di hadapan publik dalam menanggulangi wabah corona (COVID-19) di Tanah Air. Pasalnya, perdebatan itu justru membuat rakyat yang sedang kesusahan menjadi bingung.
"Satu, sekarang ini kesehatan, keselamatan warga diutamakan. Para elite politik itu sebisa mungkin jangan debat di depan publik. Jadi kalau berbeda ya dikumpulkanlah, Presiden mengundang, ngomong tertutup, jangan ke masyarakat," kata Cendekiawan Muslim, Komaruddin Hidayat saat dihubungi SINDO Media, Minggu (5/4/2020).
"Nih rakyat tambah bingung aja, rakyat menderita tapi elite malah pada berdebat, ada lagi mengkaitkan dengan manuver politik dan sebagainya. Ini menyakitkan rakyat," tambahnya.
(Baca juga: Kriteria Daerah Bisa Laksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar)
Pria yang akrab disapa Prof Komar ini menjelaskan, Pemilu diselenggarakan dengan ongkos yang mahal, baik tenaga maupun biaya untuk memilih para elite di DPR maupun di eksekutif. Semestinya, para pejabat di legislatif dan juga di eksekutif yang dipilih dengan ongkos yang mahal itu, menjalankan kewajibannya untuk melayani rakyat, bukan mengejar jabatan atau proyek semata.
"Sekarang kesempatan menunjukkan kepada rakyat bahwa kami (elite), kamu (rakyat) pilih demi melindungi engkau, para konstituen. Buktikan itu. Jadi kalau mereka pada bertengkar yang dipikir proyek misalnya, itu menyakitkan hari rakyat itu," tegasnya.
Selain itu, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini meminta, agar masyarakat dan Pemerintah bersatu, karena pengalaman negara lain menunjukkan, pandemi ini bisa dihadapi dengan kebersamaan. Serta, jangan saling menyalahkan.
Dia meyakini, krisis ini akan segera berakhir. Bahkan, dia punya firasat bahwa jumlah kasus akan menurun saat memasuki bulan Ramadan, tetapi masyarakat harus tetap berhati-hati. "Jangan saling menyalahkan, nanti setelah selesai silakan debat lagi. Ini untuk keselamatan bersama," pinta Prof Komar.
Kemudian dia melanjutkan, jangan anggap enteng pandemi ini, karena ada sekelompok kecil dari agama Islam, Kristen dan Hindu itu dengan keyakinan agama mereka malah seakan-akan menantang corona. Tetapi, dia merasa lega karena secara makro, umat beragama menghargai sains, dan ikut mengantisipasi penyebaran COVID-19.
Menurut Komar, untuk di Indonesia itu memang tidak mudah karena, apapun keputusannya ini memang tidak menggembirakan semua pihak. Kalau ditutup rapat, tidak boleh bergerak itu implikasinya juga besar karena harus memenuhi kebutuhan rakyat dan ini juga berat.
"Di sini, sebaiknya masyarakat yang menganggur bisa pulang ke kampung halaman dengan penuh kehati-hatian, dan Pemda juga perlu mengantisipasi itu. Ini (mudik) bisa meringankan secara psikologis dan ekonomis, tapi dengan catatan Pemerintah Daerah harus siap, harus tegas di daerah itu untuk menjaga mereka. Yang positif harus diisolasi, social distancing," ungkapnya.
"Sebab memang berat sekali tinggal di ibu kota kemudian nganggur, berat sekali, beda dengan di daerah. Tapi memang sekarang ini Gubernur, kepala daerah sampai camat, lurah harus betul-betul menjaga kesehatan warganya," imbuhnya.
Lebih dari itu ia menambahkan, dengan adanya bencana pandemi ini, ia berharap bahwa rakyat semakin menyadari bahwa siapapun yang jadi pemimpin itu harus betul-betul punya kualitas dan dedikasi untuk rakyat.
Karena, ujian seorang pemimpin itu waktu krisis dan saat krisis masyarakat bisa menilai siapa pemimpin yang peduli dan yang cakap. Ini akan teruji baik di eksekutif maupun legislatif.
"Jadi ke depan memilih pemimpin ke depan itu bayangkan kalau masa krisis. Karena Indonesia itu dekat dengan krisis, banjir, tsunami, gunung meletus. Bayangkan kalau pandemi ini bareng dengan banjir atau gunung meletus, bagaimana coba. Pemimpin bayangkan saat krisis, jangan enak-enaknya saja," tandas Komar.
