Tarif Trump dan Ilusi Perlindungan
loading...

Adhitya Wardhono, PhD. Foto/Istimewa
A
A
A
Adhitya Wardhono, PhD
Dosen dan peneliti ekonomi Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember. Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (Ke-Ris Benefitly)- Universitas Jember.
AMERIKA Serikat (AS) membuncahkan cerita mencekam global di awal April 2025 ini. Bagaimana tidak, lepas Donald Trump dilantik menjadi presiden AS kedua kalinya, ia kembali mengguncang tatanan perdagangan global dengan Trump 2.0-nya. Lagi-lagi dengan penerapan reciprocal tariffs atau tarif resiprokal. Setidaknya ini berlaku untuk lebih dari 180 negara. AS seperti memukul genderang perang, memulai babak baru dari perang dagang yang lebih masif, lebih sistematis, dan lebih destruktif dibandingkan episode 2018 lalu. Kebijakan ini menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan internasional kini makin dijadikan alat politik dalam negeri daripada upaya rasional untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi global.
Merujuk dokumen resmi Gedung Putih , tarif ini dikenakan dengan dalih membalas praktik perdagangan yang “tidak adil”. Termasuk manipulasi nilai tukar dan hambatan non-tarif dari negara mitra dagang. Namun, jika dicermati, besaran tarif sangat berkorelasi dengan besarnya defisit perdagangan AS dengan negara-negara tersebut. Artinya, logika yang digunakan bukanlah untuk menyeimbangkan perlakuan perdagangan, tetapi membalas negara-negara dengan surplus ekspor terhadap AS. Dan dahsyatnya lagi tanpa memperhatikan struktur dan konfigurasi ekonomi di baliknya.
Padahal, dari kacamata teori ekonomi kontemporer, kebijakan ini justru bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar efisiensi dan kemakmuran kolektif. Dalam New Trade Theory yang dikembangkan Melitz (2003), dijelaskan bahwa keuntungan perdagangan berasal dari kemampuan perusahaan paling produktif untuk memasuki pasar global, sementara perusahaan kurang efisien tersingkir secara alami. Hambatan perdagangan, seperti tarif, akan mengganggu proses alami ini dan membuat biaya produksi meningkat bagi semua pihak, termasuk konsumen domestik.
Baca Juga: Imbas Tarif Trump, Pendekatan Diplomatik Indonesia Diapresiasi
Lebih jauh, dalam era Global Value Chains (GVC), barang yang kita konsumsi sehari-hari tidak lagi diproduksi secara utuh dalam satu negara. Sebuah smartphone, misalnya, bisa dirakit di Vietnam dengan komponen dari Korea Selatan, semi konduktor dari Taiwan, dan desain dari California. Ketika AS menerapkan tarif secara agresif, ia tidak hanya memukul negara mitra, tetapi juga menekan rantai pasok global di mana perusahaannya sendiri berperan. Laporan National Trade Estimate (United States Trade Representative, 2025) menunjukkan betapa kompleksnya hambatan perdagangan global saat ini, bukan hanya tarif, tetapi juga kebijakan non-tarif, digital barriers, dan regulasi teknis.
Baca Juga: Ambisi dan Mimpi Donald Trump
Bahkan dalam konteks domestik AS, efektivitas tarif masih diragukan. Dalam episode pertama perang dagang pada 2018–2020, studi menunjukkan bahwa tarif terhadap produk Tiongkok gagal menekan defisit dagang AS. Alih-alih meningkatkan produksi dalam negeri, tarif tersebut memicu inflasi, mengganggu rantai pasok domestik, dan memperburuk daya beli konsumen. Kini, di 2025, strategi yang sama diulang dengan cakupan lebih luas, seolah mengabaikan pelajaran sejarah.
Namun, tantangan ini juga membuka peluang baru. Indonesia memiliki eksposur ekspor ke AS yang relatif signifkan. Maknanya lebih jauh adalah memiliki keleluasaan mengalihkan pasar ke kawasan lain. Selain itu, negara-negara yang dikenakan tarif tinggi umumnya merupakan negara berpendapatan rendah-menengah yang belum sepenuhnya siap menghadapi tekanan tarif. Indonesia bisa mengambil peluang ini dengan memperkuat kerja sama produksi, menarik FDI dari negara yang memiliki akses lebih baik ke pasar AS, dan mempercepat integrasi dalam perjanjian multilateral seperti RCEP dan BRICS
Ironisnya, laporan USTR sendiri mengkritik Indonesia atas berbagai hambatan perdagangan non-tarif, sementara AS justru memperluas hambatan perdagangan berbasis tarif. Ini menunjukkan standar ganda dalam praktik perdagangan internasional. Di satu sisi, AS menuntut pasar bebas; di sisi lain, ia menutup diri dengan dalih kedaulatan ekonomi.
