Pola Pikir Baru dalam Pengelolaan Kebudayaan
loading...
A
A
A
Argo Twikromo
Staf Pengajar Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Dewan Kebudayaan DIY 2020-2022
KETIKA kebudayaan dikaitkan dengan kesejahteraan hidup, maka pemahaman umum cenderung hanya mengacu pada usaha untuk mengangkat dan mengelola karya-karya budaya yang tampaknya dapat menyejahterakan secara langsung dan cepat dari segi ekonomi masyarakat. Upaya ini menjadi terbingkai oleh atau lekat kaitannya dengan kegiatan ekonomi semata, seperti produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian produksi dan reproduksi karya budaya relatif terbingkai dalam pertimbangan-pertimbangan distribusi (misal: pasar) dan konsumsi (misal: cita rasa kepuasan, keindahan, tampilan).
Kebudayaan menjadi berkelindan tanpa syarat dengan kegiatan ekonomi yang lebih masuk akal dalam pola pikir dominan saat ini. Para pelaku budaya terkadang juga ikut menjadi produsen dan mulai mengemas produk karya budaya mereka (layaknya suatu komoditas) agar siap didistribusikan dan dikonsumsi oleh khalayak umum. Keterkaitan erat suatu karya budaya dengan berbagai karya budaya yang lain kurang terintegrasi secara holistik sebagai pengelolaan kehidupan bersama karena sudah menemukan rajutan dengan komponen ekonomi yang lebih cepat dan nyata hasilnya.
Pola pikir semacam itu tidak bisa dihindarkan ataupun disalahkan ketika kebudayaan dan kesejahteraan silang sengkarut dengan perkembangan dominan saat ini. Perkembangan kehidupan terdominasi oleh pola pikir yang serba instan sehingga relatif banyak keterkaitan erat antar aspek-aspek kehidupan telah tercabik-cabik dan kurang terintegrasi lagi. Berbagai aspek kehidupan saat ini barangkali kurang mampu menghasilkan pemikiran holistik dan terintegrasi dalam rajutan-rajutan keselarasan serta padu serasi dalam pengelolaan kehidupan bersama dan berorientasi pada keberlangsungan kehidupan jangka panjang.
Terminologi Kesejahteraan
Saat ini, kesejahteraan hidup sebagai salah satu aspek kehidupan tidak bisa lepas dari pola pikir instan. Padahal di balik istilah "kesejahteraan" lekat sekali dengan asas-asas kehidupan lain yang saling berkaitan erat (mempunyai ekosistem) untuk saling menopang antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam perkembangan waktu justru asas-asas kesejahteraan bersama menjadi terpinggirkan oleh pola pikir instan masing-masing individu ataupun kelompok yang mengejar langkah instan dan cepat dalam mencapai kesejahteraan dari sisi ekonomi.
Kesejahteraan tidak hanya melulu ditopang oleh urusan ekonomi semata, tapi ditopang juga oleh asas-asas lain, seperti rasa aman dan tenteram, kebersamaan, suasana harmonis, penghargaan terhadap sesama, keseimbangan alam, prakarsa-inisiatif bersama, dan swadaya-kegotongroyongan yang secara tidak disadari terpelihara dalam pengelolaan kehidupan sosial-budaya. Dalam konteks kehidupan bersama, asas-asas tersebut saling terkait dan terajut dalam ekosistemnya masing-masing. Dengan demikian asas-asas kesejahteraan ini tidak tunggal, bahkan keberadaannya saling bersinggungan dengan aspek-aspek yang lain.
Karya-karya budaya sebagai jaring pengaman yang rajutannya dapat memelihara asas-asas yang terkait erat dengan kesejahteraan bersama justru kurang terkelola atau terlestarikan. Posisinya juga sedang bergumul hebat dengan perkembangan global agar asas-asas kebersamaan dan kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya tidak ikut terampok oleh perkembangan zaman. Dengan demikian masih tersisa “ruang”–walau relatif kecil–untuk membangun identitas bangsa ini melalui pengelolaan kebudayaan.
Pola Pikir dalam Pemajuan Kebudayaan
Pengelolaan kebudayaan yang lebih diperluas sebagai pengelolaan kehidupan bersama, akan lebih memayungi hubungan selaras atau harmoni yang terjadi di Indonesia. Pengelolaan hubungan antara manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta perlu diberi bobot yang lebih mendasar. Relasi selaras dan harmonis ini diharapkan dapat tertanam kuat dalam hati sanubari setiap insan agar menjadi ciri khas sekaligus kebanggaan masyarakat yang hidup di bumi Nusantara secara nyata.