"Satu, sekarang ini kesehatan, keselamatan warga diutamakan. Para elite politik itu sebisa mungkin jangan debat di depan publik. Jadi kalau berbeda ya dikumpulkanlah, Presiden mengundang, ngomong tertutup, jangan ke masyarakat," kata Cendekiawan Muslim, Komaruddin Hidayat saat dihubungi SINDO Media, Minggu (5/4/2020).
"Nih rakyat tambah bingung aja, rakyat menderita tapi elite malah pada berdebat, ada lagi mengkaitkan dengan manuver politik dan sebagainya. Ini menyakitkan rakyat," tambahnya.
(Baca juga: Kriteria Daerah Bisa Laksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar)
Pria yang akrab disapa Prof Komar ini menjelaskan, Pemilu diselenggarakan dengan ongkos yang mahal, baik tenaga maupun biaya untuk memilih para elite di DPR maupun di eksekutif. Semestinya, para pejabat di legislatif dan juga di eksekutif yang dipilih dengan ongkos yang mahal itu, menjalankan kewajibannya untuk melayani rakyat, bukan mengejar jabatan atau proyek semata.
"Sekarang kesempatan menunjukkan kepada rakyat bahwa kami (elite), kamu (rakyat) pilih demi melindungi engkau, para konstituen. Buktikan itu. Jadi kalau mereka pada bertengkar yang dipikir proyek misalnya, itu menyakitkan hari rakyat itu," tegasnya.
Selain itu, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini meminta, agar masyarakat dan Pemerintah bersatu, karena pengalaman negara lain menunjukkan, pandemi ini bisa dihadapi dengan kebersamaan. Serta, jangan saling menyalahkan.
Dia meyakini, krisis ini akan segera berakhir. Bahkan, dia punya firasat bahwa jumlah kasus akan menurun saat memasuki bulan Ramadan, tetapi masyarakat harus tetap berhati-hati. "Jangan saling menyalahkan, nanti setelah selesai silakan debat lagi. Ini untuk keselamatan bersama," pinta Prof Komar.
Kemudian dia melanjutkan, jangan anggap enteng pandemi ini, karena ada sekelompok kecil dari agama Islam, Kristen dan Hindu itu dengan keyakinan agama mereka malah seakan-akan menantang corona. Tetapi, dia merasa lega karena secara makro, umat beragama menghargai sains, dan ikut mengantisipasi penyebaran COVID-19.
Menurut Komar, untuk di Indonesia itu memang tidak mudah karena, apapun keputusannya ini memang tidak menggembirakan semua pihak. Kalau ditutup rapat, tidak boleh bergerak itu implikasinya juga besar karena harus memenuhi kebutuhan rakyat dan ini juga berat.
"Di sini, sebaiknya masyarakat yang menganggur bisa pulang ke kampung halaman dengan penuh kehati-hatian, dan Pemda juga perlu mengantisipasi itu. Ini (mudik) bisa meringankan secara psikologis dan ekonomis, tapi dengan catatan Pemerintah Daerah harus siap, harus tegas di daerah itu untuk menjaga mereka. Yang positif harus diisolasi, social distancing," ungkapnya.
"Sebab memang berat sekali tinggal di ibu kota kemudian nganggur, berat sekali, beda dengan di daerah. Tapi memang sekarang ini Gubernur, kepala daerah sampai camat, lurah harus betul-betul menjaga kesehatan warganya," imbuhnya.
Lebih dari itu ia menambahkan, dengan adanya bencana pandemi ini, ia berharap bahwa rakyat semakin menyadari bahwa siapapun yang jadi pemimpin itu harus betul-betul punya kualitas dan dedikasi untuk rakyat.
Karena, ujian seorang pemimpin itu waktu krisis dan saat krisis masyarakat bisa menilai siapa pemimpin yang peduli dan yang cakap. Ini akan teruji baik di eksekutif maupun legislatif.
"Jadi ke depan memilih pemimpin ke depan itu bayangkan kalau masa krisis. Karena Indonesia itu dekat dengan krisis, banjir, tsunami, gunung meletus. Bayangkan kalau pandemi ini bareng dengan banjir atau gunung meletus, bagaimana coba. Pemimpin bayangkan saat krisis, jangan enak-enaknya saja," tandas Komar.
(maf)