Kebijakan perdagangan seharusnya didasarkan pada data, bukan pada emosi. Sayangnya, dalam politik hari ini, kebijakan tarif dijadikan panggung populisme. Perlindungan industri lokal memang penting, tetapi melakukannya dengan cara yang menghancurkan sistem global yang sudah mapan adalah tindakan yang kontraproduktif. Dunia telah membangun sistem perdagangan berbasis aturan (rules-based trade system) pasca-Perang Dunia II untuk menghindari kekacauan ekonomi akibat kebijakan sepihak seperti yang kini dilakukan AS.
Pada posisi ini, Indonesia harus tetap tenang dalam menghadapi provokasi ini. Retaliasi bukan solusi tepat. Negosiasi dan lobi harus dikedepankan. Lebih dari itu dibutuhkan pula respons cerdas. Semisal memperkuat daya saing dalam negeri, mendorong diversifikasi pasar, mempercepat negosiasi bilateral yang rasional, dan berkontribusi aktif dalam reformasi WTO. Kebijakan Indonesia harus berpihak pada kepentingan jangka panjang, bukan reaktif terhadap tekanan sesaat. Menata industrialisasi dengan dukungan deregulasi sektor industri perlu diupayakan lebih serius.
Di tengah gejolak ini, dunia membutuhkan pemimpin ekonomi yang bijak, bukan agresif. Indonesia bisa mengambil peran tersebut, menjadi jembatan antara negara maju dan berkembang, antara pasar bebas dan proteksi, antara pertumbuhan dan keadilan. Tarif Trump adalah simbol dari dunia yang kehilangan kompas moral dalam berdagang. Tetapi kita tidak harus ikut tersesat. Justru saat seperti inilah Indonesia bisa menunjukkan bahwa perdagangan internasional bukan soal menang-kalah, tetapi tentang membangun bersama. Artinya, ke depan diperlukan format baru jalan menuju perdagangan yang beradab.
Dosen dan peneliti ekonomi Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember. Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (Ke-Ris Benefitly)- Universitas Jember.
AMERIKA Serikat (AS) membuncahkan cerita mencekam global di awal April 2025 ini. Bagaimana tidak, lepas Donald Trump dilantik menjadi presiden AS kedua kalinya, ia kembali mengguncang tatanan perdagangan global dengan Trump 2.0-nya. Lagi-lagi dengan penerapan reciprocal tariffs atau tarif resiprokal. Setidaknya ini berlaku untuk lebih dari 180 negara. AS seperti memukul genderang perang, memulai babak baru dari perang dagang yang lebih masif, lebih sistematis, dan lebih destruktif dibandingkan episode 2018 lalu. Kebijakan ini menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan internasional kini makin dijadikan alat politik dalam negeri daripada upaya rasional untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi global.
Merujuk dokumen resmi Gedung Putih , tarif ini dikenakan dengan dalih membalas praktik perdagangan yang “tidak adil”. Termasuk manipulasi nilai tukar dan hambatan non-tarif dari negara mitra dagang. Namun, jika dicermati, besaran tarif sangat berkorelasi dengan besarnya defisit perdagangan AS dengan negara-negara tersebut. Artinya, logika yang digunakan bukanlah untuk menyeimbangkan perlakuan perdagangan, tetapi membalas negara-negara dengan surplus ekspor terhadap AS. Dan dahsyatnya lagi tanpa memperhatikan struktur dan konfigurasi ekonomi di baliknya.
Padahal, dari kacamata teori ekonomi kontemporer, kebijakan ini justru bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar efisiensi dan kemakmuran kolektif. Dalam New Trade Theory yang dikembangkan Melitz (2003), dijelaskan bahwa keuntungan perdagangan berasal dari kemampuan perusahaan paling produktif untuk memasuki pasar global, sementara perusahaan kurang efisien tersingkir secara alami. Hambatan perdagangan, seperti tarif, akan mengganggu proses alami ini dan membuat biaya produksi meningkat bagi semua pihak, termasuk konsumen domestik.
Baca Juga: Imbas Tarif Trump, Pendekatan Diplomatik Indonesia Diapresiasi
Lebih jauh, dalam era Global Value Chains (GVC), barang yang kita konsumsi sehari-hari tidak lagi diproduksi secara utuh dalam satu negara. Sebuah smartphone, misalnya, bisa dirakit di Vietnam dengan komponen dari Korea Selatan, semi konduktor dari Taiwan, dan desain dari California. Ketika AS menerapkan tarif secara agresif, ia tidak hanya memukul negara mitra, tetapi juga menekan rantai pasok global di mana perusahaannya sendiri berperan. Laporan National Trade Estimate (United States Trade Representative, 2025) menunjukkan betapa kompleksnya hambatan perdagangan global saat ini, bukan hanya tarif, tetapi juga kebijakan non-tarif, digital barriers, dan regulasi teknis.