Pengelolaan kehidupan dengan mengutamakan relasi selaras dan harmonis dengan terminologi lokalnya masing-masing sangat sinergis dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Dengan demikian berbagai karya budaya yang mempunyai nuansa, nilai, simbol, atau asas keselarasan dan harmonis dapat saling terajut dan terangkai satu sama lain sebagai kehidupan beragam bangsa ini namun bernuansa padu serasi.
Dalam konteks perkembangan waktu, karya-karya budaya justru sering kali hanya dilihat dari sisi keindahan, wujud fisik, hiburan, atau tampilan semata dan mengabaikan keberadaannya sebagai aspek yang rajutannya mendukung pengelolaan kehidupan bersama secara holistik. Perjumpaan dan perpaduan antara berbagai komponen karya budaya tersebut relatif mengutamakan integrasi secara holistik. Dengan demikian hadirnya logika instan dalam berbagai kehidupan perlu diupayakan perjumpaannya secara imbang dan harmonis. Polesan-polesan bernuansa instan tetap hadir dan diberi ruang secara padu serasi agar tak lekang dari zaman. Prasyarat minimal adalah logika holistik berbagai karya budaya yang bernuansa selaras dan harmonis bagi kehidupan manusia diperkuat penghayatannya agar pengelolaan kehidupan bersama terus berkelanjutan.
Upaya memajukan kebudayaan Indonesia tidak sekedar menghadirkan kebudayaan ataupun karya budaya dalam berbagai macam events, namun juga memetakan, menata, mengelola dan melestarikan karya budaya tersebut berdasarkan nuansa keselarasan dan keharmonisan dalam setiap relasi kehidupan ini. Perubahan pola pikir untuk terus dapat memadukan, merajut, atau mentransformasikan nilai-nilai dan asas-asas keselarasan serta keharmonisan relasi antara manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta dalam konteks pengelolaan kehidupan masa lalu serta dalam perjumpaannya dengan pengelolaan kehidupan masa kini, bahkan masa depan nanti.
Perubahan pola pikir yang cerdik sangat diperlukan agar kehidupan berbasiskan kebudayaan sebagai jati diri bangsa kembali hadir dan berkembang menjadi kebanggaan dan identitas bangsa ini secara nyata, bukan sekedar jargon-jargon normatif semata. Kebanggaan dan identitas secara nyata ini akan terus hidup dalam hati sanubari seseorang dan tidak mudah tergerus oleh berbagai kekuatan dan kepentingan dari luar.
Staf Pengajar Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Dewan Kebudayaan DIY 2020-2022
KETIKA kebudayaan dikaitkan dengan kesejahteraan hidup, maka pemahaman umum cenderung hanya mengacu pada usaha untuk mengangkat dan mengelola karya-karya budaya yang tampaknya dapat menyejahterakan secara langsung dan cepat dari segi ekonomi masyarakat. Upaya ini menjadi terbingkai oleh atau lekat kaitannya dengan kegiatan ekonomi semata, seperti produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian produksi dan reproduksi karya budaya relatif terbingkai dalam pertimbangan-pertimbangan distribusi (misal: pasar) dan konsumsi (misal: cita rasa kepuasan, keindahan, tampilan).
Kebudayaan menjadi berkelindan tanpa syarat dengan kegiatan ekonomi yang lebih masuk akal dalam pola pikir dominan saat ini. Para pelaku budaya terkadang juga ikut menjadi produsen dan mulai mengemas produk karya budaya mereka (layaknya suatu komoditas) agar siap didistribusikan dan dikonsumsi oleh khalayak umum. Keterkaitan erat suatu karya budaya dengan berbagai karya budaya yang lain kurang terintegrasi secara holistik sebagai pengelolaan kehidupan bersama karena sudah menemukan rajutan dengan komponen ekonomi yang lebih cepat dan nyata hasilnya.
Pola pikir semacam itu tidak bisa dihindarkan ataupun disalahkan ketika kebudayaan dan kesejahteraan silang sengkarut dengan perkembangan dominan saat ini. Perkembangan kehidupan terdominasi oleh pola pikir yang serba instan sehingga relatif banyak keterkaitan erat antar aspek-aspek kehidupan telah tercabik-cabik dan kurang terintegrasi lagi. Berbagai aspek kehidupan saat ini barangkali kurang mampu menghasilkan pemikiran holistik dan terintegrasi dalam rajutan-rajutan keselarasan serta padu serasi dalam pengelolaan kehidupan bersama dan berorientasi pada keberlangsungan kehidupan jangka panjang.
