Prabowo Diharapkan Jadi Bapak Pemberantasan Korupsi Indonesia
loading...

Riset LSI Denny JA pada Maret 2025 menyatakan Presiden Prabowo Subianto akan berhasil membawa Indonesia jadi negara maju jika mampu menaikkan Indeks CGI mencapai 70,00 dan jadi Bapak Pemberantasan Korupsi. Foto/Ist
A
A
A
JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto akan berhasil membawa Indonesia menjadi negara maju jika dalam lima tahun mampu menaikkan Indeks Tata Kelola Pemerintahan (CGI) mencapai 70,00. Syarat lain juga Prabowo harus berhasil menjadi Bapak Pemberantasan Korupsi.
Demikian salah satu kesimpulan riset LSI Denny JA, Maret 2025. Dalam riset kali ini, LSI Denny JA mengembangkan indeks tata kelola pemerintahan dengan mendayagunakan enam indeks dunia yang kredibel. Saat ini CGI Indonesia masih rendah (53,17) dibandingkan dengan Korea Selatan (79,44), Jepang (84,11), dan Singapura (87,23).
“Jika dalam lima tahun ini (2025-2029) Prabowo berhasil menjadi Bapak Pemberantas Korupsi Indonesia, juga berhasil menaikkan GGI dari 53,17 ke 70,00, Prabowo akan berhasil membawa Indonesia menjadi negara maju,” kata Denny JA dalam keterangannya, Senin (17/3/2025).
Ia menjelaskan, untuk mengukur Good Governance Index (GGI) ada enam pilar utama yang masing-masing dipantau oleh lembaga internasional yang telah lama mengkaji kualitas pemerintahan dunia. Pertama, efektivitas Pemerintahan (25%) yang diukur oleh World Bank melalui Government Effectiveness Index (GEI) sejak 1996, mencakup 214 negara. Menilai efisiensi birokrasi, regulasi, serta kualitas layanan publik.
Kedua, pemberantasan korupsi (20). Diukur oleh Transparency International melalui Corruption Perceptions Index (CPI) sejak 1995, meliputi 180 negara. Indeks ini mencerminkan seberapa bersih pemerintahan dari praktik suap dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, digitalisasi pemerintahan (15%). Diukur oleh UN DESA melalui E-Government Development Index (EGDI) sejak 2003, mencakup 193 negara. Digitalisasi mempercepat layanan publik dan menutup celah korupsi.
Keempat, demokrasi (15%). Diukur oleh Economist Intelligence Unit melalui Democracy Index (DI) sejak 2006, mencakup 167 negara. Menilai transparansi politik, kebebasan sipil, dan partisipasi rakyat. Kelima, pembangunan manusia (15%). Diukur oleh UNDP melalui Human Development Index (HDI) sejak 1990, meliputi 191 negara. Negara maju tidak diukur dari PDB-nya saja, tetapi dari kualitas pendidikan, kesehatan, dan harapan hidup rakyatnya.
Keenam, keberlanjutan lingkungan (10%). Diukur oleh Yale University melalui Environmental Performance Index (EPI) sejak 2006, mencakup 180 negara. Pembangunan tanpa keberlanjutan hanyalah perampokan masa depan.
“Jika GGI Indonesia bisa naik dari 53,17 ke 70, maka pemerintahan akan lebih bersih, rakyat lebih sejahtera, dan sejarah akan mencatatnya sebagai era reformasi sejati,” katanya.
Denny menjelaskan, negara yang gagal dalam tata kelola pemerintahan akan gagal membangun negara yang kuat. Negara yang gagal memberantas korupsi juga akan gagal mencapai apa pun secara maksimal. Tak peduli seberapa besar sumber daya yang dimiliki, jika pemerintahan lemah, maka kebocoran anggaran, lambannya birokrasi, dan korupsi sistemik akan menghancurkan fondasi negara.
“Indonesia berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi ambisi pertumbuhan ekonomi 8% per tahun menjadi cita-cita besar. Namun, di sisi lain, masalah yang mengakar dalam sistem tetap menjadi penghambat: korupsi, birokrasi yang tidak efisien, serta lemahnya tata kelola pemerintahan,” kata Denny JA.
Ia mengidentifikasi beberapa hal yang menghambat Indonesia. Pertama, saat ini, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya 34, tertinggal dari Singapura (83), Jepang (73), dan Korea Selatan (63). Jika masalah ini tidak ditangani dengan serius, Indonesia akan terus kehilangan kepercayaan investor, pertumbuhan ekonomi akan tersendat, dan kesejahteraan rakyat akan tergadaikan.