Politik dalam Balutan Ekonomi
Trump seolah ingin menghidupkan kembali doktrin proteksionisme abad ke-20 dalam dunia abad ke-21 yang sudah saling terintegrasi. Tindakan ini mencerminkan sebuah pergeseran besar: dari multilateralisme ke unilateralisme, dari diplomasi ke paksaan ekonomi. Ini adalah bentuk modern dari “weaponization of tariffs” yakni penggunaan kebijakan ekonomi sebagai alat tawar-menawar politik luar negeri. Sayangnya, pendekatan seperti ini hanya akan meningkatkan ketegangan dan ketidakpastian global, yang pada akhirnya menciptakan deadweight loss bagi semua.Baca Juga: Ambisi dan Mimpi Donald Trump
Bahkan dalam konteks domestik AS, efektivitas tarif masih diragukan. Dalam episode pertama perang dagang pada 2018–2020, studi menunjukkan bahwa tarif terhadap produk Tiongkok gagal menekan defisit dagang AS. Alih-alih meningkatkan produksi dalam negeri, tarif tersebut memicu inflasi, mengganggu rantai pasok domestik, dan memperburuk daya beli konsumen. Kini, di 2025, strategi yang sama diulang dengan cakupan lebih luas, seolah mengabaikan pelajaran sejarah.
Tantangan dan Peluang Indonesia
Bagi Indonesia, Trade War Jilid 2 menimbulkan dampak yang kompleks. Laporan LPEM FEB UI (2025) mencatat bahwa Indonesia kini berada dalam posisi yang berbeda dibanding 2018. Tarif yang dikenakan kepada produk Indonesia hanya terpaut sekitar 2% dari tarif untuk Tiongkok, menjadikannya tidak lagi sebagai substitusi utama di pasar AS. Akibatnya, peluang Indonesia untuk mengambil alih pasar atau menarik FDI berorientasi ekspor dari Tiongkok juga semakin terbatas.Namun, tantangan ini juga membuka peluang baru. Indonesia memiliki eksposur ekspor ke AS yang relatif signifkan. Maknanya lebih jauh adalah memiliki keleluasaan mengalihkan pasar ke kawasan lain. Selain itu, negara-negara yang dikenakan tarif tinggi umumnya merupakan negara berpendapatan rendah-menengah yang belum sepenuhnya siap menghadapi tekanan tarif. Indonesia bisa mengambil peluang ini dengan memperkuat kerja sama produksi, menarik FDI dari negara yang memiliki akses lebih baik ke pasar AS, dan mempercepat integrasi dalam perjanjian multilateral seperti RCEP dan BRICS
Rasionalisasi Tarif Resiprokal
Retorika “tarif resiprokal” yang digunakan Trump sebenarnya mengandung simplifikasi serius terhadap kompleksitas perdagangan global. Dalam banyak kasus, tarif rendah di satu negara merupakan bagian dari strategi pembangunan industri yang sah dalam WTO. Tarif tinggi pun bukan selalu bentuk diskriminasi. Misalnya, Indonesia mengenakan tarif berbeda untuk produk pertanian dan non-pertanian bukan karena ingin menghalangi AS, tetapi untuk melindungi petani kecil dari gempuran pasar global.Ironisnya, laporan USTR sendiri mengkritik Indonesia atas berbagai hambatan perdagangan non-tarif, sementara AS justru memperluas hambatan perdagangan berbasis tarif. Ini menunjukkan standar ganda dalam praktik perdagangan internasional. Di satu sisi, AS menuntut pasar bebas; di sisi lain, ia menutup diri dengan dalih kedaulatan ekonomi.
Kebijakan perdagangan seharusnya didasarkan pada data, bukan pada emosi. Sayangnya, dalam politik hari ini, kebijakan tarif dijadikan panggung populisme. Perlindungan industri lokal memang penting, tetapi melakukannya dengan cara yang menghancurkan sistem global yang sudah mapan adalah tindakan yang kontraproduktif. Dunia telah membangun sistem perdagangan berbasis aturan (rules-based trade system) pasca-Perang Dunia II untuk menghindari kekacauan ekonomi akibat kebijakan sepihak seperti yang kini dilakukan AS.
Pada posisi ini, Indonesia harus tetap tenang dalam menghadapi provokasi ini. Retaliasi bukan solusi tepat. Negosiasi dan lobi harus dikedepankan. Lebih dari itu dibutuhkan pula respons cerdas. Semisal memperkuat daya saing dalam negeri, mendorong diversifikasi pasar, mempercepat negosiasi bilateral yang rasional, dan berkontribusi aktif dalam reformasi WTO. Kebijakan Indonesia harus berpihak pada kepentingan jangka panjang, bukan reaktif terhadap tekanan sesaat. Menata industrialisasi dengan dukungan deregulasi sektor industri perlu diupayakan lebih serius.
Di tengah gejolak ini, dunia membutuhkan pemimpin ekonomi yang bijak, bukan agresif. Indonesia bisa mengambil peran tersebut, menjadi jembatan antara negara maju dan berkembang, antara pasar bebas dan proteksi, antara pertumbuhan dan keadilan. Tarif Trump adalah simbol dari dunia yang kehilangan kompas moral dalam berdagang. Tetapi kita tidak harus ikut tersesat. Justru saat seperti inilah Indonesia bisa menunjukkan bahwa perdagangan internasional bukan soal menang-kalah, tetapi tentang membangun bersama. Artinya, ke depan diperlukan format baru jalan menuju perdagangan yang beradab.
(zik)
Lihat Juga :