Menyiapkan Energi Terbarukan
loading...
A
A
A
DALAM satu dekade terakhir pembahasan mengenai energi baru dan terbarukan (EBT) kerap muncul di berbagai diskusi. Tak hanya di kampus, pemerintahan, dan media, konsep energi bersih menjadi topik menarik karena dianggap sebagai solusi dalam mendukung ekonomi berkelanjutan.
Di masa pandemi Covid-19, banyak korporasi global menjadikan green energy sebagai salah satu goal di masa mendatang. Mereka menyadari bahwa keberlangsungan bisnis akan sangat dipengaruhi rantai pasok yang ramah lingkungan dan berkelanjutan termasuk di sektor energi.
Bagi mereka yang memiliki ketergantungan terhadap energi fosil, sudah sewajarnya menyadari bahwa lingkungan yang bersih di masa mendatang menjadi keharusan jika ingin mendukung bumi tetap lestari.
Di dalam negeri, pemerintah menargetkan pada 2030 mendatang bisa menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton CO2. Dari angka sebesar itu, sektor pembangkitan listrik EBT ditargetkan ditargetkan dapat berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 156,6 juta ton CO2.
Hal ini sesuai dengan Ratifikasi Paris Agreement pada saat Conference on Parties (COP) 22 di Morocco pada November 2016 lalu, di mana Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 2030 sebesar 29%.
Target tersebut terbilang berat mengingat pasokan energi primer Indonesia saat ini masih didominasi sumber-sumber yang berasal dari fosil. Maklum, sumber energi primer untuk pembangkit listrik saat ini masih didominasi oleh batu bara, gas, dan minyak.
Namun demikian, bukan berarti penggunaan EBT dalam bauran energi primer tidak bisa dilakukan. Buktinya, jika pada 2019 lalu porsi penggunaan EBT masih berkutat di angka 9,15%, tahun ini hingga Mei lalu, kontribusnya mencapai 14,9%. Energi yang berasal dari batu bara masih mendominasi yakni 63,9%, gas 18% dan lainnya.
Secara terperinci, dari angkat 14,95% porsi EBT dalam produksi listrik nasional, sebanyak 8,17% berasal dari pembangkit bertenaga hydro (air), 5,84% panas bumi, 0,74% bahan bakar nabati, dan 0,20% dari jenis EBT lainnya.
Melihat komposisi seperti di atas, tantangan berat jelas menanti para pemangku kepentingan untuk merealisasikan rasio EBT. Namun, di satu sisi kita perlu mengembangkan energi yang lebih bersih, di sisi lain harus diperhatikan tingkat keandalan sebuah pembangkit jika ingin digunakan sebagai beban dasar (base load) dalam sebuah sistem kelistrikan.
Bicara EBT, ada banyak faktor yang mesti diperhatikan. Salah satunya tadi, keandalan. Sebuah pembangkit listrik bisa dikatakan andal apabila mampu menyuplai daya secara terus menerus sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Nah, pembangkit EBT yang sumber energinya bergantung pada kondisi alam seperti air, angin, atau surya, jelas menjadi tantangan tersendiri dalam hal suplainya.
Di masa pandemi Covid-19, banyak korporasi global menjadikan green energy sebagai salah satu goal di masa mendatang. Mereka menyadari bahwa keberlangsungan bisnis akan sangat dipengaruhi rantai pasok yang ramah lingkungan dan berkelanjutan termasuk di sektor energi.
Bagi mereka yang memiliki ketergantungan terhadap energi fosil, sudah sewajarnya menyadari bahwa lingkungan yang bersih di masa mendatang menjadi keharusan jika ingin mendukung bumi tetap lestari.
Di dalam negeri, pemerintah menargetkan pada 2030 mendatang bisa menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton CO2. Dari angka sebesar itu, sektor pembangkitan listrik EBT ditargetkan ditargetkan dapat berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 156,6 juta ton CO2.
Hal ini sesuai dengan Ratifikasi Paris Agreement pada saat Conference on Parties (COP) 22 di Morocco pada November 2016 lalu, di mana Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 2030 sebesar 29%.
Target tersebut terbilang berat mengingat pasokan energi primer Indonesia saat ini masih didominasi sumber-sumber yang berasal dari fosil. Maklum, sumber energi primer untuk pembangkit listrik saat ini masih didominasi oleh batu bara, gas, dan minyak.
Namun demikian, bukan berarti penggunaan EBT dalam bauran energi primer tidak bisa dilakukan. Buktinya, jika pada 2019 lalu porsi penggunaan EBT masih berkutat di angka 9,15%, tahun ini hingga Mei lalu, kontribusnya mencapai 14,9%. Energi yang berasal dari batu bara masih mendominasi yakni 63,9%, gas 18% dan lainnya.
Secara terperinci, dari angkat 14,95% porsi EBT dalam produksi listrik nasional, sebanyak 8,17% berasal dari pembangkit bertenaga hydro (air), 5,84% panas bumi, 0,74% bahan bakar nabati, dan 0,20% dari jenis EBT lainnya.
Melihat komposisi seperti di atas, tantangan berat jelas menanti para pemangku kepentingan untuk merealisasikan rasio EBT. Namun, di satu sisi kita perlu mengembangkan energi yang lebih bersih, di sisi lain harus diperhatikan tingkat keandalan sebuah pembangkit jika ingin digunakan sebagai beban dasar (base load) dalam sebuah sistem kelistrikan.
Bicara EBT, ada banyak faktor yang mesti diperhatikan. Salah satunya tadi, keandalan. Sebuah pembangkit listrik bisa dikatakan andal apabila mampu menyuplai daya secara terus menerus sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Nah, pembangkit EBT yang sumber energinya bergantung pada kondisi alam seperti air, angin, atau surya, jelas menjadi tantangan tersendiri dalam hal suplainya.