Kedua, efektivitas pemerintahan Indonesia saat ini hanya 0,58, jauh tertinggal dari Singapura (2,32), Jepang (1,63), dan Korea Selatan (1,4). Banyak kebijakan pemerintah yang disusun dengan baik di atas kertas, tetapi gagal diimplementasikan karena birokrasi yang tidak efisien, regulasi yang berbelit, serta minimnya akuntabilitas.
Tanpa reformasi dalam efektivitas birokrasi, pembangunan akan selalu tertinggal dari rencana. Rakyat yang seharusnya mendapatkan manfaat akan terus terjebak dalam sistem yang berbelit-belit. Ketiga, Indeks Demokrasi Indonesia saat ini berada di angka 6,53, lebih rendah dibanding Korea Selatan (8,4) dan Jepang (8,09). Sistem demokrasi yang sehat seharusnya menciptakan kontrol atas kekuasaan, keseimbangan antara eksekutif dan legislatif, serta kebebasan pers dan civil society yang kuat.
Keempat, Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia saat ini hanya 0,713, tertinggal jauh dari Singapura (0,949), Korea Selatan (0,929), dan Jepang (0,920). Ketimpangan dalam akses pendidikan dan layanan kesehatan masih menjadi masalah serius.
Keenam, Indeks Lingkungan Indonesia (EPI) hanya 28,2, jauh tertinggal dari Jepang (59,6) dan Singapura (50,9). Hutan terus ditebang tanpa kendali, polusi udara semakin meningkat, dan transisi energi hijau masih tertinggal dari negara lain. Negara-negara maju telah memahami bahwa keberlanjutan lingkungan adalah kunci untuk memastikan generasi mendatang tetap memiliki sumber daya alam yang cukup.
“Tanpa kebijakan yang ketat dalam perlindungan lingkungan, Indonesia akan menghadapi krisis ekologis yang sulit dipulihkan,” katanya.
Keenam, Indeks Digitalisasi Pemerintahan Indonesia (EGDI) masih di angka 0,7991, tertinggal dari Singapura (0,9691), Korea Selatan (0,9679), dan Jepang (0,9351). Negara-negara yang telah maju dalam digitalisasi pemerintahan berhasil mengurangi korupsi, mempercepat layanan publik, dan meningkatkan efisiensi birokrasi. Jika Indonesia tidak segera berinvestasi dalam transformasi digital, maka ketertinggalan dalam pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan akan semakin lebar.
“Jika semua tantangan di atas tidak segera diselesaikan, Indonesia akan terus tertinggal dalam tata kelola pemerintahan,” sebutnya.
Demikian salah satu kesimpulan riset LSI Denny JA, Maret 2025. Dalam riset kali ini, LSI Denny JA mengembangkan indeks tata kelola pemerintahan dengan mendayagunakan enam indeks dunia yang kredibel. Saat ini CGI Indonesia masih rendah (53,17) dibandingkan dengan Korea Selatan (79,44), Jepang (84,11), dan Singapura (87,23).
“Jika dalam lima tahun ini (2025-2029) Prabowo berhasil menjadi Bapak Pemberantas Korupsi Indonesia, juga berhasil menaikkan GGI dari 53,17 ke 70,00, Prabowo akan berhasil membawa Indonesia menjadi negara maju,” kata Denny JA dalam keterangannya, Senin (17/3/2025).
Ia menjelaskan, untuk mengukur Good Governance Index (GGI) ada enam pilar utama yang masing-masing dipantau oleh lembaga internasional yang telah lama mengkaji kualitas pemerintahan dunia. Pertama, efektivitas Pemerintahan (25%) yang diukur oleh World Bank melalui Government Effectiveness Index (GEI) sejak 1996, mencakup 214 negara. Menilai efisiensi birokrasi, regulasi, serta kualitas layanan publik.
Kedua, pemberantasan korupsi (20). Diukur oleh Transparency International melalui Corruption Perceptions Index (CPI) sejak 1995, meliputi 180 negara. Indeks ini mencerminkan seberapa bersih pemerintahan dari praktik suap dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, digitalisasi pemerintahan (15%). Diukur oleh UN DESA melalui E-Government Development Index (EGDI) sejak 2003, mencakup 193 negara. Digitalisasi mempercepat layanan publik dan menutup celah korupsi.