Terminologi Kesejahteraan
Saat ini, kesejahteraan hidup sebagai salah satu aspek kehidupan tidak bisa lepas dari pola pikir instan. Padahal di balik istilah "kesejahteraan" lekat sekali dengan asas-asas kehidupan lain yang saling berkaitan erat (mempunyai ekosistem) untuk saling menopang antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam perkembangan waktu justru asas-asas kesejahteraan bersama menjadi terpinggirkan oleh pola pikir instan masing-masing individu ataupun kelompok yang mengejar langkah instan dan cepat dalam mencapai kesejahteraan dari sisi ekonomi.
Kesejahteraan tidak hanya melulu ditopang oleh urusan ekonomi semata, tapi ditopang juga oleh asas-asas lain, seperti rasa aman dan tenteram, kebersamaan, suasana harmonis, penghargaan terhadap sesama, keseimbangan alam, prakarsa-inisiatif bersama, dan swadaya-kegotongroyongan yang secara tidak disadari terpelihara dalam pengelolaan kehidupan sosial-budaya. Dalam konteks kehidupan bersama, asas-asas tersebut saling terkait dan terajut dalam ekosistemnya masing-masing. Dengan demikian asas-asas kesejahteraan ini tidak tunggal, bahkan keberadaannya saling bersinggungan dengan aspek-aspek yang lain.
Karya-karya budaya sebagai jaring pengaman yang rajutannya dapat memelihara asas-asas yang terkait erat dengan kesejahteraan bersama justru kurang terkelola atau terlestarikan. Posisinya juga sedang bergumul hebat dengan perkembangan global agar asas-asas kebersamaan dan kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya tidak ikut terampok oleh perkembangan zaman. Dengan demikian masih tersisa “ruang”–walau relatif kecil–untuk membangun identitas bangsa ini melalui pengelolaan kebudayaan.
Pola Pikir dalam Pemajuan Kebudayaan
Pengelolaan kebudayaan yang lebih diperluas sebagai pengelolaan kehidupan bersama, akan lebih memayungi hubungan selaras atau harmoni yang terjadi di Indonesia. Pengelolaan hubungan antara manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta perlu diberi bobot yang lebih mendasar. Relasi selaras dan harmonis ini diharapkan dapat tertanam kuat dalam hati sanubari setiap insan agar menjadi ciri khas sekaligus kebanggaan masyarakat yang hidup di bumi Nusantara secara nyata.
Pengelolaan kehidupan dengan mengutamakan relasi selaras dan harmonis dengan terminologi lokalnya masing-masing sangat sinergis dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Dengan demikian berbagai karya budaya yang mempunyai nuansa, nilai, simbol, atau asas keselarasan dan harmonis dapat saling terajut dan terangkai satu sama lain sebagai kehidupan beragam bangsa ini namun bernuansa padu serasi.
Dalam konteks perkembangan waktu, karya-karya budaya justru sering kali hanya dilihat dari sisi keindahan, wujud fisik, hiburan, atau tampilan semata dan mengabaikan keberadaannya sebagai aspek yang rajutannya mendukung pengelolaan kehidupan bersama secara holistik. Perjumpaan dan perpaduan antara berbagai komponen karya budaya tersebut relatif mengutamakan integrasi secara holistik. Dengan demikian hadirnya logika instan dalam berbagai kehidupan perlu diupayakan perjumpaannya secara imbang dan harmonis. Polesan-polesan bernuansa instan tetap hadir dan diberi ruang secara padu serasi agar tak lekang dari zaman. Prasyarat minimal adalah logika holistik berbagai karya budaya yang bernuansa selaras dan harmonis bagi kehidupan manusia diperkuat penghayatannya agar pengelolaan kehidupan bersama terus berkelanjutan.
Upaya memajukan kebudayaan Indonesia tidak sekedar menghadirkan kebudayaan ataupun karya budaya dalam berbagai macam events, namun juga memetakan, menata, mengelola dan melestarikan karya budaya tersebut berdasarkan nuansa keselarasan dan keharmonisan dalam setiap relasi kehidupan ini. Perubahan pola pikir untuk terus dapat memadukan, merajut, atau mentransformasikan nilai-nilai dan asas-asas keselarasan serta keharmonisan relasi antara manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta dalam konteks pengelolaan kehidupan masa lalu serta dalam perjumpaannya dengan pengelolaan kehidupan masa kini, bahkan masa depan nanti.
Perubahan pola pikir yang cerdik sangat diperlukan agar kehidupan berbasiskan kebudayaan sebagai jati diri bangsa kembali hadir dan berkembang menjadi kebanggaan dan identitas bangsa ini secara nyata, bukan sekedar jargon-jargon normatif semata. Kebanggaan dan identitas secara nyata ini akan terus hidup dalam hati sanubari seseorang dan tidak mudah tergerus oleh berbagai kekuatan dan kepentingan dari luar.
(ras)