MUI: Begini Tata Cara Pemulasaran Jenazah COVID-19
A
A
A
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan panduan terkait pemulasaran jenazah yang meninggal akibat virus Corona (COVID-19). Selain mengikuti standar atau protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah, proses tersebut harus juga memperhatikan ketentuan agama.
“Di dalam konteks hak-hak duniawi, ada hal yang harus dipenuhi yaitu mulai dari pemandian, pengkafanan, kemudian penyalatan kemudian penguburan. Protokol-protokol kesehatan perlu dijaga tetapi pada saat yang sama ketentuan agama harus ditaati,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni'am Saleh, saat memberikan keterangan pers di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Sabtu (4/4/2020). (Baca juga: MUI Undang Dua Guru Besar Bahas Fatwa Soal Corona
Proses diawali dengan memandikan jenazah. Asrorun menyampaikan, jenazah yang dinyatakan positif Corona boleh dimandikan. Proses pemandian pun dapat dilakukan tanpa melepaskan pakaian hingga ditayamumkan. “Proses memandikan ini tidak mesti harus dilepas bajunya. Jika mungkin dilakukan, proses pengucuran air ke seluruh tubuh. Tetapi bila tidak dimungkinkan, agama memberikan kelonggaran dengan cara ditayamumkan,” ucap Asrorun. (Baca juga: Ajak Berdoa, Imam Besar Istiqlal Berharap Tak Ada Puncak Corona)
Bila ada kendala teknis lainnya yang menjadi pertimbangan sehingga tidak dapat ditamayumkan, lanjut Asrorun, maka jenazah tersebut dapat langsung dikafankan. “Misal karena pertimbangan keamanan atau pertimbangan teknis yang lain, maka dimungkinkan atas dasar ad darurah asy syari’ah kemudian langsung dikafankan,” ujarnya.
Kemudian dalam proses pengafanan, maka bisa menggunakan pelapis jenazah berbahan plastik. Tentunya proses tersebut harus menutupi seluruh tubuh.
“Bisa dilakukan proteksi dengan menggunakan plastik yang tak tembus air. Bahkan, dalam batas tertentu kemudian dimasukkan di dalam peti dan proses disinfeksi itu dimungkinkan secara syar'i,” imbuhnya.
Tahap selanjutnya yaitu penyalatan jenazah. Dia mengatakan, proses ini harus disalatkan oleh minimal satu orang karena merupakan kewajiban yang bersifat kifayah. “Dipastikan tempat yang dilaksanakan untuk kepentingan salat itu suci dan juga aman dari proses penularan, dilaksanakan oleh minimal satu orang muslim karena ini bab soal kewajiban yang bersifat kifayah,” jelas Asrorun.
“Di dalam konteks hak-hak duniawi, ada hal yang harus dipenuhi yaitu mulai dari pemandian, pengkafanan, kemudian penyalatan kemudian penguburan. Protokol-protokol kesehatan perlu dijaga tetapi pada saat yang sama ketentuan agama harus ditaati,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni'am Saleh, saat memberikan keterangan pers di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Sabtu (4/4/2020). (Baca juga: MUI Undang Dua Guru Besar Bahas Fatwa Soal Corona
Proses diawali dengan memandikan jenazah. Asrorun menyampaikan, jenazah yang dinyatakan positif Corona boleh dimandikan. Proses pemandian pun dapat dilakukan tanpa melepaskan pakaian hingga ditayamumkan. “Proses memandikan ini tidak mesti harus dilepas bajunya. Jika mungkin dilakukan, proses pengucuran air ke seluruh tubuh. Tetapi bila tidak dimungkinkan, agama memberikan kelonggaran dengan cara ditayamumkan,” ucap Asrorun. (Baca juga: Ajak Berdoa, Imam Besar Istiqlal Berharap Tak Ada Puncak Corona)
Bila ada kendala teknis lainnya yang menjadi pertimbangan sehingga tidak dapat ditamayumkan, lanjut Asrorun, maka jenazah tersebut dapat langsung dikafankan. “Misal karena pertimbangan keamanan atau pertimbangan teknis yang lain, maka dimungkinkan atas dasar ad darurah asy syari’ah kemudian langsung dikafankan,” ujarnya.
Kemudian dalam proses pengafanan, maka bisa menggunakan pelapis jenazah berbahan plastik. Tentunya proses tersebut harus menutupi seluruh tubuh.
“Bisa dilakukan proteksi dengan menggunakan plastik yang tak tembus air. Bahkan, dalam batas tertentu kemudian dimasukkan di dalam peti dan proses disinfeksi itu dimungkinkan secara syar'i,” imbuhnya.
Tahap selanjutnya yaitu penyalatan jenazah. Dia mengatakan, proses ini harus disalatkan oleh minimal satu orang karena merupakan kewajiban yang bersifat kifayah. “Dipastikan tempat yang dilaksanakan untuk kepentingan salat itu suci dan juga aman dari proses penularan, dilaksanakan oleh minimal satu orang muslim karena ini bab soal kewajiban yang bersifat kifayah,” jelas Asrorun.
(cip)