Keempat, demokrasi (15%). Diukur oleh Economist Intelligence Unit melalui Democracy Index (DI) sejak 2006, mencakup 167 negara. Menilai transparansi politik, kebebasan sipil, dan partisipasi rakyat. Kelima, pembangunan manusia (15%). Diukur oleh UNDP melalui Human Development Index (HDI) sejak 1990, meliputi 191 negara. Negara maju tidak diukur dari PDB-nya saja, tetapi dari kualitas pendidikan, kesehatan, dan harapan hidup rakyatnya.
Keenam, keberlanjutan lingkungan (10%). Diukur oleh Yale University melalui Environmental Performance Index (EPI) sejak 2006, mencakup 180 negara. Pembangunan tanpa keberlanjutan hanyalah perampokan masa depan.
“Jika GGI Indonesia bisa naik dari 53,17 ke 70, maka pemerintahan akan lebih bersih, rakyat lebih sejahtera, dan sejarah akan mencatatnya sebagai era reformasi sejati,” katanya.
Denny menjelaskan, negara yang gagal dalam tata kelola pemerintahan akan gagal membangun negara yang kuat. Negara yang gagal memberantas korupsi juga akan gagal mencapai apa pun secara maksimal. Tak peduli seberapa besar sumber daya yang dimiliki, jika pemerintahan lemah, maka kebocoran anggaran, lambannya birokrasi, dan korupsi sistemik akan menghancurkan fondasi negara.
“Indonesia berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi ambisi pertumbuhan ekonomi 8% per tahun menjadi cita-cita besar. Namun, di sisi lain, masalah yang mengakar dalam sistem tetap menjadi penghambat: korupsi, birokrasi yang tidak efisien, serta lemahnya tata kelola pemerintahan,” kata Denny JA.
Ia mengidentifikasi beberapa hal yang menghambat Indonesia. Pertama, saat ini, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya 34, tertinggal dari Singapura (83), Jepang (73), dan Korea Selatan (63). Jika masalah ini tidak ditangani dengan serius, Indonesia akan terus kehilangan kepercayaan investor, pertumbuhan ekonomi akan tersendat, dan kesejahteraan rakyat akan tergadaikan.
Kedua, efektivitas pemerintahan Indonesia saat ini hanya 0,58, jauh tertinggal dari Singapura (2,32), Jepang (1,63), dan Korea Selatan (1,4). Banyak kebijakan pemerintah yang disusun dengan baik di atas kertas, tetapi gagal diimplementasikan karena birokrasi yang tidak efisien, regulasi yang berbelit, serta minimnya akuntabilitas.
Tanpa reformasi dalam efektivitas birokrasi, pembangunan akan selalu tertinggal dari rencana. Rakyat yang seharusnya mendapatkan manfaat akan terus terjebak dalam sistem yang berbelit-belit. Ketiga, Indeks Demokrasi Indonesia saat ini berada di angka 6,53, lebih rendah dibanding Korea Selatan (8,4) dan Jepang (8,09). Sistem demokrasi yang sehat seharusnya menciptakan kontrol atas kekuasaan, keseimbangan antara eksekutif dan legislatif, serta kebebasan pers dan civil society yang kuat.
Keempat, Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia saat ini hanya 0,713, tertinggal jauh dari Singapura (0,949), Korea Selatan (0,929), dan Jepang (0,920). Ketimpangan dalam akses pendidikan dan layanan kesehatan masih menjadi masalah serius.
Keenam, Indeks Lingkungan Indonesia (EPI) hanya 28,2, jauh tertinggal dari Jepang (59,6) dan Singapura (50,9). Hutan terus ditebang tanpa kendali, polusi udara semakin meningkat, dan transisi energi hijau masih tertinggal dari negara lain. Negara-negara maju telah memahami bahwa keberlanjutan lingkungan adalah kunci untuk memastikan generasi mendatang tetap memiliki sumber daya alam yang cukup.
“Tanpa kebijakan yang ketat dalam perlindungan lingkungan, Indonesia akan menghadapi krisis ekologis yang sulit dipulihkan,” katanya.
Keenam, Indeks Digitalisasi Pemerintahan Indonesia (EGDI) masih di angka 0,7991, tertinggal dari Singapura (0,9691), Korea Selatan (0,9679), dan Jepang (0,9351). Negara-negara yang telah maju dalam digitalisasi pemerintahan berhasil mengurangi korupsi, mempercepat layanan publik, dan meningkatkan efisiensi birokrasi. Jika Indonesia tidak segera berinvestasi dalam transformasi digital, maka ketertinggalan dalam pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan akan semakin lebar.
“Jika semua tantangan di atas tidak segera diselesaikan, Indonesia akan terus tertinggal dalam tata kelola pemerintahan,” sebutnya.
(shf)
Lihat Juga :