Jokowi Instruksikan Jaga Kerahasiaan Data Pribadi Pasien Corona

Rabu, 04 Maret 2020 - 09:16 WIB
Jokowi Instruksikan...
Jokowi Instruksikan Jaga Kerahasiaan Data Pribadi Pasien Corona
A A A
JAKARTA - Ekspos berlebihan terhadap latar belakang dan identitas pribadi dua pasien positif corona menimbulkan keprihatinan sejumlah kalangan. Pejabat pemerintah, media massa, hingga warganet diminta menghormati privasi dari pasien yang dinyatakan positif mengidap virus Covid-19.

Setelah pengumuman adanya dua kasus positif korona pertama di Indonesia oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Senin (2/3), berbagai informasi terkait latar belakang dan data pribadi pasien begitu cepat berseliweran di berbagai platform media. Data mengenai pekerjaan, prestasi pasien, alamat rumah, hingga foto-foto pribadi dua pasien positif korona yang kebetulan ibu dan anak tersebut diulas beberapa media mainstream ataupun sosial. Padahal, data-data tersebut tidak terkait secara langsung dengan proses penanganan dan potensi penyebaran penyakit yang mereka derita. Kondisi ini memunculkan protes dari keluarga maupun tetangga dua pasien perempuan berumur 64 tahun dan 31 tahun tersebut.

Presiden Jokowi pun meminta agar semua pejabat pemerintah di semua tingkatan menjaga kerahasiaan data pribadi pasien positif corona. Tidak boleh data tersebut disebarkan secara serampangan ke publik. "Saya memerintahkan menteri mengingatkan agar RS, pejabat, tidak membuka privasi pasien. Kita harus menjaga kode etik," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, kemarin.

Dia menjelaskan pembukaan data pribadi yang tidak terkait dengan penyakit mereka akan memberikan tekanan psikologis kepada pasien, keluarga, maupun lingkungan sekitarnya. Kondisi ini berpotensi memunculkan beban ganda kepada pasien. Selain harus berjuang melawan penyakit, mereka juga harus melawan stigma masyarakat. "Media juga harus hormati privasi mereka agar tidak tertekan dan segera pulih dan terakhir mencegah penularan virus korona ini dengan sering cuci tangan, jangan menyentuh wajah sebelum cuci tangan. Jangan sering sentuh wajah jika tangan belum dicuci. Hal terbaik jaga kesehatan," ujarnya.

Juru bicara pemerintah terkait kasus corona Achmad Yurianto menyatakan, kerahasiaan data pasien merupakan bagian dari etika kedokteran. Dalam kasus korona, publik cukup tahu gender dan usia pasien. Lebih dari itu, semua data pasien tidak perlu diekspos ke publik. “Mari kita sama-sama jaga etikanya, adalah bahwa di dalam penegakan diagnosis ada rahasia etik kedokteran. Dan ini dipegang teguh awak kesehatan; satu, merahasiakan identitas pasien. Kalaupun kita menyebut, gendernya saja dan usianya saja. Misalnya laki sekian tahun dan laki-laki sekian tahun,” ujarnya di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, kemarin.

Dia menegaskan jika ada data pribadi dari dua pasien korona terungkap ke publik, informasi itu pasti bukan dari Kemenkes. Media pun diminta berhati-hati memberitakan informasi pribadi pasien meskipun mempunyai sumber informasi sekunder. “Kalau misalkan ada nama yang keluar selain ini, pasti bukan dari kesehatan. Dan yang kedua, adalah merahasiakan nama rumah sakit, ini etika. Tolong untuk teman-teman (media) sekalian, tolong kami jangan ditanyakan hal ini. Kalau Anda tahu, silakan. Tapi kalau Anda mengonfirmasi ke saya, Pak apakah ini benar? Maka saya akan mengatakan ‘sak karepmu’. Karena ini etika,” tegas Achmad.

Kerahasiaan identitas pasien ini, kata Achmad, juga dipegang oleh negara lain seperti Jepang dan Singapura. “Kami saja waktu mendengar ada ABK Diamond Princess yang kemudian positif dan dirawat di Jepang, mereka tidak membuka identitasnya,” katanya.

“Padahal, kami mengatakan bahwa dari Kementerian Kesehatan. Mereka hanya mengatakan bahwa dua dirawat di Kota Shiba dan lainnya dirawat di pinggiran Tokyo. Hal yang sama juga ketika kami mendengar ada informasi asisten rumah tangga di Singapura pun sama, mereka tidak membuka identitasnya. Jadi mohon, ini menjadi batasan etika kita,” tegas Achmad.

Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris mengatakan hak atas privasi adalah salah satu hak konstitusional yang diatur dalam UUD 1945. Menurut Charles, tersebarluasnya data pribadi misalnya nama lengkap, alamat tinggal, foto, dan data pribadi lain pasien korona lewat media sosial atau media lainnya harus dipandang serius sebagai pelanggaran privasi warga negara. "Negara seharusnya bisa melindungi kerahasiaan data pribadi dan menutup ruang sekecil apapun terhadap pelanggaran tersebut," tutur Wakil Ketua BKSAP DPR ini kemarin.

Dikatakan Charles, negara lain seperti Singapura dan Jepang telah memberi contoh bagaimana identitas dan data pribadi pasien korona, termasuk pasien WNI yang ada di dua negara tersebut, terjamin kerahasiaannya. "Bahkan, otoritas setempat tidak membuka identitas pasien WNI kepada perwakilan RI sekalipun, tanpa adanya izin lebih dulu dari pasien yang bersangkutan," kata politikus PDIP ini.

Perlindungan data pribadi, kata Charles, terutama terkait dengan data rekam medis pasien, dalam penyelenggaraan layanan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak pada level UU atau aturan teknis di bawahnya. Namun, regulasi yang ada belum mengatur penuh tentang mekanisme pemulihan bagi pemegang hak, dalam hal ini pasien atas pelanggaran terhadap perlindungan data pribadinya. "Dengan kata lain, belum ada pengaturan sanksi atau hukuman, baik secara administratif ataupun pidana, bagi pelanggaran privasi atas riwayat kesehatan pasien tersebut," tuturnya.

Oleh karena itu, RUU Perlindungan Data Pribadi yang saat ini tengah dibahas Komisi I DPR dan pemerintah nantinya akan mengatur sanksi baik administratif maupun pidana, bagi pelanggaran terhadap perlindungan data pribadi warga negara, termasuk dalam penyelenggaraan layanan kesehatan. "Masukan dari masyarakat luas sangat diharapkan dalam upaya mewujudkan kedaulatan data pribadi setiap warga negara," pungkas Charles. (Binti Mufarida/Abdul Rochim/Kiswondari)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7219 seconds (0.1#10.140)